Mongabay.co.id

Abrasi Parah, Kampung Mampie dan Penyelamatan Penyu Terancam

Bangunan rusak di Mampie, karena abrasi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Dulu, kalau saya di sini, di rumah ini tidak kedengaran itu suara ombak. Waktu ku kecil, sempat keringat kalau lari ke pantai,” kata Muhammad Yusri, warga Dusun Mampie, Desa Galeso, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Dia mengingat kampungnya, kala masih kecil.

Untuk tiba di pantai, Yusri mesti menyeberangi jalan penghubung dusun, melewati kampung, lalu menyusuri kebun kelapa luas.

Kini, tak perlu lagi lari ngos-ngosan. Depan mata atau rumah Yusri, berjarak 10 meter dari tepian pantai. Daratan panjang itu, sudah ditelan abrasi dalam dua dekade belakangan.

Pada 1998, garis Pantai Mampie jauh dari perkampungan. Ada kebun kelapa, jalan penghubung dusun, lapangan, dan rumah warga. Dalam satu dekade, awal-awal, abrasi menelan kebun kelapa, berikutnya kawasan mukim. Warga pun pindah.

“Abrasi kencang mulai 2013. Parah. Mulai juga habis sisi baratnya, yang kawasan mangrove itu,” kata pria 30 tahunan itu kala berbincang di Rumah Penyu pertengahan Maret lalu.

Siang itu, angin menderuh kencang, langit mendung. Depan kami Selat Makassar, lautan dalam pemisah Sulawesi dari Kalimantan. Ombak silih datang membawa pasir dan melarungnya kembali. Tak jauh, kapal jaring-angkat berlabuh.

Mampie adalah tanjung berpasir putih. Sisi selatan dan barat itu laut, dan utara adalah muara.

Di pesisir selatan, Yusri merintis Rumah Penyu sejak 2012. Saban tahun, ratusan tukik lepas liar ke laut.

“Penyu suka dengan pasir di sini. Hangat. Cocok untuk bertelur,” kata Yusri, juga jurnalis.

Dua tahun terakhir, Yusri dan Sahabat Penyu mencatat, ada 30 indukan penyu bertelur di Pantai Mampie. Induk gali lubang lalu menimbun 100-an butir telur pada tiap lubang.

Seratus meter dari Rumah Penyu, ada kawasan wisata Pantai Mampie. Pemerintah menetapkan sebagai obyek wisata, meski abrasi membayangi tiap tahun.

 

Abrasi menggila di Kampung Mampie, hingga warga terpaksa pindah.Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Abrasi dan tambak kepung Mampie

Jalan aspal rusak dan berbatu. Kanan kiri, lahan tambak terhampar luas bagai laut. Hutan mangrove jadi jeda pandangan saat saya memasuki Mampie.

“Pada 2005, pindah ki di sini,” kata Warni.

Saya bertemu Warni saat dia bersama ibu-ibu lain berkumpul di kolong rumah. Sebelum pindah, rumah Warni berada di pesisir yang kini tenggelam. Warni dilahirkan di rumah yang kini sudah menjadi laut 48 tahun silam. Rumahnya menghadap pantai. “Berhadap-hadapan dulu rumah di sana. Sekarang, hilang,” kata Warni.

Warni mengenang, kala itu bibir pantai masih jauh dari rumahnya. Tanah yang kini ditempati masih hutan belukar. Hanya beberapa warga yang mencari kayu bakar dan berkebun di situ.

Abrasi parah pada 2003. Dia dan kelompok ibu rumah tangga di Mampie ingat kala itu mereka membantu persiapan nikah putra tetangganya. Ibu-ibu datang sukarela memasak, sekaligus saling temu.

Tak disangka, dari arah laut, ombak menggulung deras, menghantam pantai dan menerobos hingga rumah penduduk. “Padahal, laut masih jauh di sana.” Warni heran.

Abrasi mulai menerjang Mampie 1987. Setidaknya, itu yang masih berbekas pada ingatan Asrianto, juga warga Mampie.

“Sapu rata ke mari, tahun 87,” kata pria 55 tahun itu.

Auh, besar sekali! Mulai mi di situ terkikis. Kalau mau dipikir, lebih banyak yang hilang daripada yang tinggal daratan.”

Sebelumnya, Asrianto merantau ke kota, kembali pada 1982. Dia ingat persis, rumah penduduk kala itu sedikit. Hutan masih lebat, hutan mangrove juga luas. “Itu binatang masih banyak, seperti babi, dengan burung. Banyak macam dulu di sini.”

Hutan mangrove terkikis. Jelang 1990, katanya, tambak kian meluas. Hutan mangrove dan lahan savanah terbabat untuk tambak, kemudian persediaan lahan menipis. Tambak mengepung Mampie.

Siapa pemilik tambak itu? Bukan warga Mampie, melainkan para pemodal dari Polman.

 Apakah permukiman sekarang menjamin mereka terhindar dari abrasi?

