Mongabay.co.id

Upaya Mereka Jaga Hutan Harapan di Tengah Berbagai Ancaman

Teguh Santika, perempuan Batin Sembilan, bergerak bersama perempuan lain menanam 7.000 bibit tanaman hutan di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Teguh Santika, perempuan Batin Sembilan, bergerak bersama perempuan lain menanam 7.000 bibit tanaman hutan di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

Bi Teguh tertatih menuruni tebing curam di pinggir Danau Jerat. Pada bagian atas tampak tanah tandus hitam tertutup abu bekas terbakar. Tunggul-tunggul kayu mati roboh dan menghitam. Tak ada satupun pohon besar. Gersang. Tak ada suara burung, hanya raung ungko (Hylobates agilis) bersahutan terdengar lirih dari kejauhan.

Teguh Santika, perempuan Batin Sembilan ini mengajak saya duduk di pinggir danau. Kami melihat kupu-kupu cantik terbang mengitari.

“Kalau hutan habis, dimana lagi kami bisa hidup,” katanya menerawang.

Kening Teguh berkerut . “Bibik dah sampai ke Jakarta, entah itu bertemu menteri apo staf presiden. Dak tahulah, bibik lah ngadu. Jangan sampailah diizinkan jalan tambang,” katanya.

Baca juga: Berebut Lahan di Hutan Harapan, Nasib Restorasi?

Teguh khawatir ada rencana pembukaan jalan tambang batubara membelah tempat hidup mereka, Hutan Harapan.

“Memang itu keuntungan negara, tapi dipikirkanlah jugo rakyat kecil yang tinggal di hutan ini. Dak ado jalan terbentang lebar, perambah masuk kayak semut. Apalagi, dibuka jalan dari Palembang sampai Bungin sano. Habislah hutan kami ini.”

Dia baru saja bisa bernapas lega ketika rombongan perambah yang mendiami kawasan Sunga Jerat, terusir. Meskipun tetes-tetes getah damar dari ribuan pohon rotan yang tersebar di sepanjang hutan adat Kandang Rebo Bawah Bedaro Dalam Gulian, tinggal kenangan.

“Kami bisa pulihkan hutan ini, asal mereka tidak ada. Perambah-perambah itu,” katanya.

Wilayah Sungai Jerat, yang sebelumnya ditempati perambah merupakan wilayah adat Margo Batin Sembilan Kandang Rebo Bawah Bedaro Anak Dalam Guli’an.

“Jempalo tangan, itu denda adatnya untuk orang yang mengambil hak orang lain tanpa izin.”

 

 

Teguh mengenang beberapa kejadian sebagai upaya Batin Sembilan melindungi hutan mereka. Suaminya , Rusman, beserta tokoh adat Batin Sembilan lain, Munce, Tanding dan Maliki, berkirim surat peringatan kepada SK Nadeak dan seluruh perambah di Masai Rusa dan Hulu Badak pada 23 Agustus 2019.

Mereka meminta kelompok perambah menghentikan perbuatan Jempalo Tangan, seperti jual beli hutan, pembukaan lahan, pembakaran, dan penanaman.

Baca juga: Hutan Harapan Masih Hadapi Beragam Ancaman

Tindakan itu, menyebabkan hak-hak Suku Anak Dalam Batin Sembilan Kandang Rebo Bawah Bedaro dan Anak Dalam Guli’an terhadap lahan maupun memanfaatkan hasil hutan. Mereka meminta kelompok perambah meninggalkan wilayah itu.

Surat mereka tembuskan kepada 25 instansi pusat dan daerah, dan pihak lain termasuk Presiden Joko Widodo.

“Namun, mereka bergeming dan terus menempati lokasi, sampai ada penangkapan,” katanya.

Pada 21 September 2019, Polda Jambi dan TNI AD operasi pengamanan ke lokasi kebakaran yang dilakukan perambah di Hutan Harapan. Dari operasi itu, 22 orang diamankan dan kini jalani persidangan.

Berdasarkan pengakuan salah seorang yang diamankan kepada Kabag Ops Polres Batang Hari, Kompol A Bastari Y, lahan yang perambah dari jual beli dengan SK Nadeak, tokoh kelompok perambah Rp12 juta seluas 12 hektar.

“Ini tidak mudah, pasca operasi, Orang Batin dan perusahaan mendapat tekanan dari perambah.”

