Mongabay.co.id

Harus Jelas, Perda Usaha Berbasis Lahan Berkelanjutan di Kalimantan Barat

 

 

Kegiatan ekonomi berbasis sumber daya alam, masih menjadi tumpuan pemerintah daerah dalam mendongkrak perekonomian. Usaha ini harus ada aturan. Regulasi yang mengawal pelaku ekonomi untuk tetap memperhatikan lingkungan hidup berkeberlanjutan.

Provinsi Kalimantan Barat dengan luasan 14 juta hektar, mempunyai basis utama perekonomian masyarakat yang bertumpu pada sektor kehutanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Alih fungsi hutan yang menjadi komoditas untuk sektor berbasis lahan tersebut, mengakibatkan terjadinya deforestasi hutan.

“Untuk menekan laju deforestasi dan degradasi hutan, diperlukan kebijakan yang mengaturnya. Harus ada peraturan daerah [perda] tentang pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan,” ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Adi Yani, baru-baru ini.

Saat ini, konservasi lahan di Kalimantan Barat sudah miliki dua payung hukum. Ada Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2018 tentang Usaha Berbasis Lahan Berkelanjutan dan Peraturan Gubernur No. 60 Tahun 2019 tentang Tata Cara dan Mekanisme Penetapan Areal Konservasi Dalam Pengelolaan Usaha Berbasis Lahan Tingkat Kabupaten.

“Tujuan utama lahirnya perda untuk menginisiasi lahan konservasi dengan luasan sekitar tujuh persen pada usaha berbasis lahan yaitu perkebunan, pertanian, pertambangan dan kehutanan,” ujarnya.

Baca: Meninjau Lebih Dekat Pendekatan Lansekap untuk Kelestarian Gambut dan Hutan Kalbar

 

Hutan sebagai sumber kehidupan manusia jangan sembarang ditebang. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Area konservasi tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berimbang dengan kebutuhan konservasi dan produksi berkelanjutan. “Sosialisasi dan diskusi terfokus untuk implementasi dua aturan ini tengah dilakukan. Termasuk menentukan langkah-langkah strategis.”

Dalam regulasi diamanatkan pada korporasi yang berbasis lahan untuk mengidentifikasi area dengan Nilai Konservasi Tinggi [High Conservation Value] dan kawasan berhutan yang memiliki stok karbon professional kredibel dan tinggi [High Carbon Stock].

Selain itu, perusahaan juga harus memastikan bahwa area yang telah teridentifikasi sebagai HCV dan HCS dikelola sesuai kaidah-kaidah konservasi dan produksi berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat lokal di sekitar konsesi.

Kalimantan Barat memprioritaskan tiga daerah potensial: Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Ketapang, dan Kabupaten Kayong Utara. Tiga daerah tersebut merupakan penyumbang izin terbanyak lima komoditas yaitu, pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan pertambangan. Selain memiliki pertumbuhan perizinan yang tinggi, ketiganya juga memiliki kawasan gambut yang luas, sehingga memerlukan proteksi pemanfaatannya.

Baca juga: Dukungan Sosial menjadi Kunci Sukses Kebijakan Konservasi Berbasis Lansekap

 

Masyarakat Iban yang menjaga Sungai Utik dan hutan adat mereka di Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Proyek contoh

Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten terluas di Kalimantan Barat dengan area berbasis lahan yang cukup luas pula. “Penerapan Perda Nomor 6 Tahun 2018 di kabupaten ini diharapkan menjadi percontohan serta mendukung upaya Provinsi Kalimantan Barat mempertahankan tutupan hutan,” tambah Adi Yani.

Kabupaten Ketapang memiliki luasan 3.015.800 hektar, yang terdiri areal hutan [931.137 hektar], gambut [224.536 hektar], gambut yang hutan [166.597 hektar], dan areal penggunaan lain [1.250.108 hektar]. Ketapang juga merupakan kabupaten di Indonesia yang memiliki jumlah grower anggota RSPO [Roundtable for Sustainable Palm Oil] terbanyak.

Terbitnya kedua regulasi ini sejalan dengan inisiatif positif yang telah dimulai Kabupaten Ketapang. Pada September 2019, dihasilkan dua rekomendasi penting yang disepakati para grower, yakni; pentingnya legalisasi area konservasi [HCV/HCS] di wilayah konsesi, dan pentingnya pendekatan lanskap guna mendorong multipihak dalam pengelolaannya.

Bupati Ketapang, Martin Rantan, mengatakan, peran aktif seluruh pemegang konsesi dengan semua pemangku kepentingan, dapat mewujudkan tujuan pemerintah daerah mengelola area konservasi di Ketapang.

“Walaupun inisiatif tersebut dimulai di Kabupaten Ketapang, namun cakupan regulasinya dapat menjadi dasar hukum di kabupaten lain di Kalimantan Barat. Aturan ini juga memberikan tanggung jawab kepada perusahaan untuk membuat program konservasi lebih terarah dan tertata,” ujar Martin.

 

Kehidupan orangutan dan satwa lainnya di hutan harus diperhatikan. Foto: IAR Indonesia/Heribertus

 

Koordinator Program Lanskap, Aidenvironment Asia, Marius Gunawan, mengatakan lanskap yang jadi lingkup kerja pihaknya adalah Lanskap Ketapang, Lanskap Sambas, dan Lanskap Kubu Raya. Aidenvironment Asia adalah lembaga konsultasi lingkungan dan keberlanjutan sosial independen yang mendorong dan memfasilitasi pendekatan kolaborasi multipihak di tingkat lanskap.

Untuk proses legalisasi, area konservasi yang telah diinisiasi di Kabupaten Ketapang menjadi penting karena menjadi contoh di Kalimantan Barat. “Mengingat kedua regulasi ini merupakan regulasi baru,” katanya.

Artinya, kawasan konservasi tersebut tidak hanya dibiarkan begitu saja tetapi menjadi sumber daya sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar konsesi. “Tentu saja, bentuk pengelolaannya sesuai aturan dan legalitas yang berlaku,” terangnya.

Sebelumnya, Aidenvironment Asia telah mengadvokasi program pendekatan pembangunan kawasan pedesaan dengan metode penatagunaan lahan yang disesuaikan potensi desa [Village Level Landuse Planning/VLLP]. Tujuannya, meningkatkan pendapatan masyarakat desa sekaligus menjaga kelestarian hutan.

Pendekatan ini diharapkan menjadi solusi permasalahan yang kerap muncul seperti tumpang tindih lahan dan kurang jelasnya aktivitas ekonomi masyarakat yang diperbolehkan di wilayah perhutanan sosial.

Pendekatan ini juga melihat pentingnya tata kelola pembangunan menuju keadilan ekonomi dan lingkungan melalui sinergi pemerintah kabupaten, desa, dan pemegang konsesi: perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Ketapang 2017 menunjukkan, proporsi penggunaan lahan di wilayah ini lebih 50 persen sebagai kawasan hutan. Selebihnya, 41 persen non-kawasan hutan, serta 205.000 hektar izin kebun, termasuk 74 izin perkebunan kelapa sawit dari 24 pabrik kelapa sawit [PKS]. Dari total kawasan hutan, sebesar 21 persen hutan sekunder, sehingga banyak lahan yang belum digarap masyarakat.

 

 

Exit mobile version