Mongabay.co.id

Belajar dari Wabah Corona yang menjadi Perhatian Global. Bagaimana dengan Perubahan Iklim?

Wabah Corona (COVID-19) telah mengubah wajah dunia. Sejak ia menjadi isu serius ‘pembunuh’ umat manusia, saat ini semua negara bertindak untuk mengamankan keselamatan warganegaranya.

Badan Dunia WHO menyatakan bahwa virus ini telah menjadi pandemi global, beberapa negara pun telah melakukan karantina diri atau yang disebut dengan lockdown.

Sejak munculnya virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019, -yang tanpa diduga penularannya begitu cepat, tampaknya tidak ada satu negara pun yang ‘steril’ terhadap virus Corona saat ini.

Dalam kasus penyebaran Virus Corona, maka ia menyeruak bukan hanya menjadi isu kesehatan, akan tetapi menjadi isu multi dimensi yang bersinggungan dengan konteks sosial masyarakat.

Namun, hal ini tampak bertolak belakang dengan isu lingkungan yaitu perubahan iklim dan dampak pemanasan global. Jika Virus Corona sudah dinyatakan sebagai pandemik oleh WHO, maka perubahan iklim pun derajat isunya seharusnya setingkat dengan penyebaran Corona.

Baca juga: Wabah Corona, Bencana Kesehatan dan Mitigasi Ekologi Budaya

Tanpa disadari dampak perubahan iklim bakal berpengaruh bagi kehidupan seluruh umat manusia di bumi. Beragam kejadian bencana alam yang sudah merusak dan menyebabkan kematian, belum membuat manusia tersadar.

Padahal dampak perubahan iklim merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang sama-sama memiliki daya bunuh dengan Virus Corona. Bahkan mungkin lebih.

Sebelum terjadinya wabah Corona, rezim perubahan iklim (para pihak yang terlibat dalam KTT Perubahan Iklim) hanya disibukkan dengan isu ‘yang itu-itu saja’ yaitu tanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon.

Bahkan, tampak kesan kesenjangan kepentingan ekonomi antara negara-negara berekonomi maju dengan negara miskin dan berkembang, menyebabkan KTT Perubahan Iklim hanya menjadi sekedar seremonial tahunan dan retorika belaka.

Akhir tahun 2019 semestinya menjadi tonggak para pihak dalam rezim perubahan iklim maupun pemimpin dunia untuk menyadari bagaimana ‘panasnya’ bumi saat ini.

Para pemimpin dunia maupun elit politik global hingga elit politik lokal masih terjebak pada populisme yang menunjukkan wajah asli untuk menyelamatkan kepentingannya.

Di sisi lain, kaum tidak berpunya hanya bergantung pada sumber daya alam dan tidak paham perubahan iklim. Tetapi mereka menjadi pihak yang paling merasakan dan paling menderita akibat perubahan iklim, akibat variabilits iklim yang menunjukkan anomali.

Padahal berdasarkan data NOAA (The National Oceanic and Atmospheric Administration) tahun 2019 merupakan tahun kedua yang terpanas setelah tahun 2015. Suhu bumi mencapai 2,07 derajat Farenheit atau mengalami kenaikan 1,15 derajat Celcius.

Baca juga: Krisis Iklim Picu Kasus Demam Berdarah Tinggi di Jambi

Hal tersebut menunjukkan kondisi bumi memasuki masa kritis karena kenaikan suhu bumi mencapai 2 derajat Celcius akan menyebabkan kekeringan ekstrem dan kenaikan permukaan laut.

Kekeringan ekstrem akan menyebabkan petani subsisten dan peladang tradisional yang akan mengalami penderitaan terlebih dahulu. Kenaikan permukaan laut pun menyebabkan nelayan dan masyarakat pesisir terancam kehidupannya.

Wacana upaya bersama untuk menjaga agar suhu bumi tidak meningkat hingga 2 derajat Celcius, gagal menjadi kesepakatan dalam KTT Perubahan Iklim.

 

Wabah Virus Corona (COVID-19) sekarang menjadi perhatian warga dunia. Virus ini pertama kali menyebar di Wuhan, Tiongkok. Foto: @macauphotoagency

 

Isu Lingkungan Belum Jadi Alasan Urgen Masyarakat Global untuk Bertindak

Jika kegagalan hasil dari KTT Perubahan Iklim adalah indikasi dari bagaimana lemahnya komitmen para pemimpin dunia. Hal tersebut, diperburuk dengan perilaku masyarakat global yang tidak ramah lingkungan.

