Mongabay.co.id

Upaya Warga Randuacir Menabung Air

Sumur resapan di Randuacir, Salatiga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kedatangan truk tangki membawa bantuan air jadi pemandangan biasa di Kelurahan Randuacir, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Setiap kemarau, warga selalu kekurangan air bersih. Kini warga di Kaki Gunung Merbabu itu ingin mengubahnya.

Untung Suripto, memperlihatkan sumur resapannya. Sumur terletak di sudut halaman depan rumah yang sederhana, di Dusun Sugihwaras, Randuacir.

Baca juga: Menanam Air di Patemon, Panen Air di Senjoyo

Tutup sumur dari beton pun dibuka. Terlihat dinding sumur diperkuat bis beton dua unit, masing-masing setinggi 1,5 meter. Di dasar sumur terpasang ijuk. Ada lubang tempat air hujan masuk. Di bagian lain, lubang untuk mengeluarkan air saat sumur resapan penuh.

“Sekarang belum menikmati, belum ada dampaknya ke sumur saya. Pas hujan kemarin air di sumur resapan sampai meluap,” katanya, Selasa, (10/3/20).

Sumur lain, biasa untuk keperluan sehari-hari jarak sekitar 30 meter dari sumur resapan dengan kedalaman 15,5 meter. Saat kemarau sumur kerap kering. Untuk memenuhi keperluan air bersih, lelaki 69 tahun ini harus mengambil air ke perusahaan asbes. Di sana, ada pipa air yang diizinkan untuk warga.

“Jaraknya dari sini 1,5 kilometer. Saya bawa dirigen empat pakai sepeda motor. Satu dirigen isi 30 liter. Tetangga juga mengambil air di sana. Yang antre dari pagi sampai malam.”

Sumur resapan Untung dibangun sekitar setahun lalu, didanai Dinas Lingkungan Hidup Salatiga. Ada dua sumur resapan di lingkungan tempatnya tinggal dengan ukuran, bisa menampung sekitar delapan kubik air.

Baca juga :  Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau

Solichin, Ketua RT, mengatakan, layanan PDAM belum masuk ke kampung mereka. Selama ini, warga harus menggali sumur cukup dalam untuk memperoleh air.

“Sumur saya sedalam 18 meter. Tetangga saya ada 25 meter. Sama seperti warga lain, kalau kemarau harus mengambil air di pipa PDAM dekat pabrik asbes, di bawah.”

Untung berharap kemarau nanti, sumur resapan itu membawa pengaruh ke sumurnya.   “Kemarau tahun ini parah. Semoga di musim kemarau akan datang ada perbedaan. Saat hujan air ditampung di sini. Daripada airn nanti ke sana-sana,” katanya.

 

Untung Suripto, warga Kelurahan Randuacir, sedang menjelaskan keberadaan sumur resapan di halaman rumahnya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pasokan air

Di Randuacir, sekurang-kurangnya ada tiga dusun mengalami kekurangan air bersih. Tiga dusun itu adalah Kembangsari, Ploso, dan Tetep. Setiap kemarau, Randuacir kerap jadi sasaran bantuan air. Keadaan ini sudah puluhan tahun berlangsung.

Letak geografis yang tinggi membuat PDAM Salatiga kesulitan melayani kawasan ini. Randuacir terletak di Kaki Gunung Merbabu, barat daya pusat Kota Salatiga. Sumber air PDAM ada di bawah. Beberapa pihak sudah mengupayakan pembuatan sumur artesis, namun tak selalu berhasil.

“Baru kemarin ngebor keluar airnya. Tapi belum disalurkan,” kata Untung.

Sebagai tanda syukur, bersama Kelompok Tani Ngudi Luhur II warga lalu mengadakan pesta kecil. Kesenian reog ditampilkan, sejumlah pejabat diundang, dan bingkisan diberikan untuk mereka yang sudah membantu.

Berada di bawah, di sisi Timur Laut Randuacir, ada mata air Kalitaman yang jadi salah satu andalan sumber air kota Salatiga. Jarak sekitar 5,5 kilometer dari Randuacir.

Kelurahan ini berada di daerah resapan air bagi mata air Kalitaman. Sebagian air Kalitaman untuk sumber air kolam renang tertua di Salatiga.

Wilayah resapan mata air Kalitaman secara administratif ada di Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Di Salatiga, selain di Randuacir, ada di Kelurahan Tingkir, Sidorejo Kidul, Gendongan, Tingkir Tengah, Mangunsari, Kalicacing, Dukuh, Kecandran, Ledok, Kumpulrejo, dan Tegalrejo. Di Kabupaten Semarang, ada di Desa Polobogo, Sumogawe, Samirono, Jetak, Tajuk, dan Batur.

Permasalahan di Kalitaman, masih banyak warga membuang limbah rumah tangga ke aliran mata air. Debit air pun cenderung turun dari tahun ke tahun.

Data Dinas Lingkungan Hidup Salatiga memperlihatkan, pada 2010 debit 150 liter per detik, sembilan tahun kemudian atau 2019 tinggal 61,81 liter per detik atau turun 41%. Data PDAM, debit pada 2010 hanya 88,19 liter per detik.

Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS) yang didanai USAID, sejak 2019, membantu tim Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) Kota Salatiga.

“Tugas kerjanya membuat kajian, dan rekomendasi bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas mata air Kalitaman. Tim merekomendasikan pembangunan 300 sumur resapan per tahun untuk mengembalikan debit seperti pada 2010,” kata Jefry Budiman, Manajer Regional Jawa Tengah USAID IUWASH PLUS, di Randuacir.

“Di wilayah kami, tahun 2019 dibangun 50 titik sumur resapan. Ada lima RW masing-masing 10 titik,” kata Ponco Margono Hasan, Lurah Randuacir.

Pembangunan dengan anggaran APBD 2019 lewat Dinas Lingkungan Hidup Salatiga dan mulai kerja September-Desember tahun lalu. Pembuatan sumur resapan itu merupakan tidak lanjut rekomendasi KKMA.

“Sumur penduduk permukaannya jadi lebih tinggi. Kemarin sedikit, sekarang volume sumur bertambah. Memang, sumur di daerah sini dalam.”

Manfaat yang dirasakan bukan itu saja. Kelembapan tanah terjaga, mengurangi aliran permukaan, dan mencegah banjir.

Melihat dampak langsung bisa dirasakan warga, kelurahan memutuskan membangun sumur resapan sendiri.

“Kami menganggarkan pembangunan sumur resapan 20 titik. Anggaran diambil dari dana kelurahan. Jadi, setiap tahun ditambah sumur resapan. Warga sendiri yang meminta lewat musrenbang. Tahun depan kami merencanakan 60 titik.”

Keinginan warga Randuacir bebas dari droping air saat kemarau mendapat dukungan dinas kota. “Air hujan kalau tidak dimanfaatkan akan membanjiri sungai. Membawa tanah subur permukaan, sungai menjadi keruh,” kata Roy Anjar, Kepada Bidang Dinas Lingkungan Hidup Salatiga.

“Saya bersyukur masyarakat Randuacir antusias membantu. Pelaku usaha juga kami minta membuat sumur resapan.”

 

Pengunjung memberi makan ikan di kolam yang merupakan bagian dari mata air enjoyo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia 

 

Sukses tabung air di Patemon

Manfaaat sumur resapan lebih dulu dirasakan warga Desa Patemon, lima kilometer dari Randuacir. Patemon merupakan wilayah tangkapan mata air Senjoyo. Patemon di Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, kerap menerima kunjungan dari mereka yang ingin belajar tentang manfaat sumur resapan.

“Ketika ada tawaran program sumur resapan, tanpa berpikir panjang langsung saya terima,” kenang Kepala Desa Patemon, Puji Rahayu.

Program sumur resapan di Patemon berawal pada 2014. Kala itu, IUWASH bekerjasama dengan Coca-cola Foundation Indonesia, dan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyibah (SPPQT) mengkonservasi sumber daya air di area tangkapan mata air Senjoyo.

Ada enam lokasi terpilih di Semarang dan Salatiga, yaitu, Gogik, Candirejo, Butuh, Jetak, dan Patemon. Dalam laporan IUWASH, sampai 2017 ada 954 sumur resapan sudah terbangun di enam lokasi itu. Hasilnya, debit mata air Senjoyo meningkat dari 800 liter per detik pada 2015 jadi 1.100 liter per detik pada 2017.

Awalnya, tidak gampang meyakinkan warga untuk meminjamkan tanah sebagai sumur resapan. Warga juga tak mau karena tidak ada ganti rugi tanah.

“Akhirnya, kami mulai dari perangkat desa dan tokoh masyarakat. Kami ingin memberikan contoh, hingga masyarakat punya gambaran.”

Manfaat sumur resapan mulai terlihat. Limpasan air hujan bisa dikendalikan, sumur terisi, kelembapan tanah terjaga. Cita-cita besar pun dicanangkan.

“Saya mempunyai program 1.000 titik sumur resapan harus terbangun di Patemon. Tahun ini, sudah 315 titik sumur resapan. Sebanyak 296 sumur dibangun bersama IUWASH. Desa lalu melanjutkan mencari dana supaya titik sumur resapan bertambah.”

Banyaknya industri di sekitar Patemon menjadi peluang sumber dana. Sebelumnya, pemerintah desa bersama BPD dan tokoh masyarakat sepakat membuat Peraturan Desa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Tata Kelola Air Desa Patemon.

“Sejak itu, saya berani mendatangi perusahaan-perusahaan untuk mengundang mereka membantu program sumur resapan. Alhamdudillah, setiap tahun dua perusahaan mau membangun empat sumur resapan. Saya juga berani menganggarkan dari dana desa karena sudah ada payung hukumnya.”

Joko Waluyo, tokoh masyarakat Patemon turut berbagi pengalaman. Musim kemarau lalu, beberapa desa tetangga masih menggantungkan pada bantuan air, Patemon tidak lagi. Kalau dulu, warga membuat sumur tidak pernah keluar air, kini sebaliknya.

