Mongabay.co.id

Aktivis Kecam Pembangunan Jalan Tanpa Izin di Habitat Macan Tutul

Pemerintah Indonesia sejak 1970 telah melindungi macan tutul jawa yang diperkuat dengan dengan UU No 5 tahun 1990 dan PP No 7 Tahun 1999. Foto: Conservation International/Perhutani/YOJ

 

 

Para konservasionis dan masyarakat sekitar yang terkena dampak, mengecam rencana pembangunan jalan yang melalui area perhutanan di gunung di Provinsi Jawa Barat. Ini dikarenakan belum adanya izin dan juga ancaman banjir yang semakin parah beserta tanah longsor di daerah tersebut.

Jalan Poros Tengah yang direncanakan, atau “Sumbu Tengah,” itu akan membentang sepanjang 8 kilometer [5 mil], dan sebagian jalurnya akan dibangun melalui kawasan hutan lindung di Gunung Cikuray, Kabupaten Garut. Cagar alam ini adalah rumah bagi beberapa satwa liar yang paling terancam di Indonesia, termasuk macan tutul jawa [Panthera pardus melas], owa jawa [Hylobates moloch], elang jawa [Nisaetus bartelsi], dan merak hijau [Pavo muticus].

Para penentang mendesak Pemerintah Garut untuk menghentikan proyek atas pelanggaran persyaratan administrasi. Proyek ini tidak memiliki izin yang dipersyaratkan, termasuk izin untuk mengkonversi kawasan perhutanan, yang dikenal dengan IPPKH, dan penilaian dampak lingkungan atau amdal.

 

Sepasang macan tutul jawa terpantau kamera jebak. Foto: Conservation International

 

Bupati Garut, Rudy Gunawan, sebagaimana dikutip dari Galamedia, mengakui jika pembangunan Jalan Poros Tengah yang menerobos kawasan hutan lindung Gunung Cikuray masih belum beres perizinannya. Pemerintah Kabupaten Garut masih mengurus izin amdal dan izin penggunanan kawasan.

“Kita memang ada kesalahan, ketika izin belum keluar dan amdal belum sempurna, sudah mulai membuka lahan,” ujarnya dinas Bupati, Komplek Pendopo Garut, Jalan Kabupaten, Selasa [03/3/2020].

Rudy mengatakan sejak saat itu, masih dikutip dari Galamedia, ia meminta proyek dihentikan hingga izin dikeluarkan. Dia menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menyetujui proyek tersebut, mengingat pentingnya pembangunan jalan yang diusulkan.

Pemerintah Garut menganggap, pembangunan proyek itu mendesak, dikarenakan jalan yang sekarang ada, yang melayani rute yang sama, kondisinya hampir ambruk. Rudy menambahkan, jalan itu juga akan memberikan akses yang lebih besar ke lokasi wisata yang sedang dikembangkan di Garut selatan.

Bupati mengatakan dia akan bertemu dengan penentang proyek untuk menyelesaikan perselisihan.

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Di antara mereka yang menyerukan agar proyek dihentikan adalah Konsorsium Penyelamatan Cikuray, yang terdiri dari organisasi masyarakat lingkungan setempat. Usep Ebit Mulyana, koordinator konsorsium, mengatakan bahwa pembukaan hutan untuk jalan di daerah berbukit akan merenggangkan tanah, menyebabkan erosi lebih besar dan memperburuk intensitas tanah longsor yang kadang-kadang melanda daerah itu saat hujan deras.

Ebit mengatakan, aktivis dan warga telah berulang kali meminta Pemerintah Kabupaten Garut untuk membatalkan proyek, tetapi tidak berhasil. Kru konstruksi telah membersihkan hutan sepanjang 800 meter [setengah mil] untuk jalan, yang dirancang untuk menghubungkan dua kecamatan di kedua sisi gunung, sebagaimana dikutip dari Liputan6.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi], mengatakan konstruksi sudah berjalan setengah dari total jalan yang diusulkan; 2 km [1,2 mil] dari panjang jalan yang akan membentang melewati hutan lindung.

Area bagian Garut ini pernah dilanda banjir hebat dan tanah longsor pada September 2016 yang menewaskan 27 orang. Para ahli dan pejabat menghubungkan skala bencana dengan degradasi lingkungan di ketinggian yang lebih tinggi. Sebagian besar kawasan berhutan telah dibuka untuk lokasi wisata, termasuk resor yang baru dibangun.

“Kerusakan ekologis di kawasan Gunung Cikuray menjadi lebih jelas karena perubahan penggunaan lahan ini,” kata Ebit seperti dikutip Detikom. “Penebangan liar merajalela dan habitat satwa liar dilindungi terganggu.”

Proyek jalan yang dianggarkan sekitar Rp3 miliar ini, dapat berpengaruh pada sumber air masyarakat setempat, kata Ebit. “Jika DAS rusak dari hulu, bagaimana orang-orang di hilir menggunakan air? Ini yang kami khawatirkan,” tuturnya kepada Radar Tasikmalaya.

 

Seorang petani membajak sawah dengan kerbau di kaki Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Aktivis dan warga meminta Perum Perhutani, perusahaan kehutanan milik negara yang mengelola kawasan lindung, untuk memblokir proyek jalan. “Perhutani tidak boleh pilih kasih,” kata Dedi Kurniawan, Ketua Forum Komunikasi Konservasi Indonesia. “Ketika Pemerintah Garut yang mengembangkan jalan tanpa izin, mereka membiarkannya, tetapi ketika orang-orang yang ingin mendapat manfaat dari hutan, mereka akan menegakkan hukum secara ketat dan bahkan memenjarakan.”

Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Komisi IV DPR, telah meminta pihak berwenang menghentikan proyek tersebut, yang dapat menyebabkan perambahan ilegal terjadi di kawasan hutan.

“Garut adalah harapan terakhir untuk pengelolaan ekosistem di tanah Sunda, jadi yang terbaik adalah proyek pembangunan ditinjau kembali,” ujar Dedi, yang duduk di DPR mengawasi bidang lingkungan, dikutip dari Kompas.com.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan akan mengirim tim untuk mengevaluasi proyek dan bahkan mungkin menghentikannya karena pelanggaran izin. Ebit mengatakan kementerian harus tegas menegakkan peraturannya, mengingat Pemerintah Garut telah memulai pembangunan meskipun tidak memiliki izin yang diperlukan.

“Kami menuntut penegakan hukum karena hutan telah rusak,” tegasnya.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Indonesian activists denounce a road being built illegally in leopard habitat. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

 

Exit mobile version