- Kawasan hutan mangrove Karangsong, Kabupaten Indramayu, kembali menjadi ‘rumah megah’ bagi burung pantai di pesisir utara Jawa Barat.
- Kondisi hutan mangrove Karangsong membaik pasca warganya getol melakukan reboisasi. Ditambah lagi Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menjadikan Karangsong sebagai pusat penelitian mangrove wilayah barat Indonesia pada 2015.
- Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan kerusakan kawasan pesisir di pantai utara Jawa, terparah di Indonesia. Kerusakan kawasan pesisir itu karena alih fungsi lahan yang mendegradasi ekosistem pesisir, terutama hutan mangrove.
- Jauh sebelumnya, dalam buku The History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816, menyebutkan hutan mangrove tumbuh lebat di sepanjang pantai utara Jawa.
Pada suatu sore di awal Maret, angin merambat pelan. Perahu nelayan yang pulang belayar menuntun burung-burung pantai hinggap di rimbunnya pepohanan mangrove di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Karangsong, kini menjadi ‘rumah megah’ bagi burung pantai di utara Jawa Barat. Cericit burung begitu ramai berceloteh menyambut sore temaram di muara Sungai Cimanuk itu.
Suara trinil (Tringa sp.), burung mungil berparuh hitam, terdengar sayup di antara dominasi celotehan burung kuntul besar, kuntul hitam, kuntul kerbau, kowak malam, serta blekok. Tumbuhnya mangrove di Karangsong menjadi awal baik pemulihan ekosistem pesisir.
“Dulunya mangrove di Karangsong tersisa sedikit. Karena sedimentasi yang terbawa air laut, lalu di sini muncul tanah timbul. Kemudian warga menanaminya dengan bakau,” ujar Dedez, warga setempat.
baca : Begini Kondisi Mangrove Pantura Jabar..
Dua dekade silam, burung – burung itu hilang dari peraduan. Pembabatan kawasan mangrove jadi penyebabnya.
Di Indramayu, mangrove mengalami penciutan yang tajam. Merujuk data, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu pada tahun 2011 saja dari sekitar 8.000 hektar kawasan mangrove yang tersisa di Indramayu, 60 persen rusak.
Karena banyak lahan tak bertuan, akhirnya mangrove habis dipetak-petak menjadi tambak dan empang. Sialnya, mangrove dibabat habis hingga bibir pantai. Akumulasi alih fungsi lahan inilah yang membuat ratusan hektare daratan ”lenyap” alias terjadi abrasi setiap tahun.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar sempat mencatat, pembabatan hutan bakau pasca era reformasi 1998 – 2003. Akibatnya, abrasi di sepanjang 365 kilometer pantai utara dari Cirebon di timur hingga Bekasi di barat mencapai 370,3 hektar per tahun.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukan kerusakan pesisir di pantai utara Jawa, terparah di Indonesia. Kerusakan pantura terjadi karena degradasi ekosistem pesisir, terutama mangrove. Hasil itu diperolehi diperoleh dengan membandingkan perubahan garis pantai dari analisis citra satelit Landsat pada 2000 dan 2014.
Kondisi tersebut tentu berdampak serius bagi perubahan lingkungan, seperti abrasi yang menenggelamkan rumah hingga menipisnya tangkapan ikan yang memiskinkan warga.
baca juga : Tuai Kritik, Pemerintah Banyuwangi Batal Tebang 4.000 Pohon Mangrove
Belum banyak tahu bawah lebatnya hutan mangrove punya andil besar terhadap populasi ikan dan biota lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai penahan abrasi pantai, peredam tsunami dan menjadi habitat burung dan ikan.
Merujuk informasi yang dihimpun, kawasan hutan di hilir Daerah Aliran Sungai Cimanuk, pernah tercatat ada 97 jenis burung. Termasuk di antaranya 14 jenis burung langka dilindungi dan 11 jenis burung migran yang datang nun jauh dari belahan bumi utara. Para pendatang itu, meramaikan hutan bakau pada Desember sampai Febuari, ketika di bagian utara bumi bermusim dingin.