“Itu berkat sumur resapan. Sumur warga terisi semua. Ada warga yang memiliki sumur dengan kedalaman 37 meter. Dulu, digunakan empat keluarga, kalau pagi disedot harus nunggu lagi disedot sorenya. Setelah ada sumur resapan sumur itu bisa menghidupi 18 keluarga.”

“Makanya tidak salah jika Patemon membuat sumur resapan. Supaya air hujan jangan menjadi musibah, tapi menjadi berkah. Kita tinggali anak cucu mata air, jangan air mata. Inilah semboyan kita.”

Dengan berbagai pendekatan itu, kini warga berebut kalau ada program pembangunan sumur resapan. Lewat perdes ada kewajiban bagi yang mendirikan bangunan untuk membuat sumur resapan. Begitupun bagi industri yang berdiri di kawasan Patemon.

“Sumur resapan yang kami bangun berukuran 1,5 meter kali 1,5 meter, dengan kedalaman 3,6 meter. Kalau dihitung bisa menampung delapan kubik air sekali isi. Ketika ada perdes payung hukum jelas. Ini bisa jadi solusi. Saat musim hujan mencegah banjir, saat kemarau memberikan air.”

 

Sumur resapan di Desa Patemon selain meningkatkan debit air sumur dangkal, namun ikut meningkatkan debit mata air Senjoyo. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sumber air baku

Salatiga memiliki posisi unik. Ia berbatasan dengan Kabupaten Semarang di seluruh penjuru mata angin. Memiliki empat kecamatan, 23 kelurahan, Salatiga berada di cekungan Kaki Gunung Merbabu dan beberapa gunung kecil.

Untuk memenuhi kebutuhan air penduduk bagi hampir sekitar 200.000 jiwa, PDAM mengandalkan mata air Senjoyo, Kalisombo, Kalitaman, Kaligojek, Kaligetek, dan beberapa sumur dalam.

Ilham Sulistiyana, Kabag Teknik PDAM Kota Salatiga mengatakan, sekitar 80% dari empat kecamatan itu terlayani.

“Ada tiga kelurahan yang kini kondisi jadi zona merah kami, karena belum terlayani, yaitu Randuacir, Tegalrejo, Noborejo. Di tiga kelurahan ini kami mulai merintis pelayanan air bersih.”

Sumber mata air utama PDAM Salatiga adalah Senjoyo, secara administratif di Semarang. Sementara mata air andalan berikutnya adalah Kalitaman, dengan debit terus menurun.

“Kondisi cukup mengkhawatirkan. Dari hasil kajian, dalam sembilan tahun penurunan kurang lebih 60 liter per detik. Ini menjadi tantangan bagi kami karena kami merupakan pemanfaat utama dari Kalitaman.”

Kondisi mata air Kalitaman cukup berbeda dengan Senjoyo. Mata air ini pada 1980-an memiliki debit air 1.300 liter per detik, pada 2014, turun jadi 800 liter per detik.

“Kami sudah memanen air pada 2017. Pada 2019, debit air sudah mencapai 1.100 liter per detik. Dengan ada program sumur resapan ini kami sangat bersyukur sekali. Semoga mata air Kalitaman juga bisa seperti Senjoyo.”

Selain dimanfaatkan PDAM Salatiga dan Semarang, mata air Senjoyo juga dipakai PT Damatex dan PT Timatex, Yonif 411 Salatiga, dan irigasi.

“Kami menganggarkan tiap tahun ada 10 sumur resapan. Tidak banyak memang, namun ini bagian upaya melestarikan mata air. Pengalaman Patemon, bisa dicontoh. Lima tahun ini Desa Patemon sudah tidak minta kiriman air saat kemarau.“

Selain membantu pembangunan sumur resapan, langkah menyelamatkan mata air Senjoyo juga dilakukan dengan mengajak komunitas pendaki Merbabu menanam pohon di lereng gunung ini.

“Setiap pendaki kita bekali satu pohon untuk ditanam, untuk menambah pohon penangkap air.”

Asep Mulyana, pakar air baku IUWASH mengatakan, pembuatan sumur resapan mempertimbangkan delineasi suatu kawasan di area resapan. Jadi, air hujan masuk tepat mengalir di titik mata air yang diinginkan.

“Ada aspek geologi yang harus diperhitungkan. Jenis tanah, kondisi asesoris batuan atau karakter bantuan. Kebetulan di seluruh Jawa yang bergunung api jenis batuan sama hingga karakter sama. Jadi, yang menentukan pola kontur. Kalau pola kontur punggungan, mata air di pojok. Catchment di sekitarnya.”

Tanpa membuat deliniasi, katanya, akan sulit mengharap hasil optimal dari pembuatan sumur resapan, terlebih kalau bertujuan meningkatkan debit suatu mata air.

“Selalu kita ajarkan ini dalam workshop. Karena seberapapun jumlah sumur resapan dibuat, kalau tujuan untuk mengalirkan ke mata air maka tidak ada manfaatnya tanpa tahu delineasi. Dari segi konservasi di manapun membangun sumur resapan pasti ada manfaatnya.“

 

 

Keterangan foto utama: Sumur resapan di Randuacir, Salatiga. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version