Mongabay.co.id

Sedekah Lingkungan, Mempelai Tanam Bibit di Bukit Pengantin

Pengantin Safira Bilqis Amelia (20) dan Ikhwanurrohim (25) menunjukkan bibit pohon sebagai mas kawin saat akad nikah di Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : Muhammad Toha/Yayasan Argowilis/Mongabay Indonesia

 

Pada Minggu (1/3) siang, adalah hari kebahagian bagi pasangan Safira Bilqis Amelia (20) dan Ikhwanurrohim (25) di Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah. Sebagai hari yang sakral karena bersumpah janji menjadi satu pasangan, keduanya tidak menyia-nyiakan hari yang bersejarah itu. Prosesi akad nikah sampai resepsi dengan dihadiri sanak keluarga, handai taulan, dan tetangga berlangsung secara lancar.

Seperti halnya prosesi pengantin lainnya, ada mas kawin yang disampaikan. Yakni cincin seberat 3,7 gram serta bibit tanaman. Bibit tanaman sengaja dibawa pada saat prosesi. Ada dua bibit tanaman yang menjadi mas kawin yakni petai dan durian. “Ada kakak istri saya yang sebetulnya memiliki ide. Jadi, tidak hanya mas kawin berupa perhiasan saja, melainkan juga ditambah dengan bibit tanaman,”ungkap Ikhwanurrohim pada Sabtu (7/3) lalu.

Bagi pengantin kebanyakan, usai prosesi pernikahan, biasanya mereka akan santai atau langsung berbulan madu. Tetapi tidak bagi sepasang suami istri tersebut. Pasalnya, setelah selesai semua, mereka ditemani oleh sejumlah kerabat berjalan menuju ke Bukit Pengantin yang merupakan lereng Gunung Slamet sebelah barat. Mereka membawa bibit durian dan mangga ke bukit yang berada di sebelah utara desa setempat. Dengan naik sepeda motor dan jalan kaki, keduanya kemudian menanam pohon petai dan durian.

Seperti halnya Ikhwanurrohim, isterinya, Safira juga mengatakan hal senada, karena dia sejak kecil sudah dekat dengan alam. “Saya senang dengan keindahan alam. Dengan menanam pohon ini, maka sama saja saya bersedekah dengan alam. Tidak hanya bermanfaat untuk kami, tetapi bermanfaat untuk alam,”ungkap Safira.

baca : Kearifan Lingkungan di Desa Rawan Bencana

 

Pengantin Safira Bilqis Amelia (20) dan Ikhwanurrohim (25) menunjukkan bibit pohon sebagai mas kawin saat akad nikah di Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : Muhammad Toha/Yayasan Argowilis/Mongabay Indonesia

 

Pencetus ide gerakan pengantin menanam, Muhammad Toha yang juga Ketua Yayasan Argowilis, mengatakan bahwa gerakan menanam pohon harus terus dilaksanakan. “Kebetulan, adik saya menikah dan saya menjadi wali nikah. Usulan penambahan mas kawin ternyata disepakati mereka berdua. Ya sudah, akhirnya pada saat prosesi akad nikah ada mas kawin berupa bibit pohon,” katanya.

Budaya menanam, bagi masyarakat Desa Sokawera dan sekitarnya sesungguhnya bukan hal yang baru. Dari cerita sesepuh setempat, dulu ketika orang menikah, juga harus menanam pohon. “Jadi sebetulnya, ide ini telah ada sejak nenek moyang di Sokawera. Seluruh pengantin, biasanya menanam pohon. Barangkali bukan dijadikan mas kawin, melainkan pada saat ‘seserahan’. Dalam prosesi menikah, biasanya pengantin laki-laki membawa berbagai macam barang. Nah, satu di antaranya adalah cikal atau bibit pohon kelapa,”jelasnya.

Berdasarkan penuturan para sesepuh, cikal memang menjadi salah satu barang yang wajib untuk dibawa dan nantinya ditanam oleh pengantin. Selain cikal, juga ada pepohonan lain seperti pohon pisang dan buah-buahan. “Kalau menurut para orang tua zaman dulu, menanam pohon sesungguhnya merupakan simbolisasi dari bentuk doa. Dengan menanam pohon buah-buahan, diharapkan pohonnya tentu akan berbuah. Ini yang dimaksudkan dengan doa. Dengan berumah tangga, mudah-mudahan segera mendapatkan anak seperti pohon yang berbuah. Jadi, bentuk doa ini sesungguhnya juga merupakan sedekah bagi alam, karena dengan menanam pohon, lingkungan bakal lebih terjaga,” jelas Toha.

