Mongabay.co.id

Refleksi Hari Hutan se-Dunia: Seberapa Penting Hutan buat Masyarakat Global?

Destroying rain forest for economic gain is like burning a Renaissance painting to cook a meal.

E.O Wilson

 

Di tengah wabah Corona yang menghebohkan dunia, barangkali luput dari ingatan kita bahwa 21 Maret ialah Hari Hutan se-Dunia. Hal itu ditetapkan oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) berdasarkan resolusi A/RES/ 67/200 yang diterbitkan pada tahun 2012.

Jika dirunut sejarahnya, inisiatif telah muncul jauh lebih lama. Pada bulan November 1971, Negara-negara anggota pada sesi ke-16 Conference of the Food and Agriculture Organization memberikan suara untuk menetapkan “Hari Kehutanan Dunia” pada tanggal 21 Maret setiap tahun. Namun setelah itu tidak ada perkembangan dan tiada pertemuan tingkat tinggi yang mengkonkretkan hal itu.

Katalis untuk Hari Hutan se-Dunia kemudian muncul lagi dalam percakapan sejumlah ilmuwan di Oxford, Inggris, pada bulan Februari 2007. Para ilmuwan yang merasa dunia kian meremehkan pentingnya hutan dalam mengurangi emisi karbon, serta melihat perlunya penelitian kehutanan terbaru dan pemikiran untuk menginformasikan pembuat kebijakan global.

Pada acara Hari Hutan Dunia I di Bali, Indonesia, pada tahun 2007, para peserta menginformasikan dimasukkannya hutan dalam Bali Action Plan. Tahun berikutnya, hampir 1000 peserta berkumpul pada Hari Hutan Dunia 2 di Poznań, Polandia, untuk mengisyaratkan urgensi memasukkan hutan dalam rezim perlindungan iklim global dan mengklarifikasi pentingnya mengelola hutan untuk mata pencaharian dan keanekaragaman hayati, serta penyimpanan karbon.

 

Hutan dan masyarakat. Hutan menjaga keberlangsungan hidup manusia dengan menyediakan jasa lingkungan . Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Di Kopenhagen pada Desember 2009, Hari Hutan Dunia III mencapai janji penuhnya. Lebih dari 1.500 pemangku kepentingan hadir, termasuk 34 donor, perwakilan pemerintah, 88 jurnalis, 500 perwakilan NGO, pemimpin adat, 188 perwakilan sektor swasta dan ratusan ilmuwan dan pakar kehutanan. Tujuan mereka adalah untuk memastikan bahwa desain dan implementasi mitigasi iklim terkait hutan dan langkah-langkah adaptasi yang dipertimbangkan dalam Perjanjian Perubahan Iklim akan efektif, efisien dan adil.

Sebagaimana diketahui, hutan dan sumber daya alam termasuk dalam ekosistem yang rapuh. Kunci untuk mengatasi kerapuhan itu ada pada pengelolaannya yang berkelanjutan. Sehingga bisa meredam dampak perubahan iklim dan berkontribusi pada kemakmuran serja kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan.

Hutan menutupi sepertiga dari massa daratan Bumi, melakukan fungsi vital di seluruh dunia. Sekitar 1,6 miliar orang – termasuk lebih dari 2.000 budaya asli – bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka, obat-obatan, bahan bakar, makanan dan tempat tinggal. Hutan adalah ekosistem yang paling beragam secara biologis di darat, rumah bagi lebih dari 80% spesies hewan, tumbuhan, dan serangga darat.

Di dalam negeri, sekitar 60 juta juta penduduk Indonesia hidup dan bergantung dari sumber daya hutan (KLHK: 2017). Hutan menyokong kebutuhan air untuk jutaan hektare lahan pertanian. Hutan juga menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah bencana banjir dan longsor. Hutan pun erat dengan beragam budaya Indonesia. Tanpa hutan, Indonesia tidak akan sekaya dan seberagam yang kita kenal saat ini (HII: 2019).

Namun terlepas dari semua manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan kesehatan yang tak ternilai ini, deforestasi global terus berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kini (dan telah berlangsung sejak 30 tahun lalu) hutan Indoneisa terancam. Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996-2000. Luas tersebut terdiri atas 2,83 juta ha lahan kawasan hutan dan 0,68 ha non-kawasan hutan. Terjadi kebakaran hutan yang hebat menjadi pemicu tingginya deforestasi di tanah air (Katadata: 2019).

