Mongabay.co.id

Perempuan Penjaga Hutan dari Desa Air Tenam

Heni Herawati, aktif mengajak para perempuan ikut terlibat aktif dalam setiap program di desa itu, baik penghijauan, menanam kayu, pelatihan mengelola tanaman kopi dan lain-lain. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Namanya Desa Air Tenam. Ia berada di perbatasan antara Bengkulu dan Sumatera Selatan, dengan tutupan hutan masih terjaga baik. Pepohonan tinggi menjulang dengan dedaunan rindang. Tenang mata memandangnya. Air Sungai Manna, berada tepat di belakang perkampungan mengalir deras nan jernih, begitu terjaga.

Bisnis ekstraktif seperti perkebunan sawit dan tambang, tak masuk ke desa ini. Alam dan lingkungan Desa Air Tenam ini terawat tak lepas dari peran sosok perempuan bernama Heni Herawati. Ibu empat anak kelahiran 7 Juni 1972 ini, aktif mengkampanyekan sadar jaga hutan ke sekitar kampung.

“Hutan dan lingkungan ini perlu dijaga. Daerah sini hutan dan rimba masih bagus. Apalagi, kita ini kan berada di hulu sungai. Air sungai ini diminum bukan hanya oleh warga sini, juga di Kabupaten Bengkulu Selatan. Kalau tidak dijaga baik, takut banjir dan longsor,” katanya kepada Mongabay, awal Maret lalu.

Ada dua skema perhutanan sosial dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Desa Air Tenam. Mereka memperoleh SK hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 408 hektar pada 7 Oktober 2013. Kemudian, SK Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 1.269 hektar pada 2019. Hutan lindung di sekitarnya, terjaga baik.

“Di HTR dan HKm, kami menanam kopi, durian dan pohon kayu. Kalau sawit kan dilarang, soalnya ini kawasan hutan.”

Sejak kecil, Heni banyak menghabiskan waktu di perkebunan bersama orangtuanya yang petani. Kearifan lokal dalam mengelola perkebunan dengan tetap menjaga hutan, warisan orangtuanya hingga kini dia pegang teguh.

Heni bilang, warga Air Tenam tidak ada yang beraktivitas di hutan lindung, jarak pun jauh. Mereka hanya mengelola HTR dan HKm yang sudah mendapat izin Menteri LHK. Menariknya, meski secara aturan skema HTR masih boleh menebang kayu untuk diperdagangkan secara komersil, mereka tak melakukan itu. Pepohonan keras tak mereka tebang. Penebangan hanya untuk keperluan pribadi seperti untuk membangun rumah dan pondok.

“Sejauh ini, kami hanya tanam kopi, durian, manggis dan petai. Itu pun di lokasi HTR dan HKm,” katanya.

 

Hutan di Desa Air Tenam. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Sebenarnya, dari luasan HTR dan HKm yang sudah diberikan hak pengelolaan, tidak semua jadi kawasan agroforestri. Mereka masih mencadangkan kawasan lindung di dalam dua skema perhutanan sosial itu.

“Kami sebagai perempuan tentu penting bersama-sama menjaga hutan ini tetap lestari. Untuk kepentingan anak cucu kami,” katanya.

Dalam mengelola HTR dan HKm, kata Heni, tak ada beda peran perempuan dengan lelaki. Mereka tetap merumput, menyemai bibit, menanam dan lain-lain. “Ya kita kan sistemnya gotong royong. Masa perempuan diam saja?”

Heni aktif mengajak teman-teman perempuan ikut terlibat aktif dalam setiap program di desa itu, baik penghijauan, menanam kayu, pelatihan mengelola tanaman kopi dan lain-lain.

“Saat program penghijauan, kami menyiapkan pembibitan. Saat proses penanaman, hampir seluruh ibu-ibu di desa ini terlibat. Sebetulnya, gak saya sendiri yang menggerakkan. Ada teman yang lain juga. Kita ini sekadar yang jadi bendahara.”

Meski begitu, kata Heni, bukan perkara mudah mengajak sesama perempuan terlibat aktif dalam kegiatan. Rumah yang dia diami, jadi base camp warga berkumpul. Halaman depan rumah dia bangun bale-bale untuk tempat pertemuan warga hingga memudahkan dalam membicarakan hal-hal berkaitan dengan kemajuan desa.

“Jujur saja, sampai saat ini belum ada kemajuan yang cukup. Tapi ya kita gerak terus, gak capek. Kadang kita kasih masukan, ayo kita begini-begini, kita ajak. Kekompakan masih belum kuat, sudah mulai ada, misal ketika diajak nanam jagung, bibit sudah ada, tapi paling enam orang yang mau,” katanya.

Dalam pengelolaan hasil kopi, mereka dibantu KKI Warsi. Heni mendapatkan pelatihan bagaimana cara bercocok tanam, memelihara, memanen sekaligus mengemas dan memasarkan produk kopi. Dari pengetahuan itu, Heni sebarkan ke perempuan-perempuan lain di desanya.

“Kita berencana menjual kopi bukan hanya di desa ini, di luar juga. Kami diajak Warsi mengelola kopi dengan baik. Bagaimana lebih kreatif. Kami diajarin bagaimana kalau mau bikin kopi, ya cari kopi bagus.”

Desa Air Tenam, awalnya memang dibuat sebagai desa penyangga. Ia berada di perbatasan antara Bengkulu dan Sumatera Selatan. Dulu, sebelum ada izin HTR dan HKm, masih banyak yang membuka lahan tak tertendali oleh warga luar. Setelah ada izin HKm dan HTR, jadi lebih tertib.

