Mongabay.co.id

Budi daya Lobster Bisa Dilakukan di Seluruh Indonesia

 

Seluruh wilayah di Indonesia diharapkan bisa melaksanakan budi daya Lobster (Panulirus spp.) setelah revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portinus Pelagicus spp.) selesai dilakukan.

Pelaksanaan budi daya untuk komoditas bernilai ekonomi tinggi itu, dilaksanakan terutama pada wilayah yang memiliki sumber daya alam sangat baik. Tetapi, pelaksanaan tersebut harus dilakukan melalui pengaturan yang sangat ketat.

“Sehingga tidak ada lagi masalah kekhawatiran terhadap kepunahan (Lobster),” ungkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo di Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Dari sisi jumlah telur, Edhy menyebutkan bahwa setiap Lobster yang ada di Indonesia sekarang sebenarnya memiliki kemampuan untuk bertelur dengan jumlah lebih dari 1 juta telur. Dengan hitungan tersebut, jika benih Lobster (BL) dibiarkan di alam sebanyak 50 persen, maka asusminya akan ada 500 ribu ekor BL yang akan tetap hidup di alam.

Dengan cara tersebut, maka kekhawatiran masyarakat bahwa budi daya Lobster akan memicu terjadinya eksploitasi sumber daya alam di laut, itu sebenarnya tidak akan terjadi. Mengingat, Lobster itu adalah komoditas yang sangat mudah untuk berkembang biak, terutama di alam lepas.

“Target utama, sesuai arahan Presiden RI Joko Widodo, Lobster ini difokuskan dibudidayakan (dengan) sangat hati-hati dan tidak boleh menimbulkan keributan,” jelasnya.

baca : Menjaga Ketersediaan Benih Lobster dan Keberlanjutan Lingkungan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo panen lobster saat berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Edhy menambahkan, pelaksanaan budi daya Lobster di masyarakat untuk tahap awal akan fokus dilaksanakan oleh warga yang sebelumnya sudah terbiasa mencari nafkah dari BL. Setelah itu, baru kemudian warga lainnya yang tertarik untuk melaksanakan budi daya Lobster.

“Akan diprioritaskan kepada mereka karena diharapkan terjadi perputaran roda ekonomi dari bawah,” tuturnya.

Menurut Edhy, jumlah potensi BL yang ada di Indonesia jumlahnya diperkirakan masih banyak. Tetapi, untuk memastikan perkiraan stok yang ada di alam, Pemerintah Indonesia sedang menghitung lebih detil dengan melibatkan banyak pakar di bidang yang berkaitan.

 

Potensi

Untuk itu, yang harus dilakukan saat ini, adalah memastikan wilayah mana saja yang sudah melaksanakan praktik pemanfaatan BL sejak lama dan membandingkannya dengan prinsip budi daya yang baik dan benar. Setelah itu, baru kemudian diputuskan mana yang layak untuk bisa melaksanakan budi daya Lobster secara berkelanjutan.

“Itu mereka sudah ada secara alamiah melakukan budi daya, tapi dari sisi budi daya yang baik dan benar itu masih perlu penyempurnaan,” jelasnya.

Di luar wilayah yang secara tradisional sudah melaksanakan praktik pemanfaatan BL untuk budi daya Lobster, Pemerintah juga memperhatikan wilayah lain yang memiliki potensi untuk melaksanakan budi daya Lobster. Wilayah-wilayah tersebut akan diberi kesempatan, namun dengan melalui berbagai pertimbangan yang matang.

Namun, di atas semua itu, Edhy menegaskan bahwa siapapun yang akan melaksanakan budi daya Lobster dengan memanfaatkan potensi BL, maka mereka harus bisa melaksanakannya dengan cara yang berkelanjutan. Dengan demikian, kelestarian sumber daya alam di laut bisa tetap terjaga dengan baik dan benih-benih Lobster di alam juga bisa tetap hidup dengan sama baiknya.

baca juga : Demi Keberlanjutan di Alam, Benih Lobster Fokus untuk Dibudidayakan

 

Benih lobster yang dilakukan pembesaran hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Selain mengatur tentang pemanfaatan Lobster, Edhy mengatakan kalau Permen 56/2016 yang sedang dilakukan revisi sekarang, juga mengatur tentang pemanfaatan Kepiting. Jika merujuk pada Permen tersebut, maka Kepiting yang bisa dimanfaatkan harus mencapai ukuran berat minimal 100 gram.

