Mongabay.co.id

Fakta Menarik Klorokuin, Obat Malaria yang Digunakan untuk Merawat Pasien COVID-19

 

 

Pemerintah Indonesia akan memesan Avigan, obat yang bisa digunakan untuk mengobati pasien COVID-19 dan telah digunakan di beberapa negara, sebanyak 5 ribu dari jumlah 2 juta butir. Selain itu, pemerintah juga memesan obat Klorokuin [Chloroquine] sebanyak 3 juta butir.

Nantinya, obat-obat tersebut akan diantar oleh dokter keliling dari rumah ke rumah pasien. Penggunaannya juga akan diawasi langsung oleh rumah sakit dan puskesmas di lingkungan setempat.

Avigan [Favipiravir] adalah agen antivirus yang secara selektif dan berpotensi menghambat RNA-dependent RNA polimerase [RdRp] dari virus RNA. Fujifilm Toyama Chemical yang berbasis di Tokyo, Jepang, mengembangkan obat ini pada 2014, sebagaimana dikutip dari Liputan6.com.

Uji klinis dilakukan pada 200 pasien di rumah sakit Wuhan dan Shenzen. Pasien yang meminum obat ini kemudian dinyatakan negatif virus SARS-CoV-2 [yang menyebabkan COVID-19] dalam rentang 4 hari setelah diminum. Tanpa meminum obat ini, pasien akan memakan waktu 11 hari untuk dinyatakan negatif. Para peneliti juga menemukan bahwa kondisi paru-paru membaik pada sekitar 91% dari pasien yang diberi obat, dibandingkan dengan 62% dari mereka yang tidak meminumnya.

Dokter di Jepang menggunakan obat yang sama dalam studi klinis pada pasien COVID-19 dengan gejala ringan hingga sedang dan sudah diberikan pada pasien positif di Jepang sejak Februari 2020.

Tetapi sumber kementerian kesehatan Jepang menyatakan obat itu tidak efektif pada orang dengan gejala yang lebih parah. “Kami telah memberi Avigan kepada 70 hingga 80 orang, tetapi tampaknya tidak berfungsi dengan baik ketika virus sudah berlipat ganda,” kata sumber itu kepada harian online The Mainichi.

Baca: Penelitian: Jahe Merah dan Jambu Biji Potensial Tangkal Corona

 

Pekerja menyortir kulit kina di perkebunan kina Tjinjiroean [Cinyiruan, sekarang bagian dari PPTK Gambung], Bandung selatan. Sumber: Wikimedia Commons/Troppenmuseum/Atribusi-BerbagiSerupa 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Bagaimana Klorokuin?

Klorokuin awalnya adalah obat yang digunakan untuk mengatasi penyakit malaria sebagai antiplasmodium. Namun, dengan makin berkurangnya penyakit malaria dan munculnya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, maka klorokuin tidak terlalu banyak lagi digunakan sebagai obat antimalaria.

Klorokuin juga banyak digunakan dalam terapi penyakit autoimun, seperti lupus, rheumatoid artritis, dan lainnya. Sebagai obat pada penyakit autoimun, klorokuin yang bersifat basa bekerja dengan cara menembus ke dalam sel dan terkonsentrasi di dalam rongga sitoplasma yang bersifat asam.

Obat ini juga disebut sebagai kandidat potensial untuk SARS-CoV-2. Di Tiongkok, pada pandemik ini, klorokuin telah digunakan dengan dosis 500 mg untuk dewasa, 2 kali sehari, lama terapi sekitar 10 hari. Klorokuin saat ini juga sedang dicoba di Malaysia dengan dosis yang sama.

Dalam makalah tiga halaman yang diterbitkan di Cell Research dan Nature, para ilmuwan di Laboratorium Virologi Wuhan Institute of Virology menulis, chloroquine dan antivirus remdesivir, secara individual, “sangat efektif” menghambat replikasi coronavirus dalam kultur sel.