Menurut penelitian Universitas Harvard dan Columbia, terdapat 100.300 kasus kematian dini akibat krisis kebakaran yang menghancurkan hutan Indonesia tahun 2015. 91.600 korban diantaranya merupakan penduduk Indonesia, selebihnya dari negara tetangga.

Dengan hujan tropis ketiga terluas dan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia harusnya ada satu momen khusus dalam setahun di negeri ini di mana semua mata, pikiran, dan usaha masyarakat Indonesia ditujukan untuk menjaga hutan agar tetap kaya dan bermanfaat bagi semua ―begitu yang diinginkan oleh jutaan orang yang menanda-tangani petisi tetapkan hari hutan Indonesia.

Jangan sampai kita hanya peduli terhadap kondisi hutan ketika penebangan liar telah banyak terjadi dan menimbulkan banjir dan longor. Jangan sampai kita hanya peduli terhadap kondisi hutan ketika ketika kabut asap akibat pembakaran yang melanggar hukum terjadi dan menimbulkan penyakit serta kematian terhadap banyak jiwa. Jangan sampai kita hanya peduli terhadap kondisi hutan ketika satu-per-satu spesies punah, ekosistem rusak, iklim berubah, dan tak bisa dikendalikan lagi.

Edward Osborne Wilson, professor sosiobiologi Universitas Harvard yang sangat aktif di dunia internasional untuk pelestarian keanekaragaman hayati menyebutkan “menghancurkan hutan hujan untuk keuntungan ekonomi seperti membakar lukisan Renaissance untuk memasak makanan”. Maksudnya, dengan membakar lukisan Renaissance, kita akan kehilangan sepotong sejarah, dan itu tidak akan pernah kembali. Deforestasi hutan hujan berdampak buruk bagi ekosistem dan ini seperti kehilangan bagian utama dari sejarah yang tidak akan pernah tumbuh kembali.

 

Hutan yang masih terjaga dengan baik di pedalaman Kalimantan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Menjaga hutan seperti menjaga kehidupan. Sebelum bencana datang kembali, sebelum emisi karbon tak terbendung lagi, sebelum kenaikan suhu global dibawah 2°C, baiknya kita tingkatkan kepedulian terhadap kelestarian hutan. Dengan ditetapkannya Hari Hutan Indonesia setidaknya menjadi salah satu jalan untuk itu.

Suara dari dalam negeri cukup tinggi. Sebagaimana dilansir dari laman Change.org, per 21 Maret 2020, terkumpul 1,45 juta tanda tangan petisi yang meminta agar pemerintah mengambil tindakan menetapkan Hari Hutan Indonesia. Ini adalah salah satu dari petisi terbanyak sepanjang sejarah tuntutan online Indonesia. Tuntutan masyarakat untuk mewujudkan Hari Hutan Indonesia telah terkumpul melampaui jumlah semua petisi online dalam tujuh tuntutan (1,1 juta tanda-tangan) yang dimenangkan di tahun 2018.

Jikalau tidak menetapkan hari khusus, mungkin kita bisa membuat pekan hutan nasional seperti di Kanada ―negara ini memiliki persentasi wilayah hutan yang hampir sama dengan Indonesia― pada minggu terakhir di bulan September. Pekan Hutan Nasional (termasuk hari Rabunya, yang dikenal sebagai Hari Pohon Nasional) adalah minggu tematik di Kanada, yang diadakan setiap tahun elama minggu penuh terakhir bulan September.

Ada rangkaian kegiatan yang terprogram atau sekumpulan kegiatan di hari-hari penting mengenai pelestarian sumber daya hutan yang terangkum pada Pekan Hutan Nasional Kanada. Seperti Hari Menanam Pohon (warga didorong untuk merawat pohon yang baru ditanam atau diabaikan, serta mempelajari spesiesnya), Hari Pencegahan Kebakaran Hutan (belajar tentang pencegahan kebakaran hutan), mengeksplorasi dan mengenal hutan terdekat, dan belajar tentang organisasi pengelolaan hutan berkelanjutan.

Jika memungkinkan untuk membuat lebih dari sekedar hari peringatan, Hari Bakti Rimbawan, Hari Nasional Menanam Pohon, Hari Cinta Puspa dan Satwa dapat dirangkai sebagai Pekan Hutan Nasional. Dengan menetapkannya dalam sebuah agenda besar, diharapkan dapat menarik kepedulian yang juga besar dan bisa menerapkan sebuah program masal yang berarti bagi Hutan Indonesia.

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Legal Policy Analyst KKI Warsi, Penulis buku Konflik Konservasi. 

 

 

Exit mobile version