Mongabay.co.id

Kasus Hutan Sabuai, Komisaris SBM jadi Tersangka Pembalakan Liar

Foto: Gakum

 

 

Perjuangan dan protes warga atas pembabatan hutan adat Sabuai, mendapat angin segar. Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) (Balai Gakkum) Wilayah Maluku Papua, menetapkan Imanuel Quedarusman alias Yongki, Komisaris CV Sumber Berkat Makmur (SBM), sebagai tersangka pembalakan liar pada 18 Maret lalu.

Balai Gakkum juga mengamankan barang bukti satu alat berat loader merek komatsu, dua buldozer caterpillar dan 25 batang kayu bulat gelondongan dari berbagai ukuran dan jenis. Kayu gelondongan itu diduga hasil pembalakan liar SBM, di hutan adat Negeri Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Seram Bagian Timur, Maluku.

“Saat ini, Penyidik Gakkum Maluku Papua masih mendalami penyidikan dan menuntaskan kasus itu. Seluruh barang bukti telah mendapatkan penetapan sita dari Pengadilan Negeri Dataran Hunimoa Kelas II,” kata Yosep Nong, Kepala Seksi Wilayah II Ambon, Balai Gakkum Maluku Papua dalam keterangan resminya.

Baca juga: Berusaha Pertahankan Hutan Adat, Warga Sabuai Terjerat Hukum

Penyidik, katanya, akan menjerat tersangka dengan Pasal 12 Huruf k Jo. Pasal 87 Ayat 1 Huruf 1 dan/atau Pasal 19 Huruf a Jo. Pasal 94 Ayat 1 Huruf a, UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman pidana paling lama 15 tahun dan denda maksimum Rp100 miliar.

Operasi penangkapan dan penetapan tersangka ini berawal dari informasi ada pembalakan liar di media online. Tim Gakkum mengumpulkan data dan informasi lebih banyak serta menindaklanjuti dengan operasi pengamanan hutan dan peredaran hasil hutan, pada 4 Maret 2020.

“Tim melanjutkan dengan penyidikan hingga menahan Yongki dan menyita barang bukti, pada 18 Maret 2020,” katanya.

 

Tersangka, komisaris perusahaan dengan mata ditutup biru, sedang diapit petugas. Foto: Penegakan Hukum KLHK

 

Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam rilis mengatakan, pemberantasan perusakan hutan terutama pembalakan liar merupakan prioritas mereka.

Dia mengatakan, kejahatan pembalakan liar di Maluku, Papua, serta beberapa wilayah lain masih marak.

“Kami menindak 373 kasus illegal logging. Illegal logging tidak hanya merugikan negara, juga mengancam keselamatan manusia, serta mengganggu keseimbangan alam,” katanya.

Pelaku kejahatan seperti ini, katanya harus mendapat hukuman seberat-beratnya. Mereka, katanya, harus ditindak tegas dan tak boleh membiarkan terus terjadi. Dia bilang, mencari keuntungan dengan merugikan negara, mengorbankan lingkungan dan keselamatan masyarakat adalah kejahatan luar biasa.

“Sudah sepantasnya mereka dihukum. Kami sangat serius dan tak akan berhenti menindak pelaku kejahatan illegal logging,” kata Roy, sapaan akrabnya.

Yosep Nong, Kepala Seksi Wilayah II Ambon, Balai Gakkum Maluku Papua saat dihubungi Mongabay, Jumat (19/3/20) mengatakan, penetapan Yongki sebagai tersangka pembalakan liar, setelah menerima keterangan dari saksi-saksi. Mereka juga sudah memeriksa pimpinan perusahaan itu.

“Awalnya, kita minta keterangan sebagai saksi. Mengingat telah memenuhi dua alat bukti, yang bersangkutan kami naikan status jadi tersangka.”

Menurut dia, proses penetapan Yongki sebagai tersangka ini merupakan rentetan dari data yang diterima melalui media online soal penangkapan 26 orang warga yang ditangkap polisi, kemudian dua orang jadi tersangka.

“Awalnya dari berita penangkapan itu. Kemudian kita kembangkan dan menulusurinya. Setelah kita sampai di Jakarta, Komnas HAM, Ombudsman dan kementerian, meminta agar kita telusuri kasusnya. Pasalnya, waktu itu kita belum tahu akar masalahnya.”

Yosep bilang, baru tahu kalau penangkapan 26 warga itu biangnya dari proses penebangan liar. Tim mereka lalu turun menyamar selama beberapa hari, dan menemukan ternyata izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk tanam pala 2018 dari Dinas Kehutanan Maluku.

“Jadi izin IPK pala, tapi pala-pala itu sampai sekarang belum juga ditanam. Ternyata, perusahaan itu memanfaatkan kayu di luar areal IPK bahkan sudah masuk ke hutan produksi terbatas dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Mereka sudah keluar jauh, sekitar dua kilometer,” katanya.