Meskipun makalah ini singkat, John Lednicky, seorang profesor di Emerging Pathogens Institute, University of Florida, mengatakan bahwa temuan ini menarik. “Sangat menarik karena  meskipun tidak benar-benar memiliki banyak detail dalam makalah tersebut, namun, jika kita melihat data yang disajikan, setidaknya secara in vitro, sepertinya klorokuin dapat digunakan sebagai obat tahap awal untuk pasien Covid-19,” katanya. “Akan sangat baik jika jenis percobaan ini diulangi lebih banyak laboratorium untuk melihat apakah hasil yang sama terjadi di seluruh percobaan.”

Sementara itu, dikutip dari Liputan6.com, Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada [UGM] Zullies Ikawati menyebutkan, beberapa negara, termasuk di Tiongkok telah menggunakan Klorokuin sebagai obat untuk penanganan COVID-19. Ia menjelaskan, obat ini juga pernah digunakan ketika merebak virus SARS beberap tahun silam. Meskipun demikian, Zullies berpesan agar masyarakat tidak menggunakan Klorokuin sembarangan. Mengingat, obat ini merupakan obat keras yang penggunaannya mesti menggunakan resep dokter.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia [PDPI] Agus Dwi Susanto menambahkan, Klorokuin hanya cocok untuk penanganan pasien COVID-19 berat disertai komplikasi. “Protokol PDPI dalam bagian tatalaksana ada chloroquine posphate, tapi itu hanya untuk pneumonia COVID-19 berat dan komplikasi,” kata Agus seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu [21/3/2020]. Menurut Agus, penggunaan Klorokuin tidak bisa diterapkan pada kasus ringan. Bahkan, jika tidak hati-hati, akan mengganggu ginjal dan liver pengguna.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, juga menegaskan bahwa Klorokuin bukanlah obat untuk mencegah infeksi virus corona, sehingga masyarakat tidak perlu membeli dan menyimpan, seperti dikutip Kompas.com.

Dikutip dari Detikom, Presiden Jokowi mengatakan Klorokuin dianggap sebagai obat yang dipercaya mampu menyembuhkan pasien COVID-19. Di Indonesia, Obat ini telah diproduksi secara massal oleh PT. Kimia Farma.

“Ini adalah produksi negara kita, produksi Indonesia. Barang ini adalah produksi Kimia Farma,” tuturnya Senin [23/3/2020].

Jokowi menegaskan, klorokuin bukanlah obat first line atau obat utama untuk menyembuhkan pasien corona. Namun, obat ini banyak digunakan negara lain yang telah menangani virus corona.

“Obat COVID-19 belum ada dan belum ada antivirusnya. Klorokuin bukan obat yang dijual bebas, hanya bisa dibeli menggunakan resep dokter,” jelasnya.

Klorokuin adalah bentuk sintetis dari kuinine, senyawa yang ditemukan di kulit pohon kina [Cinchona] yang merupakan pohon asli Amerika Latin di sepanjang pegunungan Andes, meliputi Venezuela, Colombia, Equador, Peru, hingga Bolivia.

Kulit kina banyak mengandung alkaloid-alkaloid yang penting yaitu kuinine untuk penyakit malaria dan kinidine untuk penyakit jantung. Manfaat lain dari kulit kina ini adalah untuk depuratif, influenza, disentri, diare, dan tonik.

Baca: LIPI: Cegah Virus Corona, Jaga Kebersihan Diri dan Pakai Hand Sanitizer Teratur

 

Bunga dan daun kina. Sumber: Wikimedia Commons/Coloured lithograph after M. A. Burnett, c. 1842/Iconographic Collections/ Creative Commons Atribusi 4.0 Internasional

 

Obat malaria

Dulunya, penduduk di kawasan pegunungan Andes menggunakan kulit pohon kina untuk mengobati malaria [yang dipercaya dibawa para pelaut Eropa ke seluruh dunia] dan penyakit demam lain. Di masa itu, saat para penjajah datang ke kawasan tersebut, proses kimiawi untuk ekstraksi kuinine dari kulit pohon kina belum dilakukan, dan teknologinya baru ditemukan berabad kemudian.

Para penjajah Eropa di Amerika Latin [terutama di negara-negara kawasan Andes] kemudian mengirim kulit pohon kina ke Eropa sekitar abad ke-17. Obat ini diharapkan menjadi penyembuh yang unggul untuk berbagai demam yang lazim di Eropa waktu itu, terutama mereka yang tinggal di rawa-rawa.