Pada 2016, abrasi kembali menerjang Mampie. Air rob setinggi 40 cm, menyeberangi rumah penduduk sampai ke sisi utara tanjung. Beberapa bangunan rusak. Daratan sudah kecil, ombak cepat menyapu.

Saat itu, warga saling bantu. Membentengi rumah dengan karung terisi pasir dan menyelamatkan barang berharga. Warga lain menghalau ikan yang kabur dari tambak yang meluap.

Menurut Yusri, abrasi besar punya siklus tiga tahunan. Pada 2016 dan 2019. “Mulai Desember sampai Februari, biasanya.”

 

Pelepasliaran tukis. Foto: Sabahat Penyu

 

Penyelamatan penyu terancam

Rumah Penyu, bukan penangkaran. Mereka fokus menyelamatkan telur dari para pemburu, sekaligus menjaga pesisir, yang kelak jadi tempat penyu bertelur. Bermodal duit pribadi, Yusri memulai upaya ini.

Seiring perjalanan waktu, pada 2016, Rumah Penyu jadi wisata-edukasi konservasi penyu dan pesisir. Pada 2018, mereka berupaya memberdayakan masyarakat sekitar.

Hidup di pesisir, bukan jaminan mereka punya pekerjaan hingga salah satu alasan warga menjual telur penyu. Tak ada pilihan lain, kebun mereka rusak karena abrasi, jadi nelayan tak punya kapal.

Awalnya, Yusri kewalahan. Akhirnya, dia temukan cara jitu yang saling menguntungkan.

Kan, orang ambil telur penyu untuk dijual, uangnya ji dia butuhkan. Itu alasan utama hingga banyak orang jual telur penyu,” kata Yusri.

“Jadi, saya tanya mereka, uang ji dibutuhkan, toh? Bukan ji karena khasiatnya?”

“Iya. Bukan,” jawab si pemburu.

“Jadi saya sampaikan, kalau ada kita’ temukan lubang jangan digali. Jadi saya beli perlubang Rp100.000. Terus saya pagari. Yang penting itu kembali, sudah aman.”

Rumah Penyu tak menangkar. Ketika menetas, tukik segera lepas. Jelang rilis, Yusri mengumumkan ke media sosial, bahwa mereka perlu orang tua asuh bagi tukik. “Mereka ini yang nanti merilis tukik.”

Pengadopsi mendapat satu lubang setelah mendonasikan uang minimal Rp100.000. Donasi ini bakal dia alokasikan buat menebus jasa penemu lubang penyu, operasional, dan pemberdayaan masyarakat sekitar.

“Jadi saya pikir, sebenarnya ada solusi. Solusi untuk di sini,” katanya seraya bilang, ada Rumah Penyu, bisa jadi gerbang pemberdayaan masyarakat.

Kini pencuri telur penyu tak ada lagi. Meskipun begitu, penyelamatan penyu kembali terancam, abrasi!

“Abrasi masih mengancam Pantai Mampie, sebagai tempat pelestarian penyu kami. Dampaknya, penyu sulit menemukan tempat bertelur,” kata Yusri.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan, penyu laut masuk dalam daftar merah spesies terancam. Kelangsungan populasi satwa pengendali ubur-ubur ini, kian terancam karena aktivitas manusia, antara lain, menghancurkan habitat dan sarang, tangkapan sampingan (bycatch), pencurian telur, perdagangan ilegal, dan berbagai eksploitasi.

Bermimpi ada pemecah ombak pun terlintas. Yusri bersama kawan, mengajukan pembuatan pemecah ombak ke pusat, lewat balai naungan kementerian. Pada 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengabulkan, tetapi bukan pemecah ombak, melainkan tanggul.

“Jadi kami mediasi ulang. Saya usulkanlah, bagaimana tanggul ini, penyu bisa selamat, pantai tetap—nilai-nilai lingkungannya dapat. Kami usulkanlah pemecah ombak,” kata Yusri.

Sejak berdiri, pemecah ombak membawa perubahan baik. Pasir pantai yang sebelumnya terkikis, perlahan tumbuh kembali. Daratan baru pun muncul.

 

Tambak di Mampie. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Kalau pesisir rusak, ruang laut yang terumbu karang rusak, ekosistem mangrove menurun, tepi pantai kerap tergerus, maka Mampie, salah satunya.

“Dampak abrasi, persediaan air tawar juga hilang. “Akhirnya, warga beli air,” kata Yusri.

Padahal, Mampie masuk Taman Suaka Marga Satwa, menurut Peraturan Daerah Nomor 1/2014 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sulbar. Di Mampie, adalah tempat migrasi burung pelikan Australia dan jenis lain.

Asrianto masih ingat, kawanan burung itu tetapi tiap tahun jumlah mereka makin sedikit. “Mungkin karena tambah banyak tambak. Tidak ada tempat. Sama banyak dulu orang buru.”