Dia mengurai, kayu gelondongan itu panjang sekitar 15 meter, diameter dari 40-50 cm. Kayu-kayu itu, katanya, disita tim yang operasi di hutan adat Sabuai.

“Tersangka yang ditahan itu cukup berpengaruh, kita kewalahan saat upaya penahanan,” katanya.

Yosep bilang, berbagai instansi dan DPRD Maluku sudah turun ke lapangan untuk peninjauan dan pengawasan. Hingga kini, terlihat biasa-biasa saja, bahkan ada keterangan dari pelaku yang menyebut saat paripurna, DPRD Maluku merekomendasi agar IPK diperpanjang.

“IPK hanya bisa diperpanjang satu kali dan tidak boleh dua kali.”

Untuk proses perpanjangan izin, katanya, dinas terkait harus melakukan berbagai langkah termasuk verifikasi. Jadi, katanya, tidak bisa mengambil langkah berdasarkan data dari perusahaan. Kalau mengeluarkan izin, katanya, instansi harus pengawasan di lapangan.

 

Puluhan hingga ratusan kayu hasil penabangan CV SBM di wilayah hutan adat Negeri Sabuai, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur. Sumber Foto: Nanaku Maluku

 

Cari cara agar bebas

Dia bilang, sebelum ditahan pelaku sempat melakukan berbagai cara agar bisa bebas. Yongki bahkan mau berkoordinasi dulu dengan DPRD Maluku. Setelah balai memproses panjang langkah hukum, yang bersangkutan pun jadi tersangka.

“Pengacaranya minta penangguhan penahanan, kami keberatan. Alibi saya, akan bahaya jika dibiarkan. Saat ini, yang bersangkutan telah kita titip di Rutan Polda Maluku. Kita punya dasar untuk menahan Yongki, ada alat bukti, baik keterangan saksi, cek lokasi dan tim ahli,” katanya.

Menurut Yosep, soal kerusakan alat berat oleh warga Sabuai di hutan adat mereka, lantaran terjadi penebangan serta pro dan kontra antara masyarakat.

Mestinya, DPRD Maluku benar-benar mengambil langkah kongkret terkait persoalan di Sabuai. “Saya minta kerjasama teman-teman media untuk mem-back-up kita dalam persoalan ini. Karena dinas sudah beberapa kali turun ke sana untuk pengawasan dan pengecekan, namun tidak ada tindaklanjut,” katanya.

Terkait kepastian penahanan ini, Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Pol. M Roem Ohoirat juga mengakui. Dia mengatakan, Yongki pelaku yang ditahan Balai Gakkum, dan saat ini titip di Rumah Tahanan Polda Maluku.

“Yang bersangkutan tahanan titipan dari Balai Kehutanan Maluku,” kata Roem saat dihubungi Mongabay, Kamis malam (19/3/20).

 

Tak ada Amdal

Usman Bugis, Koordinator LSM Nanaku Maluku menegaskan, Komisaris SBM bukan hanya penyeroban hutan warga adat, dalam operasi tidak punya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Dia harus ditahan karena terkait pengabaian terhadap lingkungan.”

 

Balai Gakkum Wilayah Maluku Papua saat  cek lapangan. Foto: Gakkum KLHK

 

Selain itu, katanya, pelanggaran lain perusahaan, seperti penyerobotan hutan adat, pengabaian lingkungan, dan hak-hak tenaga kerja tak diberikan baik. Juga dalam operasi perusahaan tak menunjukkan peta hutan perkebunan dan pembabatan hutan adat yang masuk di daerah aliran sungai.

“Banyak sekali persoalan yang ditimbulkan perusahaan. Saat ini kalau turun hujan, masyarakat dari Negeri Atiahu, Sabuai, Elnusa, Tunsai, langsung terkena banjir dari sungai-sungai tempat perusahaan eksploitasi. Ini kejahatan lingkungan, tak boleh dibiarkan.”

Sebelumnya, Yongky kepada wartawan, Sabtu (29/2/20) mengatakan, sudah beroperasi sesuai prosedur. Dia mengklaim sudah menyesuaikan hak-hak masyarakat dengan kesepakatan bersama. Soal penebangan di luar lokasi, malah dia bilang hanya opini masyarakat.

 

Sikap DPRD?

Sebelumnya, DPRD Maluku, turun ke lokasi, pada 29 Februari 2020, setelah dituntut masyarakat adat Sabuai. Mereka gelar unjuk rasa menuntut Gubernur Maluku segera cabut izin SBM. Mereka juga desak gubernur panggil dan evaluasi Kepala Dinas Kehutanan dan Seram Bagian Timur.

Beberapa poin penting, yakni, warga mendesak DPRD Maluku keluarkan surat penangguhan kepada SBM dan segera mengevaluasi Bupati Seram Bagian Timur. Bupati yang mengeluarkan izin kepada perusahaan itu.

