Mongabay.co.id

Mencermati Potensi Konflik Setelah Kedatangan Nelayan Pantura di Natuna

 

Sejak Selasa (10/3/2020) lalu, sebanyak 23 kapal perikanan yang berasal dari Pantai Utara Jawa Tengah mulai beroperasi di sekitar wilayah Laut Natuna Utara yang secara administrasi masuk Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Semua kapal tersebut mendapatkan izin penuh dari Pemerintah Indonesia.

Kapal-kapal tersebut seluruhnya diketahui menggunakan alat penangkapan ikan (API) cantrang. Hal itu dikonfirmasi sendiri oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam hampir setiap kesempatan. Alat tangkap tersebut, adalah alat tangkap yang biasa dipakai kapal-kapal tersebut sebelum beroperasi di Natuna.

Dengan masuknya 23 kapal tersebut, Pemerintah seperti menegaskan kepada publik bahwa mereka tidak pernah main-main dengan usulan untuk menghidupkan kembali Laut Natuna Utara. Tetapi, jika merujuk pada pernyataan Pemerintah Indonesia pada awal 2020, jumlah kapal dari Pantura Jawa yang akan beroperasi adalah 30 unit.

Kebijakan tersebut, bagi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) merupakan kebijakan yang salah kaprah. Mengingat, dengan diberikan izin untuk kapal dari Pantura bisa beroperasi di Natuna, maka Pemerintah Indonesia sudah mengabaikan keadilan bagi 7.000 nelayan tradisional asal Natuna.

“Kebijakan yang membolehkan penggunaan kapal cantrang asal Jawa Tengah untuk menangkap ikan di Natuna adalah bentuk ketidakadilan perikanan yang dilakukan KKP terhadap nelayan setempat. Ini adalah bentuk kemunduran KKP,” ujar Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, pekan lalu.

baca : Penambahan Armada Kapal Ikan Jadi Solusi Menjaga Kedaulatan di Natuna

 

Kapal-kapal perikanan yang bersandar di Pelabuhan Selat Lampa, Natuna. Foto : Humas KKP

 

Ketimbang memberikan izin untuk 30 kapal cantrang dari Jateng, dia meminta Pemerintah Indonesia sebaiknya fokus untuk memperhatikan 7.066 keluarga nelayan yang ada di Natuna saat ini. Mereka semua sangat memerlukan perhatian dari Pemerintah dengan cara diberikan penguatan kapasitas, karena bergantung pada sumber daya perikanan di Natuna.

“Alih-alih mengizinkan 30 kapal cantrang asal Jawa Tengah, Menteri KP semestinya menunaikan mandat mereka memperkuat lebih dari 7 ribu nelayan lokal di Natuna untuk mengelola sumber daya perikanan di sana,” tambahnya.

Susan mengungkapkan, dari penelusuran yang dilakukan KIARA, 30 kapal perikanan yang berasal dari Jateng tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Kapal-kapal tersebut yang datang ke Natuna untuk menangkap ikan, bahkan cenderung sudah melakukan pelanggaran hukum.

Indikasi itu muncul, karena hingga saat ini, cantrang merupakan alat tangkap yang dilarang oleh Negara melalui Peraturan Menteri KP No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan (API) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI).

Permen tersebut, menjadi penyempurnaan dari Permen KP No.2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan API Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets). Salah satu poin penting yang diatur dalam Permen 71/2016 adalah jenis alat tangkap yang dilarang, karena terbukti merusak biota laut dan mengakibatkan kehancuran habitat ikan di perairan Indonesia.

baca juga : Butuh Upaya Sangat Keras untuk Mengembangkan Industri Perikanan Natuna

 

Kapal Perang RI (KRI) Bung Tomo-357 dari Koarmada I menangkap empat kapal ikan asing berbendera Vietnam dan mengusir dua Kapal Pengawas Perikanan Vietnam di Laut Natuna pada Februari 2019. Foto : TNI AL

 

Alat Tangkap

Berdasarkan Permen tersebut, khususnya Pasal 21 ayat (2), disebutkan alat tangkap yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan terdiri dari:

a) Pukat tarik (seine nets), yang meliputi dogol (danish seines), scottish seines, pair seines, cantrang, dan lampara dasar;

b) Pukat hela (trawls), yang meliputi pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela dasar berpalang (beam trawls), pukat hela dasar berpapan (otter trawls), pukat hela dasar dua kapal (pair trawls), nephrops trawl, pukat hela dasar udang (shrimp trawls), pukat udang, pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), pukat ikan, pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls), pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls), dan pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls); dan

c). Perangkap, yang meliputi perangkap ikan peloncat (Aerial traps), dan Muro ami.

Menurut Susan, seluruh alat tangkap yang disebut di atas terbukti bisa menyebabkan kepunahan biota, mengakibatkan kehancuran habitat, dan membahayakan keselamatan pengguna. Untuk itu, penerbitan izin 30 kapal perikanan cantrang ke Natuna menjadi bukti bahwa KKP sudah menjadi pihak yang melanggar ketentuan hukum.

