- ‘Titik Krisis di Sulawesi.” Begitu judul buku karya Eko Rusdianto, jurnalis Mongabay Indonesia, baru rilis awal Maret ini. Buku ini berisi cerita-cerita krisis ekologi dan sosial dari berbagai penjuru Sulawesi.
- Membaca buku ini bagai menyingkap paras peta Sulawesi kini. Sebagian wilayah jadi sasaran tambang, di pelosok Seko, yang menyimpan nestapa, kanopi hutan terganti tutupan sawit, dan degradasi lingkungan lain, seperti di Gunung Bawakaraeng.
- Sulawesi, sebuah pulau di Indonesia yang diapit oleh lautan dalam. Di sini, berbagai kekayaan alam berlimpah. Di darat ada mineral dan lahan subur, di laut ada ikan siap tangkap. Pulau ini masuk kawasan timur yang terpisah oleh garis imajiner Wallacea dengan Pulau Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera.
- Buku ini hadir ketika pemerintah dan DPR sedang menyusun Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang berisi penyederhanaan berbagai aturan (omnibus law) bergulir. RUU ini diprediksi membawa petaka bagi pelestarian lingkungan dan orang-orang yang bergantung hidup dari alam. RUU itu pula akan memperuncing perebutan ruang yang sebelumnya terjadi.
“Rahim, seorang petani pada 7 Maret 2018, lahan sawah diratakan buldoser oleh PTPN (PT. Perkebunan Nusantara-red) XIV. Dia bersitegang dengan beberapa orang Brimob yang datang mengawal. Bajunya robek dan leher mendapat cekikan. Moncong senapan di hadapannya. Dia tak gentar.”
Ini sepenggal kisah seorang petani bernama Rahim dari dataran Enrekang, Sulawesi Selatan, yang terekam dalam buku ‘Titik Krisis di Sulawesi’ karya Eko Rusdianto, jurnalis Mongabay Indonesia. Ada juga warga lain, Saparuddin, dengan pagar kebun kerap dirusak. Buku ini berisi kumpulan tulisan Eko, sebagian besar di Mongabay Indonesia.
Keduanya, korban konflik di lahan hak guna usaha PTPN XIV unit Maroangin, Enrekang. Hingga kini, perusahaan pelat merah itu ngotot pertahankan HGU yang sudah selesai.
Sesuai judul, buku antologi yang diterbitkan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Rumah Buku Carabaca ini, merangkum hasil liputan Eko Rusdianto di beberapa titik krisis lingkungan di bentang Sulawesi separuh, dekade belakangan, dari Sulawesi Selatan, Barat, hingga Tenggara.
Membaca buku ini bagai menyingkap paras peta Sulawesi kini. Sebagian wilayah jadi sasaran tambang, di pelosok Seko, yang menyimpan nestapa, kanopi hutan terganti tutupan sawit, dan degradasi lingkungan lain, seperti di Gunung Bawakaraeng.
Di buku ini juga memperlihatkan wajah pemerintah beberapa tahun belakangan, yang ramah investasi namun absen pada pemberian kuasa kelola lahan yang adil. Eko menulis dengan cerita yang mengalir.
Pada malam 6 Maret 2020, di sebuah rumah di pinggir Kabupaten Gowa, Sulsel, buku setebal 236 halaman ini rilis. Para aktivis berdatangan. Di ruangan kecil, Eko duduk berdampingan dengan Muh. Taufik Kasaming dari Forum Studi Humaniora Makassar.
“Senang sekali. Dari dulu saya bercita-cita punya buku,” Eko, membuka pembicaraan.
Eko lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Fajar—kini Universitas Fajar. Pada 2009, dia memulai karir jurnalistik di Yayasan Pantau. Kini, selain untuk Mongabay Indonesia, dia juga menulis buat Vice Indonesia, Historia, dan New Narratif.
Ayah La Wellang Rawallangi ini, punya pribadi tenang dan humoris. Instingnya yang peka dan jeli melihat isu yang akan dia liput serta bekal wawasan luas, menjadikan karyanya begitu apik.
Penentuan diksi pada tiap kalimat pun amat kuat menggambarkan kejadian dan suasana batin orang yang Eko kisahkan.
Penyampaian Eko dalam tulisan yang detil dan naratif, membawa pembaca seolah-olah merasakan hingga ikut terbawa emosi.
“Saya tidak pernah berpikir menulis hal-hal di buku itu untuk membuat teman-teman jadi geram. Tidak. Saya hanya menulis kisah orang-orang itu,” kata Eko. “Saya hanya jadi penyampai pesan, kegelisahan mereka, saya menuliskannya.”