Kulit pohon tersebut digiling halus menjadi bubuk dan kemudian dicampur dengan anggur untuk melawan rasa pahitnya. Masalah kemudian muncul saat dosis dan kesulitan mengklasifikasikan dengan tepat pohon mana yang menghasilkan kulit kayu yang benar. Akhirnya, menghambat penggunaannya sebagai obat secara luas.

Pada 1820, ilmuwan Prancis Pierre Pelletier dan Joseph Caventou menemukan proses mengekstraksi kuinine, yang kemudian meningkatkan potensi obat secara nyata. Penemuan itu bertepatan waktunya dengan makin merebaknya penyakit malaria, terutama di negara-negara tropis yang menjadi jajahan banyak bangsa Eropa. Banyak tentara kolonial Eropa, keluarganya, dan para pekerja terjangkit malaria di daerah-daerah tersebut.

Namun masalah muncul kembali, karena sekarang mereka  membutuhkan suplai kulit kayu yang cukup untuk memasok kebutuhan obat malaria ke daerah-daerah koloninya. Maka dimulailah perlombaan mencari “harta karun” ini di antara kekuatan-kekuatan kolonial Eropa.

Ketika itu, negara-negara Amerika Latin mulai memerdekakan diri, dan mengendalikan pasokan kina. Setelah kemerdekaan mereka dari Spanyol awal abad ke-19 mereka mewarisi monopoli eksploitasi pohon kina.

Peru, Ekuador, Kolombia, dan Bolivia menjaga monopoli mereka atas pohon-pohon kina dengan memberlakukan pembatasan ekspor yang ketat pada benih dan tanaman, sambil mendapatkan keuntungan signifikan dari mengekspor kulit kayu. Prancis, Inggris, dan Belanda, membutuhkan kulit kayu dan ingin mematahkan monopoli Amerika Selatan. Jadi mereka mengirim beberapa ekspedisi untuk mendapatkan benih dan tanaman, seringkali dengan menyelundupkannya secara ilegal untuk dikembangbiakkan di perkebunan-perkebunan di tanah jajahan mereka.

Charles Ledger, seorang penjelajah dari Inggris, berhasil mendapatkan benih dari perbatasan Peru/Bolivia untuk spesies kina yang kulitnya mengandung hingga 10% kuinine. Pada 1865, benih ini dikirim ke London, namun Pemerintah Inggris kurang tertarik pada hasil ekspedisi ini. Benih-benih itu kemudian dijual ke Belanda yang membudidayakan dan meningkatkan spesies di koloni mereka di Jawa. Spesies ini disebut Cinchona ledgeriana untuk menghormati Charles Ledger, dan membangun fondasi dasar pasokan kina dunia.

Belanda sendiri amat berkepentingan untuk segera memproduksi kina secara massal, karena merebaknya malaria di Batavia, yang membuat kota yang dulunya disebut sebagai kota ‘Eropa’ paling cantik di timur berjuluk “de koningin van het oosten” [Ratu dari Timur], menjadi kota yang dihindari banyak orang. Termasuk, para pedagang dan berbagai negara yang menjuluki “het graf van het oosten” [kuburan di negeri timur]. Begitu banyak korban tewas akibat wabah ini, dan tak juga ditemukan obatnya.

Belanda adalah negara kolonial pertama yang sukses membuat perkebunan dan memperdagangkan kina secara komersial. Mereka menciptakan perkebunan di sekitaran Bandung [Jawa Barat] yang akhirnya mendominasi produksi kina dunia. Adalah Justus Karl Hasskarl yang membawa bibit kina dari Peru ke Jawa pada 1854. Namun, karena kesehatannya memburuk, dia kembali ke Eropa untuk berobat akhir 1856.

