Mongabay.co.id

Sengketa Lahan, Pengadilan Makassar Menangkan Warga Bara-barayya

 

 

 

 

“Save Bara-barayya.”

“Hentikan Penggusuran.”

“Tolak mafia tanah.”

Begitu spanduk yang membentang di depan Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis siang, 21 Maret lalu. Hari itu, cuaca cerah. Sekitar 300-an orang berkumpul dengan pengawasan kepolisian.

Di satu ruangan, sedang berlangsung sidang putusan. Jelang pukul 11.00, di ruang sidang utama itu, Hakim Ketua Suratno membacakan putusan dan mengetuk palu pelan. Putusannya, permintaan penggugat tak diterima atau N.O (niet ontvankelijke verklaard). Puluhan warga yang menyaksikan sidang itu saling berpelukan. Mereka menangis penuh haru.

“Terima kasih pak hakim. Kalian sudah menegakkan keadilan,” ucapan terdengar dari beberapa warga. Tangan mereka mengepal ke atas, lalu berteriak. “Hidup rakyat.”

Putusan ini merupakan kemenangan bagi warga Bara-barayya. Ini putusan kali kedua diperoleh warga, dalam masa konflik dari 2016-2020. Konflik tanah ini bermula ketika Nurdin Dg. Nombong, ahi waris yang mengklaim tanah yang diduduki warga sejak 1960-an miliknya yang sah. Dia tak ada keterangan resmi, surat maupun sertifikat. Sedang warga memiliki surat jual beli dari saudara lain Dg.Nombong.

Sengketa awal bermula, Nombong bersama Kodam XIV Wirabuana, menggugat 28 keluarga dan meminta warga pengosongan. Sebagai langkah awal, pada Desember 2016, Kodam lebih awal menggusur 102 rumah dalam asrama. Sebanyak 28 keluarga di luar asrama, diklaim sebagai bagian dari okupasi TNI yang dipinjam oleh orangtua Nombong.

Warga tak terima dan menyatakan tanah maupun rumah mereka bukanlah bagian asrama TNI. Warga memperlihatkan akta jual beli, izin mendirikan bangunan (IMB), akta hibah dan perjanjian sewa menyewa. Persyaratan itu bahkan dari PPATK Kecamatan Makassar.

Tak surut, TNI sebagai penggugat mengeluarkan peringatan tertulis. Isinya, akan mengosongkan dengan paksa. Surat peringatan itu terbit hingga tiga kali. Warga resah. Mereka berkumpul dan menggalang kekuatan. Bersama mahasiswa dari berbagai universitas, warga saling berdiskusi dan memberi semangat.

Kabar berseliweran, TNI akan melakukan pendudukan paksa. Pertengahan 2017, warga memblokade akses menuju Kampung Bara-barayya di Jalan Abubakar Lambogo. Semua titik masuk dijaga.

Mereka bergantian ronda malam. Semua titik tempat markas TNI diintip setiap jelang malam. Kalau ada pergerakan, sekecil apapun, informasi akan cepat menyebar. Warga bersiap. Mereka tetap bertahan hingga titik terakhir agar rumah dan tanah tidak direbut.

 

Warga Bara-barayya, bahagia menyambut kemenangan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Tahun itu, suasana tegang. Muhammad Nur, warga tergugat, mengenang masa itu dengan perih. “Itu benar-benar was-was. Ada enam bulan mungkin kami seperti itu,” katanya.

“Kalau sudah jam enam pagi, saya mulai lega. Kalau jelang magrib, kami was-was lagi. Karena ada kabar TNI akan masuk untuk peggusuran malam,” katanya.

Akhirnya, Nombong mengajukan sengketa ini ke meja pengadilan. Dia menggugat Muhammad Nur dan kawan-kawan. Prosesnya berjalan alot. Selama di persidangan, Nombong tak sekalipun hadir, hanya diwakili pengacara.

Muhammad Nur, mencari tahu keberadaan penggugat. Titik terangnya, ditemukan melalui cerita tetangga penggugat, kalau Nombong sudah meninggal. Akhirnya, ahli waris yang melakukan tuntutan.

Pada 24 Juli 2018, putusan PN Makassar, menyatakan, kalau warga tidak bersalah dan tak menerima gugatan penggugat.

TNI dan pihak Nombong mundur beberapa saat. Warga bersuka cita. Bagi mereka ini kemenangan. Setahun kemudian, pada 2019, Nombong kembali menggugat obyek yang sama lahan di Jalan Abubakar Lambogo, Kelurahan Bara-barayya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulsel itu.

Nombong juga jadikan TNI sebagai tergugat. Jumlah keluarga tergugat bertambah, jadi 40 keluarga. Kodam sebagai tergugat dihitung menjadi satu bagian, karena klaim okupasi tanah sejak awal. Selebihnya, warga mengangkat kuasa hukum, termasuk pendampingan dari LBH Makassar.