Tetapi dalam perjalanannya, lanjutnya, selepas reformasi tradisi menanam pohon usai pernikahan itu menjadi hilang. Lambat laun, warga menginginkan hal-hal yang praktis dan meninggalkan bibit pohon untuk ditanam. “Lebih dari 20 tahun terakhir, tradisi semacam itu sudah punah. Karena itulah, mumpung keluarga kami memiliki momentum pernikahan, upaya menghidupkan budaya menanam. Saat sekarang sudah diawali, mudah-mudahan ke depannya jejak semacam ini akan diikuti. Karena sebetulnya, kalau bibit pohon kan harganya juga tidak mahal, namun manfaatnya akan sangat besar,” ujarnya.

baca juga : Uniknya Nikah Minim Sampah

 

Pasangan pengantin membawa bibit pohon untuk ditanam di Bukit Pengantin di Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Banyumas. Foto : Muhammad Toha/Yayasan Argowilis/Mongabay Indonesia

 

Penanaman dilaksanakan di Bukit Pengantin yang berada di lereng Gunung Slamet bagian barat. Proses penanaman memang berasal dari pengantin, namun tidak berarti pepohonan tersebut menjadi milik mempelai. “Jadi, istilah yang kami gunakan adalah sedekah lingkungan. Mempelai memberikan sedekah berupa pohon kepada ibu bumi. Sehingga lingkungan bisa lebih terjaga,”katanya.

Apalagi, dalam musim penghujan yang ditandai dengan cuaca ekstrem seperti sekarang, perbukitan menjadi salah satu wilayah yang rawan bencana khususnya longsor. “Dengan semakin banyak warga yang menanam, maka perbukitan akan relatif lebih kuat, sehingga dapat tahan longsor. Oleh karena itu, kami berharap agar sedekah lingkungan dengan menanam pohon, setidaknya bagi pengantin baru dapat menjadi tradisi lagi. Istilahnya ini ‘nguri-uri’ budaya dari nenek moyang. Tradisi seperti ini juga mempraktikkan kepedulian terhadap lingkungan,”tandasnya.

Sementara Kepala Desa (Kades) Sokawera Muhayat mengatakan bahwa dengan menghidupkan tradisi menanam oleh para pengantin tentu akan berdampak bagus bagi lingkungan. “Mudah-mudahan, para pengantin di Desa Sokawera, akan mengikuti jejak yang telah dilakukan oleh pasangan Ikhwanurrohim dan Safira. Apa yang mereka lakukan akan dapat menjadi inspirasi bagi para pengantin lainnya,”ujarnya.

Muhayat menambahkan Desa Sokawera merupakan wilayah yang memiliki perbukitan, sehingga lingkungannya harus benar-benar dijaga. “Perbukitan harus terus menghijau dengan ditanam penanaman pohon di lokasi-lokasi yang masih kosong. Dengan demikian, sama halnya masyarakat juga ikut melakukan gerakan mitigasi bencana. Perbukitan biasanya rawan longsor, tetapi dengan penanaman pohon, akan lebih menguatkan tanah sehingga tidak mudah terjadi bencana longsor,” jelasnya.

menarik dibaca : Taman Bambu, Penyelamat Mata Air Sekaligus Tempat Wisata Edukasi

 

Pasangan pengantin baru menanami bibit pohon yang merupakan mas kawin mereka di Bukit Pengantin di Cilongok, Banyumas, Jateng. Foto : Muhammad Toha/Yayasan Argowilis/Mongabay Indonesia

 

Kepala Seksi Pengelolaan dan Pelestarian Tradisi Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Mispan, mengatakan bahwa tradisi menanam para pengantin baru memang bukanlah tradisi saat sekarang. “Budaya itu telah lama ada, meski sempat hilang. Dan alhamdulillah, saat sekarang tradisi itu dihidupkan kembali. Karena sesungguhnya tradisi penanaman bibit pohon menjadi sesuatu yang sangat penting,”ungkap Mispan.

Ia menjelaskan kalau dulu tradisi menanamnya adalah cikal atau bibit pohon kelapa. “Biasanya, pada hari Jumat pagi, suaminya yang menggali tanah. Tepat pada siang hari, nanti istrinya yang menanam cikal tersebut. Ada beberapa hal mengapa cikal menjadi pilihan. Sebab, kalau sudah menjadi pohon kelapa, semuanya dapat dimanfaatkan, mulai dari buahnya untuk membuat gula atau minyak. Belum lagi daunnya, lidinya dan sebagainya. Semua bermanfaat. Di sisi lain, penanaman juga bagian dari doa, agar segera mendapat keturunan. Maka, selain pohon kelapa, biasanya juga digunakan pohon lainnya, terutama buah-buahan,”tandasnya.

 

Exit mobile version