Lalu muncul Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, seorang naturalis dan ahli botani kebangsaan Jerman yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda, yang ditugasi memelihara pohon kina pada 1857. Junghuhn kemudian merubah prosedur penanaman percobaan yang diterapkan J.K. Hasskarl, pendahulunya, dengan memindah perkebunan kina ke daerah pegunungan yang lebih tinggi di Malabar dan menanam semaian-semaian di dalam keteduhan hutan. Kelak, spesies Cinchona ledgeriana yang memungkinkan terjadinya peningkatan penghasilan kuinine di Pulau Jawa secara signifikan.

 

Kina Cinchona pubescens. Sumber: Wikimedia Commons/USGS/Public Domain

 

Budidaya kina di Jawa

Budidaya tanama kina di Jawa tentu memiliki tantangan tersendiri. Sebagai tanaman bukan asli Nusantara, kina butuh perlakuan khusus, selain iklim yang cocok dengan negeri asalnya. Setelah dilakukan beberapa eksperimen, kina dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi Bandung, sehingga didirikanlah pabrik kina bernama “Bandoengsche Kinine Fabriek N.V” pada 28 Juli 1896. Lokasinya di batas barat Bandung, sebagai industri paling tua di Kota Kembang.

Pabrik hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W ini beroperasi mengolah kulit kina yang didatangkan dari pusat produksi di Pangalengan dan Lembang. Saat itu, Belanda betul-betul menikmati keuntungan besar perdagangan kina. Sehingga pada abad ke-20, Pulau Jawa menjadi terkenal karena menghasilkan lebih dari 90 persen produksi kina dunia.

Dominasi kina dari Jawa terjadi pada 1942, saat Jepang menginvasi Indonesia dan mengambil alih produksi  kina di Bandung. Karena sekutu membutuhkan obat untuk pasukan mereka di daerah tropis, mereka pun mencari sumber-sumber kina dari kawasan lain. Amerika Serikat bahkan mengirim ekspedisi ke Andes. Kekurangan kina yang tiba-tiba ini memaksa para ilmuwan dunia untuk mempercepat penelitiannya membuat obat-obatan sintetis. Pada akhirnya, dunia menghasilkan obat-obatan yang akan menggantikan kina sebagai obat antimalaria, utamanya yang digunakan dunia hingga kini.

Setelah Jepang menyerah pada Sekutu 1945, pabrik kina diambil alih oleh perusahaan swasta bernama Bandoengsche Fabriek N.V. Dikutip dari Ayo Bandung, Setelah 10 tahun beroperasi, pabrik ini diserahkan ke Combinatie Voor Chemische Industrie. Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda di Indonesia pada 1958, dan nama pabrik ini dirubah menjadi Perusahaan Negara Farmasi dan Alat Kesehatan Bhinneka Kina Farma. Pada tahun 1971, pabrik ini berubah nama lagi menjadi PT. Kimia Farma.

 

Bangunan pabrik kina di Jalan Pajajaran, Bandung. Foto: Anya Dellanita/ayobandung

 

Tanaman kina

Dari sekitar 40 spesies kina di seluruh dunia, hanya 2 spesies yang penting yaitu Cinchona succirubra [kina succi] yang dipakai sebagai batang bawah dan Cinchona ledgriana [kina ledger] sebagai bahan tanaman batang atas.

Di daerah asalnya di pegunungan Andes, tanaman ini tumbuh pada ketinggian 1.050 – 1.500 m di atas permukaan laut [dpl]. Di Indonesia, tanaman ini menyukai daerah dengan ketinggian 8.00 – 2.000 m dpl dengan ketinggian optimum untuk budidaya adalah 1.400 – 1.700 m dpl.

Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 13.5 hingga 21 derajat Celcius, dengan kelembaban relatif harian minimum dalam satu tahun sekitar 68% hingga 97%.

Karakteristik tanah yang cocok untuk budidaya kina bersifat subur, gembur, tidak bercadas dan berbatu, banyak mengandung bahan organik, serta memiliki derajat keasaman [pH] sekitar 4.6 hingga 6.5 dengan pH optimum sebesar 5.8.

Setelah dipanen, kulit pohon kina akan melalukan regenerasi sebagian, dan setelah beberapa tahun kulitnya dipanen, pohon-pohon tersebut dicabut, diganti pohon baru. [Berbagai sumber]

 

 

Exit mobile version