Mongabay.co.id

COVID-19, Isolasi Warga, dan Emisi Global

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) telah membuat orang-orang mengisolasi diri; mengubah perilaku dan pola keseharian mereka untuk menangkal atau menghindari wabah yang mematikan tersebut. Sejumlah tempat di lockdown dan kegiatan lebih banyak dilakukan di rumah saja. Hal ini menimbulkan beberapa efek pada lingkungan.

Ketika industri, jaringan transportasi, dan berbagai kegiatan bisnis dihentikan, maka yang dihasilkan adalah penurunan emisi karbon secara tiba-tiba. Aktivitas ekonomi menurun, seiring dengan penggunaan sumber energi utama (batu bara dan minyak bumi) juga menurun. Ujungnya emisi karbon dioksida juga menurun.

Selama masa karantina, industri-industri utama di Tiongkok beroperasi pada tingkat yang jauh lebih rendah dari normal. Sementara penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik terbesar Tiongkok turun 40 persen (Axios, 8/3/2020). Menurut data Carbon Brief (4/3/2020) pada awal tahun di Tiongkok emisi turun 25 persen.

Baca juga: Belajar dari Wabah Corona yang Menjadi Perhatian Global. Bagaimana dengan Perubahan Iklim?

Tiongkok ialah pencemar industri yang sangat besar sehingga bahkan penurunan sementara seperti itu mempunyai dampak yang mencolok pada lingkungan. Proporsi hari dengan good quality air (kualitas udara yang baik) naik 11,4 persen dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu.

Dalam catatan Kementerian Ekologi dan Lingkungan RRT (2020), hal itu terjadi pada 337 kota di seluruh Tiongkok. Penurunan tiga minggu kira-kira sama dengan jumlah karbon dioksida yang dikeluarkan negara bagian New York (Myllyvirta, 2020) dalam setahun penuh (sekitar 150 juta metrik ton).

 

Gambar satelit yang dirilis NASA menunjukkan penurunan dramatis emisi nitrogen dioksida di Tiongkok pada saat wabah Covid-19. Sumber: NASA via CNN

 

Di Eropa, citra satelit menunjukkan emisi nitrogen dioksida (NO2) memudar di Italia Utara. Kisah serupa terjadi di Spanyol dan Inggris (data Badan Antariksa Eropa: 13/3/2020). Dilansir dari BBC (19/3/2020), dibandingkan dengan tahun lalu, tingkat polusi di New York telah berkurang hampir 50 persen karena langkah-langkah untuk menghadang laju penyebaran virus ini.

Covid-19 juga berhasil mengganggu sejumlah acara yang terkait dengan industri bahan bakar fosil.

Geneva Motor Show ke 90 yang rencananya bakal dilaksanakan tanggal 5 hingga 15 Maret 2020, dibatalkan oleh Pemerintah Swiss. Untuk menangkal menyebarnya Coronavirus, semua kegiatan kerumunan kini dilarang, termasuk acara yang lebih dari 1.000 tamu undangan itu.

Di Houston, Texas, pertemuan tahunan eksekutif raksasa minyak dan gas CeraWeek juga dibatalkan, seperti halnya grand prix Formula Satu di Shanghai.

Lebih banyak penghematan karbon juga datang dari pembatalan konferensi internasional. Donald Trump telah menunda pertemuan puncak 14 Maret dengan para pemimpin Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara.

London Book Fair (10-12 Maret 2020), Mobile World Congress (Pameran Dagang Tahunan Industri Kumunikasi Seluler) di Barcelona pada awal Maret, ​​Game Developers Conference (Konferensi Pengembang Game) di San Francisco pada pertengahan Maret, Adobe Summit 2020 pada akhir Maret di Las Vegas.

Bahkan festival akbar seperti South by Southwest (festival film, musik dan konferensi media tahunan) yang rencananya bakal dilaksanakan di Austin, Texas, pada 13-22 Meret 2020, semuanya telah dibatalkan –yang berarti ribuan ton lebih CO2 dari penerbangan yang diambil oleh delegasi internasional.

Efek yang lebih besar kemungkinan berasal dari penundaan Art Dubai, pameran seni terbesar di Timur Tengah.

Penutupan Tokyo Disneyland dan Disneysea selama beberapa minggu, atau taman hiburan Universal Studios di Osaka, Shanghai, Disneyland, dan tempat-tempat wisata lainnya yang biasanya menarik puluhan ribu pengunjung setiap hari, juga diperkirakan akan menghasilkan lebih sedikit penerbangan.

Menurut data Flightradar24, lalu lintas udara komersial global 7,2 persen lebih rendah pada Maret 2020 dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2019.