 

Mudah abrasi

Pembukaan lahan untuk tambak, ambil peran besar pelindung pantai alami di Mampie, yaitu hutan mangrove, berkurang. Pelindung lain, macam terumbu karang juga rusak dan alami pemutihan. Kondisi jadi lebih buruk kala jenis tanah labil, Mampie pun rentan abrasi.

Amran Saru, pakar ekologi laut Universitas Hasanuddin mengatakan, pantai di sekitar Mampie itu punya sedimen berpasir, hingga sangat mudah terabrasi.

“Karena sifat tanah labil dan gelombang cukup besar jadi di sana ada pengurangan (sedimen) dari waktu ke waktu,” katanya.

Amran pernah penelitian di Mampie bersama Universitas Negeri Sulawesi Barat, juga membimbing mahasiswa Unhas yang meneliti di sana.

Menurut Amran, topografi pantai di Mampie bersifat terbuka ke Selat Makassar. Jadi, rentan bila memasuki musim barat—periode Desember hingga Februari.

“Saat musim barat tiba, gejolak sangat besar dari ombak. Reaksinya sangat maksimal ke pantai,” katanya.

Meski di Mampie, katanya, ada penambahan sedimen dari hulu sungai, namun mudah tergerus kembali bila abrasi.

Selain itu, kata Amran, krisis iklim juga membawa pengaruh pada degradasi pesisir di Mampie. Evaporasi (penguapan) berujung pemanasan global, membuat sedimen mengering, lapuk, dan melemahkan ikatan tanah. Akhirnya, tanah tak kuat menahan laju abrasi.

Di darat, terjadi run off, aliran permukaan yang terbawa air hujan. “Jadi, terpacu dua hal ini bekerja sama, hingga terjadi pengikisan luar biasa.”

“Jadi ada kemungkinan memang itu pengaruh pemanasan global menyebabkan bertambahnya volume abrasi.”

 

Saat ombak menghantai pantai tanpa pelindung, abrasi pun makin parah. Foto: Yusri

 

Rehabilitasi pesisir

Pemecah ombak buatan berjalan baik. Bagaimana pemecah ombak alami? Satu cara, yakni merehabilitasi pesisir lewat konservasi hutan mangrove.

“Jadi, yang bisa dilakukan, bagaimana mempertahankan itu dengan rehabilitasi. Penanaman mangrove telah rusak,” kata Amran.

Namun, katanya, penting diingat pula, ketika rehabilitasi, jenis mangrove yang ditanam adalah jenis yang sebelumnya tumbuh. Di Mampie, jenis mangrove didominasi jenis api-api (Avicennia sp.), merupakan habitat berbagai jenis burung, termasuk migran pelikan Australia.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2014-2019, Pemerintah Polman menargetkan, rehabilitasi kawasan hutan mangrove naik 1% jadi 77%. Di Mampie, belum membawa pengaruh signifikan.

Mangrove, kata Amran, bisa mengubah iklim sekitar jadi sejuk, menambah persediaan oksigen, mengikat karbon, dan mengikat sedimen tanah. Selain itu, bisa mendukung perikanan, dan jadi lokasi pemijahan, nursery ground, serta tempat makan bagi ikan.

“Selain itu, punya fungsi sosial, seperti ekowisata. Banyak hal bisa dilakukan kalau mangrove itu lestari. Jadi, masalah abrasi, pemanasan global, itu bisa teratasi dengan memelihara tumbuhan itu di daerah pantai.”

Mangrove pun, bisa jadi sumber kesuburan tambak dan menjernihkan air yang akan masuk ke pertambakan. “Bahan-bahan tercemar dari limbah B3 itu, bisa diserap akar-akar mangrove itu, hingga tingkat kekeruhan bisa lebih rendah.”

 

Adaptasi

Abrasi di Mampie, terus terjadi. Pemerintah daerah belum menaruh perhatian. Dalam RPJMD (2014-2019) setebal 300-an halaman, Mampie hanya disebut sekali, sebagai destinasi wisata.

Daerah ini berkali-kali kena terjang abrasi hingga warga brupaya hidup menyesuaikan diri. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tak pernah datang saat mereka perlu bantuan.

“Tidak pernah datang, nak,” kata Warni. Ibu-ibu lain menganggukkan kepala setuju.

Warga pun coba hidup beradaptasi dengan keadaan. Mereka yang sebelumnya kehilangan lahan layak huni, membangun rumah panggung di lahan tersisa, dengan kolong setinggi dua sampai tiga meter. Ada juga warga bangun rumah permanen dengan pondasi tinggi.

Dapur yang dulu di lantai bawah, pindah ke lantai dua. Beberapa kali mereka pindah hingga tampaklah paras pemukiman warga sekarang, berbaris menyisir tanjung.

 

 

Keterangan foto utama: Bangunan rusak di Mampie, karena abrasi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Yusri, penggagas Sabahat Penyu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version