“Sebelumnya, orang mau buka lahan ya sesuka-sukanya mereka. Setelah ada HKm, dan HTR sudah ada aturan. Ibaratnya, orang sudah agak sungkan, takut. Gak sembarangan. Gak ada lagi orang yang berani merambah atau membuka lahan kebun baru.”

Dia bilang, mereka mendapatkan penyuluhan dari Dinas Kehutanan. Dulu, katanya, ada yang mau tanam sawit, tetapi tak boleh. Dia bersama yang lain mengingatkan kalau sawit itu banyak mengkonsumsi air.

“Sawit di hutan ditebang. Karena sawit itu kan banyak konsumsi air. Air Manna ini air minum di kota Manna, jadi gak boleh (tanam sawit-red). Dikasih sosialisasi. Saling berperan lah, bukan ibu saja. Kan sudah ada penyuluhan.”

Sebelum mengelola HTR dan HKm, Heni aktif dalam Program Nasional Pemberdayaan Mandiri Perdesaan (PNPM) sejak 2007. Saat itu, hanya ada tiga perempuan yang terlibat dalam kepengurusan PNPM di Desa Air Tenam, salah satu Heni. Kala itu, dia sebagai bendahara.

Heni juga terlibat aktif dalam program keluarga harapan (PKH) dari Kementerian Sosial. “Salam satu program PNPM itu penghijauan. Jadi, kami sebagai perempuan ini ikut andil dalam menanam kayu. Kami diberi pembibitan untuk melindungi hutan supaya tidak longsor dan banjir.”

 

Sungai di Desa Air Tenam. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Selain penghijauan, program lain seperti bedah rumah, pipanisasi, membuat mandi, cuci, kakus (MCK) dan membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).

Saat ini, Desa Air Tenam belum teraliri listrik PLN. Mereka memanfaatkan debit air sungai yang melimpah, terlebih di Air Tenam juga ada air terjun, warga mengusulkan pembangunan PLTMH pada 2012. Heni juga berperan aktif dalam mengawal pembangunan PLTMH. Listrik dari PLN baru masuk ke desa ini pada 2019.

“Kami harus memastikan air untuk PLTMH terjaga terus. Ini untuk listrik dan penerangan. Jadi hutan tak boleh digunduli supaya air untuk menerangi kami terus ada,” katanya.

Sebelum berstatus definitif, Desa Air Tenam merupakan dusun yang secara administrasi menyatu desa tetangganya. Untuk jadikan desa definitif, Heni punya peran sentral. Dia bergerilnya mendata warga dan fasilitas di dusun sebagai persyaratan jadi desa.

“Saat itu, suami saya menjabat sebagai kepala dusun. Jadi, saya ikut terlibat dalam program pemberdayaan. Saya juga di BPD (Badan Permusyawaratan Desa-red) selama dua periode.”

Saat itu, dia harus mendata warga di sekitar. Bukan pekerjaan mudah karena tempat tinggal warga tersebar di beberapa wilayah, bahkan ada di sekitar hutan.

“Saya data dari keluarga ke keluarga. Supaya desa kita maju. Syarat untuk jadi definitif minimal harus ada 1.033 keluarga. Kebetulan waktu itu warga masih tinggal di kebun-kebun itu, kita data semua terus terkumpul baru definifitif.”

“Namanya di hutan, kadangkala ada tebing, ada sungai, itu yang menyulitkan. Kalau bapak yang menjalani, itu saya yang nulis. Harus jalan melewati tebing, kadang hujan, kita harus bantu bapak mana yang dekat-dekat.”

Perjuangan tak sia-sia. Air Tenam jadi desa definitif pada 2016. Pendataan dan proses pengajuan sejak 2013.

“Kita ini daerah perbatasan. Dulu, untuk ngurus banyak hal, jauh. Setelah definitif, banyak manfaat. Penerangan kita bisa mandiri. Dulu, kalau ada bantuan, sekadar dikit pembagian ke kita. Setelah mandiri, ya banyak. Ada mikrohidro juga.”

Diyah Deviyanti, dari Hutan Itu Indonesia melihat, Heni itu sosok inspiratif dan bisa jadi panutan. “Bu Heni, sosok perempuan, bukan cuma mengurus keluarga dan dapur. Dia membuktikan, perempuan di desa andil besar dalam menjaga hutan. Dia mengayomi ibu-ibu lain di Air Tenam,” katanya.

Warga membuktikan, kalau masyarakat desa bisa menjaga hutan dengan baik.

“Pemerintah seharusnya bisa lebih percaya dan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengelola hutan. Malah hutan dirawat masyarakat lebih bagus. Terjaga. Masyarakat dapat sesuatu tanpa merusak hutan, saling menguntungkan antara hutan dan masyarakat.”

Hingga kini, sosisalisasi mengelola dan memanfaatkan lahan tanpa menggangu hutan, terus Heni lakukan.

“Tetap ngajak kerjasama ke ibu-ibu lain. Saya sih tak memaksa dengan ibu-ibu, mereka mengusulkan sendiri. Harapan saya desa ini bisa lebih maju. Ada perhatian pemerintah. Hutan tetap terjaga.”

 

Keterangan foto utama: Heni Herawati, aktif mengajak para perempuan ikut terlibat aktif dalam setiap program di desa itu, baik penghijauan, menanam kayu, pelatihan mengelola tanaman kopi dan lain-lain. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version