Mongabay.co.id

Merawat Sumber Air, Menjamin Masa Depan Umat Manusia di Bumi

 

“Water is life, and clean water means health.”

Audrey Hepburn

**

 

Hari Minggu [22/3/2020], kita kembali memperingati Hari Air Sedunia [World Water Day]. Menilik sejarah, gagasan untuk mengadakan Hari Air Dunia muncul pertama kali tahun 1992, tatkala digelar Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembangunan dan Lingkungan di Rio de Janeiro, Brasil. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian menindaklanjuti gagasan tersebut dengan menetapkan 22 Maret sebagai Hari Air Sedunia.

Tema peringatan Hari Air Sedunia tahun ini adalah “Air dan Perubahan Iklim”. Secara definisi, istilah perubahan iklim merujuk pada pergeseran iklim untuk jangka waktu panjang yang ditandai perubahan suhu, curah hujan [presipitasi], pergerakan angin, dan beberapa indikator lain.

Di negara kita, salah satu dampak perubahan iklim yang dapat kita rasakan dewasa ini adalah munculnya kemarau panjang dan juga meningkatnya curah hujan di luar siklus normal. Buntutnya, peluang untuk terjadinya bencana kekeringan di saat musim kemarau serta banjir di musim hujan semakin besar dan meluas.

 

Ciliwung merupakan satu dari 14 sungai yang diprioritaskan pemulihannya oleh Pemerintah Indonesia. Ciliwung membentang dari hulu di Bogor, meliputi kawasan Gunung Gede, Gunung Pangrango, dan Cisarua lalu mengalir ke hilir di pantai utara Jakarta. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Zat vital

Air merupakan zat vital yang sangat kita butuhkan, dimanapun dan kapanpun. Kita masih bisa bertahan hidup berhari atau bahkan berbulan dengan pasokan makanan sangat minim. Tapi, tanpa pasokan air sama sekali, jangan harap kita bisa bertahan hidup lebih lama.

Meskipun Planet Bumi yang kita huni ini sebagian besar terdiri air, hanya tiga persen saja yang berupa air tawar. Sisanya adalah air asin. Penelitian yang dilakukan US Geological Survey menunjukkan, lebih dari 68 persen air tawar tersimpan di kawasan glasier dan pegunungan es, 30 persen tersimpan di bawah tanah, dan hanya 0,3 persen yang tersimpan di permukaan Bumi seperti danau, sungai, dan rawa-rawa.

Kehidupan ada apabila tersedia air. Water is life, begitu kata Audrey Hepburn, aktris dan pegiat kemanusiaan asal Inggris. Maka, syarat utama bagi koloni lain di luar Planet Bumi yang mungkin suatu saat dapat kita tinggali adalah, tersedianya sumber air. Itu yang paling penting.

Sebagai sumber kehidupan, air menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas apa pun yang kita lakukan. Aktivitas pribadi, rumah tangga, maupun industri senantiasa membutuhkan air.

Sebagai ilustrasi, hampir semua aktivitas pertanian memerlukan air. Karenanya, kelangkaan air akan berpengaruh besar terhadap sektor ini, yang pada gilirannya dapat mengancam aspek ketahanan pangan.

Begitu juga di sektor energi. Air dibutuhkan dalam proses produksi berbagai jenis energi, mulai minyak dan gas hingga pembangkit tenaga listrik. Dengan demikian, tersedianya pasokan air yang memadai ikut pula menjamin pasokan energi masa depan.

Kendati air demikian vital bagi kelangsungan hidup umat manusia, toh tidak sedikit dari kita cenderung abai terhadap pelestarian sumber-sumber air. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh. Tengok saja di sekeliling kita bagaimana kita dengan mudahnya merusak kawasan hulu yang notabene merupakan daerah tangkapan air.