Pada Sabtu malam, 21 September 2019, sekelompok orang mendatangi camp utama PT Restorasi Ekosistem di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Mereka meminta anggota kelompok yang ditahan Polres Batang Hari dibebaskan.

 

Tutupan pohon di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Sebelum sampai ke camp mereka terlebih dahulu membongkar paksa dan menjarah Klinik Besamo, mengacak-acak kamar karyawan dan menjarah. Perusahaan restorasi ekosistem ini pun kehilangan obat-obatan, uang, kamera, GPS, dan barang berharga lain.

“Lokasi tempat tinggal kami persis di belakang kantor Reki, untung mereka tidak berani datang ke tempat kami,” katanya.

Baca juga: Nasib Hutan Harapan dengan Segudang Masalah Lahan

Kejadian malam itu, bukan berarti kehidupan Orang Batin Sembilan bebas dari konflik. Batin Sembilan, berulang-ulang kali mendapatkan teror bahkan serangan dari perambah.

 

Jalan tambang batubara

Pembukaan jalan tambang batubara di Hutan Harapan juga ancaman besar. Usulan pembukaan jalan tambang  batubara bakal melintasi Hutan Harapan sepanjang 32 kilometer. Kalau ada jalan tambang, hutan akan mudah terakses dan perambah masuk.

Ada empat kelompok Batin Sembilan mendapatkan SK Pengakuan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin-KK), yakni, Kelompok Tanding, Kelompok Gelinding, Kelompok Tani Hutan (KTH) Lamban Jernang/Sungai Kelompang dan Kelompok Kunangan Jaya II.

Baca juga:   Menembus Jantung Hutan Harapan yang Terancam Jalan Tambang Batubara (Bagian 1)

Kelompok Tanding terdiri dari 17 anggota, Kelompok Gelinding (10), dan KTH Lamban Jernang 23 anggota.

Keempat kelompok ini menandatangani kemitraan kehutanan dengan PT Restorasi Ekosistem Indonesia akhir 2015. SK Kulin-KK memperkuat kesepakatan kemitraan kehutanan masyarakat Batin Sembilan dengan Reki yang ditandatangani akhir 2015.

Kemitraan Kehutanan adalah salah satu bagian dari skema Perhutanan Sosial yang digalakkan di masa pemerintah Presiden Jokowi.

Untuk komitmen kemitraan kehutanan yang terbangun, ada delapan komitmen kesepakatan, tujuh di Jambi dan satu di Sumsel.

 

Alat berburu masyarakat Batin Sembilan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Hutan dan perempuan Batin Sembilan

Bagi perempuan Batin Sembilan, hutan bagian dari keperluan hidup dan sosial budaya mereka. Teguh bilang, ketika perempuan Batin Sembilan melahirkan, mereka akan dibantu dukun dengan pengobatan ramuan dari hutan.

“Ramuan obat-obatan, akar dan daun dari hutan. Sekarang udah sulit dicari, hutan sudah dirambah, dibakar, semua habis,” katanya.

Teguh dan anak-anaknya mencari ikan dan hasil hutan seperti damar dan rotan di sepanjang Danau Jerat. Kini, yang tersisa hanya cerita.

“Musim buah tahun lalu, dak ada buah yang bisa kami makan, durian bebungo tapi dak berbuah, semua karena kabut asap itulah.”

Menurut Teguh, masyarakat Batin Sembilan selain mengambil hasil hutan juga berladang padi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Makanan pokok kami ubi, ubi ini ditanam dan makan menjelang ladang padi panen. Kalau sekarang, kami tidak bisa berladang. Karena harus bakar,” katanya.

“Kalau kami bakar, itu mengajarkan perambah untuk bakar juga, sedangkan dak diajari be hutan kami habis dibakar mereka.”

Baginya, tak ada yang perlu disesalkan. Teguh dan yang lain terus berupaya memulihkan kawasan hutan mereka. Selama tiga bulan, Teguh bersama saudara perempuannya menanam 7.000 bibit tanaman hutan seluas 70 hektar.

Bi Teguh berharap, pohon-pohon itu tumbuh subur dan jadi harapan bagi mereka untuk dapat mengambil rotan, jernang dan damar di masa depan.

 

Keterangan foto utama: Teguh Santika, perempuan Batin Sembilan, bergerak bersama perempuan lain menanam 7.000 bibit tanaman hutan di Hutan Harapan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Teguh Santika, perempuan Batin Sembilan, yang berupaya memulihkan kembali hutan mereka. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version