“Izin tersebut akan mendorong eksploitasi sumber daya perikanan dan hanya memposisikan nelayan Natuna bukan sebagai pelaku utama perikanan,” tegasnya.

Dengan fakta di atas, Susan mengkritik Edhy Prabowo yang ingin merevisi Permen 71/2016 untuk melegalkan API yang terlarang dan sebelumnya dinilai berbahaya bagi ekosistem laut dan pesisir. Revisi tersebut, diyakini akan memicu berbagai persoalan baru, karena itu juga berkaitan dengan kebijakan masyarakat lokal di setiap daerah.

Dalam draf rancangan revisi Permen tersebut, terdapat sejumlah poin penting yang akan menghapus sejumlah pasal yang tercantum di dalam Permen 71/2016, di antaranya:

  1. Alat tangkap cantrang yang asalnya dilarang, kini akan diperbolehkan untuk ukuran kapal, mulai dari 5 sampai dengan 30 GT;
  2. Penggunaan alat tangkap cantrang akan diperbolehkan di tiga WPPRI nomor 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan; WPPRI 712 yang meliputi perairan Laut Jawa; dan WPPRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan
  3. Dari 13 jenis alat tangkap Pukat Hela yang dilarang, kini hanya 5 saja alat tangkap ikan yang dilarang.

Dari poin-poin tersebut, Susan mengatakan bahwa pihak yang akan mendapat keuntungan adalah para pelaku usaha yang selama ini menggunakan cantrang sebagai API pada kapal perikanan mereka. Namun, bagi masyarakat pesisir, persoalan tersebut akan memicu konflik antar nelayan muncul kembali.

perlu dibaca : Penguatan Industri Perikanan, Solusi untuk Natuna

 

Satu dari tiga kapal ikan berbendera Vietnam yang ditangkap Kapal Pengawas Perikanan KKP yang sedang mencuri ikan di Laut Natuna pada Senin (30/12/2019). Foto : KKP 

 

Konflik Antar Nelayan

Kekhawatiran tersebut muncul, karena KIARA melihat bahwa cantrang akan menimbulkan dampak yang signifikan kepada tiga kelompok utama pada masyarakat pesisir, yakni nelayan kecil, nelayan tradisional, dan perempuan nelayan.

“Mereka adalah tiga kelompok paling terdampak dari penggunaan cantrang selama ini. Mereka melakukan perlawanan selama ini,” tutur dia.

Oleh itu, Susan menilai kalau rencana revisi Permen KP 71/2016 hanya akan menegaskan kalau KKP di bawah kepemimpinan Edhy Prabowo sedang mengalami kemunduran dalam menjaga kedaulatan dan keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia. Dengan kata lain, dalam memutuskan kebijakan publik, Edhy dinilai lebih tunduk kepada pelaku usaha cantrang saja.

“Bagi KIARA, keberlanjutan sumber daya perikanan yang akan membawa banyak manfaat untuk masyarakat luas lebih utama daripada sekedar hasil tangkapan skala besar yang dinilai banyak, tetapi merusak dan menghabiskan sumber daya perikanan Indonesia,” tegas dia.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengungkapkan bahwa pengiriman kapal perikanan dari Pantura Jateng ke Laut Natuna Utara merupakan gagasan yang tergesa-gesa. Rencana tersebut bisa memicu konflik baru karena berkaitan dengan mobilisasi nelayan dari Jawa ke Natuna.

Halim menjabarkan, potensi konflik muncul karena mobilisasi kapal ikan Pantura Jawa perlu melengkapi perizinan sebelum melaut di laut Natuna Utara. Kemudian, polemik juga bisa dipicu dari pemakaian API yang tergolong berkelanjutan atau tidak, dan belum adanya nota kesepahaman antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Jawa Tengah.

“Ini berkaitan dengan status nelayan andon asal Jateng yang beroperasi di WPP (wilayah pengelolaan perikanan) 711,” ucap dia.

baca juga :  Konflik Laut Natuna Utara, Bintang Utama di Laut Cina Selatan

 

Proses penangkapan menangkap tiga kapal ikan asing berbendera Vietnam di Laut Natuna Utara pada Senin (30/12/2019) oleh Kapal Pengawas Perikanan Indonesia. Foto : Humas KKP

 

Dengan kata lain, Halim menilai kalau mobilisasi kapal ikan dari Pantura Jawa tidak akan menyelesaikan masalah perang kedaulatan Negara di Laut Natuna Utara yang beberapa waktu lalu terjadi. Pemerintah justru harusnya memanfaatkan keberadaan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Natuna sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru yang akan mengisi kekosongan selama ini.

Agar konflik bisa diredam, Halim meminta Pemerintah Indonesia untuk bisa mendorong nelayan Natuna dan Kepulauan Riau pada umumnya agar aktif melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan pendampingan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla)/TNI Angkatan Laut/Kapal Pengawas Perikanan/dan Direktorat Kepolisian Air.

Sementara, untuk jangka panjang, Pemerintah harus bisa menata ulang kebutuhan armada penangkapan ikan di WPP-NRI 711 berdasarkan estimasi stok ikan, produktivitas alat tangkap yang boleh dipakai, dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.

 

Exit mobile version