Transportasi merupakan salah satu penyuplai emisi karbon terbesar di dunia, yang mana masih kuat ditopang oleh energi fosil. Berdasarkan perkiraan International Council on Clean Transportation, sektor penerbangan bertanggung jawab atas 17 persen dari total emisi CO2 penerbangan penumpang pada tahun 2018.

Menurut perhitungan Carbon Brief, suspensi dan pembatalan penerbangan yang sedang berlangsung beberapa pekan terakhir telah mengurangi emisi CO2 global dari penerbangan penumpang sekitar 11 persen (3Mt).

 

Pencakar langit di Ibukota Jakarta. Indonesia juga tak luput dari wabah COVID-19, warga diminta untuk berdiam diri di rumah. Foto: Yohanes Budiyanto/Wikipedia common CC 2.0

 

COVID-19 dan Kenaikan Suhu Global

Sekarang pertanyaannya, apakah efek Coronavirus terhadap lingkungan hidup ini akan meredam kenaikan suhu global?

Sayangnya terlalu dini untuk menyimpulkan itu. Kita tidak tahu sampai kapan wabah ini berakhir.

Menurut sejumlah analis, efek Coronavirus ini belum dapat dikatakan bakal mendorong emisi CO2 global ke jalur menurun –seperti yang diperlukan jika dunia ingin memiliki harapan untuk menjaga pemanasan global ke tingkat 1,5C yang relatif aman di atas tingkat pra-industri.

Corinne Le Quéré, profesor ilmu perubahan iklim di University of East Anglia, mengatakan bahwa sejauh ini krisis hanya akan memperlambat pertumbuhan CO2, bukan membalikkannya.

Adapun, selama 10 tahun terakhir, emisi telah tumbuh pada tingkat tahunan sekitar 317 megaton, sehingga kita membutuhkan pengurangan yang sangat besar untuk melihat penurunan tahun ini.

Selain itu, ini bukan pertama kalinya akibat wabah virus membawa dampak pada tingkat karbon dioksida di atmosfer. Sepanjang sejarah, penyebaran wabah selalu membuat emisi yang lebih rendah, seperti yang pernah terjadi jauh sebelum zaman industri.

Julia Pongratz, profesor geografi fisik dan sistem penggunaan lahan di Departemen Geografi di Universitas Munich, Jerman, menyebutkan epidemi seperti Kematian Hitam di Eropa pada abad ke-14, dan epidemi cacar pada abad ke-16 di Amerika, keduanya meninggalkan tanda halus pada tingkat CO2 di atmosfer.

Angka-angka peurunan menunjukkan bahwa sejauh ini ekonomi kita masih tergantung kuat pada bahan bakar fosil. Maka, setiap kali aktivitas industri menurun, -apakah karena resesi atau wabah penyakit besar, polusi iklim cenderung menurun juga.

Akan tetapi, wabah tentu bukan sesuatu cara yang diharapkan untuk meredam emisi. Sebab dampak pandemi ini telah menyebabkan kehilangan pekerjaan massal dan mengancam mata pencarian jutaan orang. Aktivitas ekonomi tersendat dan pasar saham pun jatuh.

Agenda perubahan iklim sebenarnya masih menghendaki pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, maka itu dikenal ekonomi berkelanjutan. Pembangunan ekonomi harus diiringi dengan tindakan dekarbonisasi.

Hal tersebut telah diupayakan formulasi dan penerapannya oleh banyak aktivis, ilmuwan, dan para pemimpin dunia selama beberapa dekade ini.

Penurunan emisi selama Coronavirus hanya efek jeda dan tak terencana, yang belum tentu bermakna pada perubahan perilaku jangka panjang. Orang-orang berhenti membuat emisi karena ada virus yang membahayakannya di luar.

Namun setelah wabah berhenti, kehidupan akan kembali seperti semula (business as usual). Bisa jadi juga emisi bakal semakin meningkat, disebabkan banyak kegiatan industri yang harus dikejar untuk membangun ekonomi bangkit dari krisis. Lingkungan hidup kembali terabaikan.

Tanpa mengurangi empati terhadap korban dari wabah yang berbahaya ini, ada yang aneh dan menarik dipertanyakan terkait respon kita. Mengapa dalam wabah Coronavirus orang-orang lebih mudah mendengarkan ilmuwan ketimbang dalam soal krisis iklim?

 

* Alek Karci Kurniawan, penulis adalah Peneliti Kebijakan Konservasi. Saat ini bekerja untuk prakarsa iklim dan hutan di dataran rendah Sumatera

 

 

Exit mobile version