Oleh itu, dengan adanya revisi diharapkan pelaku usaha bisa kembali bergairah, karena aturan minimal tersebut dinilai cukup merepotkan. Hal itu, karena faktanya di Indonesia saat ini Kepiting yang banyak dibudidayakan adalah jenis Soka dan maksimal ukurannya adalah 150 gram. Jika merujuk pada aturan Permen, maka aturan minimal 100 gram itu akan menyulitkan pembudi daya.

“Kepiting soka ini ukurannya tidak bisa mencapai 150 gram, karena kalau sudah 150 gram dia otomatis tidak lagi sub sell. Dia kan sudah menjadi keras lagi, sehingga rata-rata mereka dipasarkan tidak sampai 80-90 gram,” papar dia.

Edhy menambahkan, dari banyak kajian yang sudah dilakukan oleh KKP bersama lembaga penelitian lain, diperkirakan ada ratusan juta benih lobster per tahun yang bisa ditemukan di titik-titik utama di wilayah perairan Nusa Tenggara Barat, pulau Jawa, dan wilayah barat pulau Sumatera.

Kelimpahan produksi tersebut, pada satu waktu akan memicu terjadinya sink population, yakni kondisi dimana populasi benih Lobster akan mengalami pengurangan atau lenyap secara tiba-tiba karena ada predator alam. Kondisi itu terjadi saat fase puerulus sedang berlangsung.

perlu dibaca : Hilangnya Aspek Lingkungan dalam Tata Kelola Pemanfaatan Lobster

 

Lobster hasil pembesaran di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (26/12/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan

Fase Puerulus sendiri adalah fase di mana tubuh Lobster menyerupai dewasa namun belum memiliki kerangka luar yang keras. Saat itu berlangsung, kelulushidupan (survival rates/SR) BL maksimal hanya mencapai 0,1 persen saja.

Fakta ilmiah tersebut menjadi hasil penelitian bersama KKP melalui Balai Perikanan Budi daya Laut (BPBL) Lombok dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR). Dengan itu juga, Pemerintah dipaksa harus bisa memanfaatkan BL dengan baik dan bijak, tanpa menimbulkan polemik yang memicu pro dan kontra di masyarakat.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan memberikan apresiasinya kepada KKP yang saat ini sedang melaksanakan pembahasan revisi Permen 56/2016. Menurut dia, kegiatan budi daya Lobster memang sebaiknya segera dikembangkan lebih baik lagi oleh Pemerintah.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga bisa memberikan insentif kepada para pembudi daya Lobster melalui bantuan teknis ataupun penempatan petugas perikanan. Terutama, memberikan pendampingan kepada para pembudi daya dengan bantuan tenaga pendamping yang ahli di bidangnya.

“Lobster ini memang menjadi sumber daya yang potensial, namun pemanfaatannya belum maksimal,” sebut dia dalam sebuah kesempatan pada medio Februari 2020 di Jakarta.

 

Lobster hasil pembesaran nelayan Lombok Timur, NTB, siap dipanen setelah ukurannya lebih dari 200 gram. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut kalau Permen KP 56/2016 sudah tidak relevan untuk diterapkan pada kondisi sekarang. Menurut dia, pasal 7 dalam Permen tersebut yang di dalamnya mengatur larangan penjualan BL untuk budi daya harus segera diubah.

Bagi dia, segala aktivitas budi daya produk kelautan dan perikanan, tidak seharusnya dikenakan aturan pelarangan. Hal itu, karena dari setiap aktivitas budi daya perikanan diyakini akan bisa menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi, selama itu dilakukan dengan mengikuti prosedur teknik budi daya.

“Jadi, jangan ada pelarangan untuk pembudidayaan. Jadi pembudidayaan itu jangan dilarang lagi,” ucap dia.

Akan tetapi, walau nanti Permen direvisi, Luhut berjanji kalau Pemerintah Indonesia akan tetap mengontrol dan melakukan pengawasan secara ketat semua aktivitas budi daya benih lobster di seluruh Indonesia. Pengawasan tetap dilakukan, karena Pemerintah tidak mau terjadi penyelewengan untuk budi daya BL seperti aktivitas penyelundupan ke luar negeri.

“Iya, tapi diawasi. Itu kan memang Undang-Undang perintahnya begitu,” sebutnya.

 

Exit mobile version