Dedez mengatakan burung kaca mata (Zosterops flavus) dan burung butbut (Centropus sinensis) yang dulunya susah ditemukan, kini kembali berhabitat di sana. Fenomena itu meyakinkan warga Karangsong mengembalikan mangrove Indramayu yang kini tersisa sekitar 103 hektar. Padahal sepuluh tahun lalu luas hutan mangrove 17.782 hektar.
perlu dibaca : Mangrove Madura Kritis, Makin Terkikis
Berkelanjutan
Usaha reboisasi hutan mangrove terus berjalan sampai mendulang dukungan. Tahun 2015, Kementerian Linglungan Hidup Kehutanan (KLHK) menjadikan Karangsong sebagai pusat penelitian mangrove wilayah barat Indonesia. Programnya fokus pada pelestarian mangrove, konservasi keanekaragaman hayati, perubahan iklim, ekowisata dan pemberdayaan masyarakat.
Agaknya, perlindungan mangrove memang diperlukan. Mengingat tutupan hutan mangrove di Indonesia semakin turun. Semula dari 3,5 juta hektar tahun 1990 menjadi 2,9 juta hektar pada 2015. Padahal, Indonesia menyumbang 26-29 persen dari luas mangrove dunia.
Di balik upaya konservasi, geliat edukasi tentang mangrove dirintis secara swadaya oleh Kelompok Tani Jaka Kencana. Kelompok ini konsisten mengembangkan konservasi sekaligus pemanfaatan hutan mangrove.
“Saya dan anggota kelompok tani berupaya menyadarkan warga bahwa ada rupiah dari mangrove. Tujuan agar terus melestarikan mangrove, tetapi rupanya tidak mudah,” ujar Abdul Latief, Ketua Kelompok Tani Jaka Kencana.
Kelompok beranggotakan 20 orang ini, sudah membikin produk olahan makanan berbahan dasar mangrove seperti dodol, jus, kerupuk, kecap dan manisan pidada. Belakangan bakau ini juga modifikasi sebagai pewarna alami untuk batik bermotif mangrove.
Latief menaruh harap ada dukungan dana dan kebijakan dari pemerintah daerah. Program pelestarian mangrove akan makin menarik bagi warga pesisir sebab selain fungsi konservasi pencegah bencana, juga bisa dimanfaatkan secara ekonomi bagi masyarakat. “Melawan abrasi dengan bakau,” ucapnya.
menarik dibaca : Mangrove yang Tidak Pernah Mengkhianati Abdul Latief
Sebelum rusak
Jauh sebelumnya, dalam buku The History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles saat berkuasa di Jawa pada 1811-1816, menyebutkan hutan mangrove tumbuh lebat di sepanjang pantai utara Jawa. Pantainya sangat indah dengan udara tropis yang hangat.
Agaknya, gambaran Raffles itu sulit dibayangkan melihat kondisi pesisir pantura saat ini. Dari aspek ekologi, misalnya, Jawa jelas memasuki tahap kritis. Indikasi itu bisa dilihat dari kian tingginya frekuensi bencana.
Data indeks risiko bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana. Pulau Jawa saat ini ibarat perahu bocor yang menuju karam. Bahkan, sebagian kawasan pesisir benar-benar tenggelam oleh banjir rob dan abrasi yang tinggi.
Kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos seperti merana. Tumbuh tak terkendali. Kualitas lingkungan, sosial dan alam menurun, dan sarana serta prasarana perkotaan seolah tak mampu menopang perubahan lingkungan.
Kota-kota seringkali dibangun melenceng dari tata ruang. Prediksi ilmiah tentang proyeksi rusaknya kondisi Jawa di masa depan bisa terjadi. Dan bisa saja, kota-kota itu akan ditinggalkan karena tidak lagi bisa mendukung kehidupan warganya. Serupa perginya burung – burung karena kehilangan habitatnya.