Tuntutan ini, ditindaklanjuti DPRD Maluku dengan peninjauan lapangan. Belakangan, sejumlah pihak menuding DPRD Maluku kembali memberikan rekomendasi kepada SBM untuk beraktivitas, padahal izin IPK sudah mati sejak 5 Maret 2020.

Turaya Samal, Wakil Ketua Komisi I DPRD Maluku, saat dihibungi Mongabay, Sabtu (21/3/20) membantah ihwal itu. Menurut dia, DPRD telah bekerja sesuai tuntutan masyarakat dan tak pernah memberikan rekomendasi apa pun terkait izin pengoperasian.

“Itu tidak benar. Komitmen kami mengatasi problem masyarakat. Artinya, apa yang jadi tujuan masyarakat telah kita penuhi. Kita mau rekomendasi dengan alasan apa? Sementara izin perusahaan itu sudah mati,” katanya.

Komisi II, katanya, hanya rekomendasi agar SBM mengangkut kayu-kayu yang susah ditebang. Rekomendasi itu, kata Samal, dengan alasan agar perusahaan bisa membayar hak-hak para pekerja dan hak masyarakat adat.

“DPRD sudah jalankan tugas sebagaimana mestinya. Rekomendasi itu diusul agar perusahaan bisa melunasi hak-hak masyarakat, termasuk di dalamnya hak negara. Selebihnya tidak ada.” DPRD, katanya, juga berkoordinasi dengan Polda Maluku agar dua warga yang ditahan bisa bebas.

Saudah Tuankotta Tethool, Ketua Komisi II DPRD Maluku, mengatakan, di legislatif telah menjalankan tugas sesuai prosedur atau mekanisme. Sebagai lembaga yang berfungsi menampung aspirasi rakyat, katanya, mereka tetap bekerja berdasarkan kepentingan khalayak.

 

Warga Sabuai terus melakukan pantauan terhadap CV SBM yang melakukan aktivitas illegal logging di kawasan hutan adat mereka. Foto: Nurdin/ Mongabay Indonesia

 

“DPRD tidak main-main dengan persoalan ini. Kita sudah bekerja maksimal. Jika ada informasi yang menyebut pihak kami mengizinkan mereka beraktivitas terkait penebangan, itu tidak benar,” katanya.

Dia membenarkan kalau DPRD rekomendasi untuk hauling, karena diatur UU. Maksudnya, kalau izin mati, boleh mengangkut kayu-kayu yang sudah ditebang.  “Untuk hauling itu haknya, karena sudah bayar kepada negara. Untuk angkut itu tidak masalah. Tapi dia tidak boleh menebang.”

Terkait ini, Mongabay berusaha mengkonfirmasi Sadli Le, Kepala Dinas Kehutanan Maluku. Dia enggan menanggapi.

 

Wajib lapor

Sementara itu, dua warga adat Sabuai yakni Stefanus Ahwalam dan Khaleb Yamarua yang sebelumnya ditahan aparat kepolisian, Senin (17/2/20), kini sudah menjalani hukuman wajib lapor.

Leny Patty, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku mengatakan, sejak ditahan, mereka terus memantau situasi di sana. Informasi yang mereka terima pada 23 Februari, dua warga itu sudah dilepas, hanya wajib lapor.

“Informasi yang kami terima seperti itu, mereka sudah wajib lapor. Kami berharap semua proses terkait kedua warga berjalan baik,” katanya.

Saat saat mendapatkan informasi, dia langsung menghubungi salah satu tersangka untuk menanyakan kondisi mereka selama berjibaku di rumah tahanan.

“Saya juga tanya kondisi mereka, apakah selama ditahan pernah mengalami tindakan kekerasan atau tidak. Namun, sama sekali tidak ada tindakan seperti itu. Bahkan dia mengaku sudah ada pendampingan hukum,” kata Leny.

Mengenai penyerobotan hutan adat Sabuai, kata Lenny, AMAN Maluku akan tetap menuntut pihak-pihak berwenang bertindak tegas. Selain itu, dia minta penegakan hukum seadil-adilnya tanpa pandang bulu.

“Hukum harus ditegakkan, jangan hanya berlaku bagi warga kecil, sementara pengusaha malah mencuri hutan adat masyarakat dibiarkan.”

 

Keterangan foto utama:  Alat berat milik CB SBM dana kayu-kayu pembalakan liar mereka yang kini diamankan Balai Gakkum Wilayah Maluku Papua. Foto: Gakkum KLHK

 

Alat berat milik CB SBM  yang kini diamankan. Foto: Gakkum KLHK

 

Kayu tebangan pembalakan liar perusahaan di Seram. Foto: Nanaku Maluku

 

 

Exit mobile version