Lihat juga bagaimana kita memperlakukan dengan buruk sungai-sungai di sekeliling kita. Sungai yang semestinya mengalirkan air yang bening justru mengalirkan air kotor berbau, akibat sarat limbah maupun sampah, baik yang berasal dari aktivitas rumah tangga maupun industri.

Ujungnya, bencana datang karena kita sendiri yang ikut mengundangnya. Rusaknya daerah tangkapan air di hulu dan aliran sungai, misalnya, menjadikan banjir menjadi langganan setiap kali musim hujan tiba. Sebaliknya, ketika kemarau, kekeringan menjadi petaka yang mesti kita lakoni.

Banjir dan kekeringan melahirkan pula bencana lain berupa munculnya sejumlah penyakit. Diare, leptospirosis, radang saluran pernapasan serta berbagai penyakit kulit adalah beberapa penyakit yang umum menyerang saat banjir. Pun saat kekeringan melanda, sejumlah penyakit rentan menyerang kita.

 

Hutan yang terjaga akan membuat air tetap mengalir. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tantangan terbesar

Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia, Indonesia bukan hanya menghadapi masalah ketahanan pangan dan ketahanan energi, tetapi juga masalah ketahanan air di masa depan.

Salah satu upaya untuk menjamin ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di negeri ini adalah dengan menjalankan kebijakan tata ruang yang tepat serta cermat. Tidka hanya di level nasional, tapi juga provinsi, kabupaten, maupun kota.

Kebijakan tata ruang yang asal-asalan sejauh ini telah menyebabkan banyak kawasan hulu yang merupakan kawasan tangkapan air di negeri ini menjadi kian rusak. Buntutnya, sumber-sumber air bersih semakin menciut.

Pelestarian sumber-sumber air permukaan, seperti sungai, danau maupun rawa, tidak boleh dilupakan. Jangan sampai sumber-sumber air permukaan ini berubah wujud sebagai tempat pembuangan sampah massal. Gerakan normalisasi, rehabilitasi, dan revitalisasi sungai, danau maupun rawa mesti digiatkan.

Tidak kalah penting adalah membatasi izin penyedotan air bawah tanah. Seperti kita ketahui, penyedotan air bawah tanah yang masif bukan saja mengancam ketersediaan pasokan air bersih, tetapi juga menjadikan permukaan tanah turun, yang pada gilirannya membuat banjir semakin mudah terjadi.

Pemanfaatan teknologi perlu diusahakan guna menjaga ketersediaan air bersih. Kemajuan teknologi bisa kita manfaatkan, misalnya, dalam hal desalinisasi, yaitu mengubah air laut menjadi air bersih layak minum. Selain itu, teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan proses daur ulang air [recycling].

Pada level rumah tangga, upaya menjamin ketersediaan air bersih dapat dilakukan dengan cara memanen air hujan. Butiran air yang tercurah dari langit jangan dibiarkan meluncur begitu saja, masuk got atau selokan.

Kita perlu mengupayakan air hujan segera meresap ke sekitar halaman. Alangkah baiknya apabila pekarangan sekitar kita, tidak seluruhnya ditutup beton, karena ini justru menghalangi air hujan meresap langsung ke dalam tanah. Jauh lebih baik apabila setiap rumah tangga memiliki sumur-sumur resapan.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah menghemat air yang kita gunakan. Dengan kata lain, gunakan air seefisien mungkin. Untuk sejumlah keperluan, kita cukup gunakan air yang sebelumnya sudah kita pakai. Contoh, untuk menyiram tanaman, gunakan air bekas mencuci beras. Dengan begitu, kita tidak menghambur-hamburkan air.

Air bakal selalu kita butuhkan. Demi masa depan dan kelangsungan hidup anak cucu, kita semua, tanpa kecuali, memiliki kewajiban untuk mengupayakan sumber-sumber air tetap terjaga dan lestari.

 

*Djoko Subinartokolumnis dan bloger, tinggal di Bandung [Jawa Barat]. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version