Masuknya TNI dalam sengketa kedua ini, kata Edy Kurniawan, kuasa hukum dari LBH Makassar, seperti lelucon. “Jadi, sengketa pertama itu, TNI bersama Nombong melawan warga. Sekarang, TNI ikut tergugat seperti status warga lain. Ini kan aneh,” katanya.

Saya beberapa kali mengunjungi kawasan Bara-barayya. Di tempat itu, beberapa warga tergugat membuat rumah dengan tembok saling berdempetan dengan rumah lain. Ada gang kecil dan jalan utama yang begitu ramai. Di sini, tempat perdagangan seperti penyediaan ayam pedaging, kelapa, hingga beragam jajanan.

Puskesmas dengan bangunan mentereng. Di belakang puskesmas inilah, 28 keluarga berharap cemas pada nasib mereka. Beberapa desas desus menyebutkan, kelak kalau warga berhasil tergusur, tempat itu akan jadi perumahaan kelas mentereng. Bukan tidak mungkin, Bara-barayya berada dalam pusat Kota Makassar.

 

Aksi unjuk rasa warga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Nur pernah mendapatkan tawaran uang sampai satu miliaran asal bersedia melepas rumah dan tanah yang sekarang dia tinggali. “Saya heran, rumah kami ini tidaklah besar. Tanah yang mereka gugat juga, luasnya sekitar tiga hektar lebih. Ini sebenarnya, tanah ini mau jadi apakah?” katanya.

“Jadi, kenapa dia (penggugat) mati-matian, kalau ini bukan soal ekonomi. Nah, kami ini sah memiliki salinan akta jual beli. Jadi sampai kapan pun kami akan melawan.”

Di teras rumah Muhammad Nur, sekitar pukul 14.00, ketika di jalan utama, Jalan Abubakar Lambogo, beberapa orang istirahat karena bergembira menyambut kemenangan. Mereka makan bersama dan berbagi pelukan. Kami menyesap kopi dan saling menguatkan.

Pengadilan memberi kesempatan 14 hari untuk kembali upaya hukum, apakah mengajukan kembali gugatan. Sidang pertama (2018) dan kedua (2020), putusan pengadilan masih seputar aspek formil, seperti batas obyek tanah sengketa, ataupun siapa saja mereka yang digugat.

“Jadi putusan pengadilan tadinya, belum memasuki pokok perkara. Kita harus tetap hati-hati. Tapi kita berharap pengugat tidak melakukan upaya hukum kembali,” kata Edy.

“Yang penting jangan ada yang ‘masuk angin’, jangan ada yang hatinya bergoyang dengan iming-iming uang atau fasilitas. Ini tentang hak hidup.”

 

***

Kebahagiaan juga dirasakan Andre, seorang sarjana sastra Inggris. Kala mahasiswa, Andre belajar di Unit Kegiatan Penerbitan Mahasiswa. Dia juga jurnalis kampus di Universitas Hasanuddin.

Pada Januari 2017, saat masih semester akhir, hati Andre tergerak mendengar kabar ada warga hendak tergusur. Bersama beberapa kawan, dia datang memberanikan diri berkenalan. Dia berkeliling dan mendengar kisah warga. Mereka lalu menggelar diskusi dan membentuk pengorganisasian sederhana.

Awalnya memang sulit, beberapa warga menilai, tak akan mampu melawan pemegang kuasa apalagi dengan bantuan TNI. Mahasiswa tak surut. Bersama warga dan Lembaga Swadaya Masyarakat, mereka saling menguatkan. Akhirnya, terbentuklah Aliansi Bara-barayya Bersatu.

“Saya suka berada di tengah masyarakat yang memerlukan bantuan. Sebagai seorang mahasiswa ini medan belajar paling tepat. Bukan sekadar membaca teori,” katanya.

Ketika menyaksikan sidang putusan dan warga Bara-barayya, menang, hati Andre lega. “Saat mahasiswa, saya membaca kalau mahasiswa itu agen perubahan. Saya ingin melakukannya, meski hanya sedikit. Pelukan pada orang yang membutuhkan salah satunya, itu bisa menguatkan.”

“Warga menang, saya bersuka ria pulang ke rumah, bisa tidur nyenyak. Saya menemukan keluarga baru. Itu hal paling penting dalam hidup saya.”

 

Keterangan foto utama:  Puluhan warga Bara-barayya jadi tergugat oleh pihak Dg Nombong, yang mengklaim pemilik lahan. Hakim Ketua Suratno membacakan putusan dan mengetuk palu. Putusannya, permintaan penggugat tak diterima atau N.O (niet ontvankelijke verklaard). Puluhan warga yang menyaksikan sidang itu saling berpelukan. Mereka menangis penuh haru. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Ekspresi warga bahagia mendengar putusan Pengadilan Negeri Makassar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version