Kerusakan ekosistem dipercepat dengan laju pertumbuhan ekonomi dan kebijakan yang memudahkan kepentingan ekonomi politik untuk merambah dan melakukan eksploitasi lingkungan hidup.

Lingkungan hidup menjadi komoditas yang bisa dipertukarkan untuk pemuasan kepentingan yang bersifat materialistis. Maka, laju konsumerisme semakin tidak terkendali. Konsumerisme membutuhkan pemuasan kebutuhan melalui gambaran gaya hidup yang pada akhirnya menghasilkan lautan sampah yang sulit untuk diurai.

Maka, struktur yang demikian memberikan keleluasaan bagi korporasi dan elit politik korup untuk melakukan transaksi. Berikutnya, masyarakat yang mengedepankan konsumerisme sebagai gaya hidup semakin abai dengan realita kerusakan lingkungan hidup.

Baca juga: Pandemi COVID-19, Peringatan untuk Manusia Hidup Berdampingan dengan Satwa Liar

Berbagai kerusakan lingkungan yang bersumber dari pengambilan kebijakan, tata kelola hingga budaya konsumerisme menutupi narasi bahwa bumi saat ini sedang sakit. Keseimbangan bumi yang semakin tidak menentu menyebabkan bencana alam menjadi kerapkali terjadi.

Virus Corona muncul di saat perubahan iklim terjadi semakin ekstrem. Solusi untuk mengurangi laju perubahan iklim belum optimal dan kemudian ditambah dengan permasalahan lainnya yang membutuhkan daya dukung ekologis dan sosial.

Lalu bentuk reaksi sosial seperti apa yang sekarang dapat kita lihat dari kasus Corona?

Saat wabah terjadi, perilaku ‘memborong’ barang untuk memenuhi kebutuhan diri atau perilaku pedagang untuk menjual barang dengan harga berkali-kali lipat kemudian terjadi.

 

Beberapa jenis cleaning, sanitizer dan desinfektan yang sekarang banyak dicari orang sejak merebaknya wabah Corona. Foto: Kelly Sikkema/ @kellysikkema

 

Hal tersebut menunjukkan, empati yang minim. Maka, pertanyaannya adalah apabila kepedulian kepada sesama manusia saja minim, bagaimana dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup?

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana sistem kapasitas penyangga virus ini? Bagaimana dengan daya dukung lingkungan yang kita miliki? Bagaimana keterhubungan ekologis yang terbangun selama ini antara kita (manusia) dan bentang alam? Bagaimana modal sosial yang kita miliki untuk melawan wabah ini?

Apabila 4 pertanyaan saya di atas dijawab dengan berbagai ketersendatan, maka wabah Virus Corona saat ini akan menjadi penentu ketahanan sosial ekologi saat ini dan masa depan.

Satu titik yang dapat dilakukan oleh komunitas lokal dan global menghadapi wabah Corona dan bersamaan tengah menghadapi perubahan iklim adalah mempererat kolaborasi dan solidaritas sosial.

Bagi level pembuat kebijakan sudah tidak dapat lagi bekerja sendiri, maka perlu berkolaborasi. Selain itu, bagi pembuat kebijakan perlu kembali mengkaji produk kebijakan yang tidak lagi melakukan eksploitasi lingkungan hidup dan menyebabkan kerentanan sosial bagi masyarakat kecil.

Pada level negara, negara perlu memberikan kecukupan informasi, sistem preventif dan penanganan yang holistik. Maka, pada saat krisis ini, negara hadir bersama masyarakat dan membangun penanganan krisis secara terukur, menindak perilaku spekulan dengan tegas dan memastikan keyakinan bahwa ‘kita mampu melewati krisis ini’.

Bagi masyarakat, selain empati, maka solidaritas sosial perlu kembali dipererat. Solidaritas sosial perlu dibangun dengan kesadaran kemanusiaan, tanpa memandang perbedaan pilihan politik, agama, kepercayaan, hingga etnis.

 

* Ica Wulansari,  penulis adalah mahasiswa S3 Sosiologi Universitas Padjadjaran dan Pengkaji isu perubahan iklim dan isu sosial ekologi. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

Exit mobile version