***
Sulawesi, sebuah pulau di Indonesia yang diapit oleh lautan dalam. Di sini, berbagai kekayaan alam berlimpah. Di darat ada mineral dan lahan subur, di laut ada ikan siap tangkap.
Pulau ini masuk kawasan timur yang terpisah oleh garis imajiner Wallacea dengan Pulau Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Penarik garis itu, Alfred Russel Wallace, takjub akan kekayaan flora-fauna Celebes—kini Sulawesi. Si naturalis asal Inggris itu, menjelajahi Sulawesi tiga kali, pada 1856, 1857, dan 1859.
Di bawah kendali Belanda, Celebes ‘dikeruk’. Hutan-hutan yang dikunjungi Wallace, diubah jadi lahan produksi skala besar. Lain hal dengan Albert C. Kruyt, banyak meninggalkan catatan kebudayaan orang-orang Sulawesi yang menandakan keberagaman budaya. Penemuan arkeologi pun berlimpah di Sulawesi.
Masa-masa kolonialisasi pun usai. Indonesia berdaulat menjadi negara kesatuan: dari Sabang hingga Merauke. Aset kebun milik Hindia Belanda berpindah tangan ke Indonesia, seperti Lonsum di Bulukumba yang operasi sejak 1917.
Eko menulis kisah pilu tentang orang-orang Dongi, yang meninggalkan kampung di tengah pergolakan DI/TII tahun 1952, lalu kembali pada 1967 dan menemukan kampung habis tersulut api. Cerita berakhir nelangsa ketika 1970, kampung orang Dongi berubah menjadi lapangan golf milik PT. Inco—kini Vale. Atau bagaimana Eko menulis konflik lahan antar masyarakat Kajang dan Lonsum, hingga menulis dampak perubahan fungsi lahan besar di Sulawesi Barat, yang berujung penyebaran malaria.
Di tengah citra Sulawesi yang ramah investasi, Eko menulis kisah warga adat maupun lokal dengan lahan terampas buat memuluskan investasi. Juga kriminalisasi terhadap mereka yang coba melawan perampasan itu atau penggunan sianida buat penambangan emas di kaki Gunung Latimojong.
“Buku ini menjelaskan fakta-fakta itu. Ini alat. Ini literasi. Ini senjata. Jadikan ini sebagai bahan advokasinya (menunjuk buku),” kata kata Opik—sapaan Muh. Taufik—menanggapi buku Titik Krisis di Sulawesi ini. Bagi Opik, buku ini arsip tentang narasi krisis ekologi di Sulawesi.
Sulawesi: arena perebutan ruang
Buku ini hadir ketika pemerintah dan DPR sedang menyusun Rancangan Undang-undang Cipta Kerja, yang berisi penyederhanaan berbagai aturan (omnibus law) bergulir. RUU ini diprediksi membawa petaka bagi pelestarian lingkungan dan orang-orang yang bergantung hidup dari alam. RUU itu pula akan memperuncing perebutan ruang yang sebelumnya terjadi.
“Ruang ditafsir adalah tempat eksploitasi. Ruang pertanian untuk produksi, dan di laut, ruang adalah pangan,” katanya.
Alam, katanya, dipandang sebagai obyek eksploitasi bukan subyek setara manusia.
Sejak dulu, kata Opik, ruang adalah simbol kekuasaan. Siapa yang menguasai dialah yang punya kuasa. “Karena itu, kekuasaan kemudian mereduksi teori yang saya katakan tadi. Ruang ini menjadi komoditi.”
Tak heran, banyak proyek investasi melahirkan konflik perebutan lahan. Proyek itu memalingkan wajah dari warga yang lebih dulu hidup di situ, seperti warga di Seko, Sulawesi Barat, dan beberapa tempat di Sulawesi.
Opik juga bilang, sosok perempuan identik dengan alam. Ada banyak ungkapan mengenai itu, Ibu bumi salah satunya.
“Buku ini adalah tentang ibu yang mengalami krisis, baik dari perspektif ilmiah, sosial, budaya, politik, maupun ekologi,” katanya, seraya menceritakan bagaimana orang Papua meyakini kehadiran Freeport, berarti ibu mereka sedang ‘diperkosa’, gunung-gunung disimbolkan sumber susu itu tengah dikeruk.
Bagi Opik, karya Eko unggul, pada sisi data serta fakta dan mudah dipahami banyak orang. Hingga, katanya, bisa jadi rujukan untuk bagi advokasi penyelamatan ‘sang ibu.’
Keterangan foto utama: Warga mantadulu berkonflik lahan dengan PTPN yang tanam sawit. Kini, desa mereka pun sering banjir kala masa penghujan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia