Mongabay.co.id

Budaya Work from Home dan Perbaikan Kualitas Lingkungan

 

Sejak merebaknya wabah corona [COVID-19], istilah work from home, sering disingkat WFH, kian akrab di telinga kita. Cara ini, selain dapat memutus rantai penularan virus corona, juga berkontribusi terhadap penurunan kemacetan lalu lintas dan polusi udara.

Pilihan WFH adalah logis, sebagai salah satu ikhtiar. Seperti kita ketahui, kerumunan atau keramaian, di mana banyak orang berkumpul, menjadi wahana ampuh penyebaran virus corona. Menjaga kontak, menjaga jarak, mengisolasi diri, merupakan tindakan yang sangat dianjurkan untuk mencegah penularan virus mematikan tersebut.

Dampak nyata yang kita rasakan, ketika banyak orang di negeri ini melakukan aktivitas dari rumah adalah menurunnya tingkat kemacetan dan kebisingan. Jalan-jalan yang biasanya padat oleh kendaran bermotor yang disertai deru suara mesin kini lebih lengang.

Di beberapa sudut kota, kicauan burung-burung yang menghuni taman/hutan kota lebih nyaring terdengar. Tupai dan beberapa hewan lain, yang selama ini jarang terlihat, mulai menampakkan diri.

Di Negara Barat, work from home sering pula diistilahkan sebagai telework. Ada juga yang menyebutnya sebagai telecommuting. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan orang mengerjakan banyak hal dari jarak jauh.

Bahkan, budaya ini telah lama diperkenalkan dan menjadi bagian yang menyatu dengan kebijakan pemerintah kota. Terutama, dalam upaya menangani kemacetan lalu lintas serta pencemaran udara.

 

Kemacetan kendaraan bermotor yang berimbas pada peningkatan polusi udara dan kebisingan. Foto: Djoko Subinarto

 

Perubahan gaya hidup

Seperti kita ketahui, kemacetan lalu lintas merupakan horor yang tidak terpisahkan dari wajah kawasan perkotaan kita.

Secara sederhana, kemacetan terjadi lantaran panjang serta lebar jalan tidak seimbang dengan jumlah kendaraan. Logikanya, cara paling gampang untuk mengatasi kemacetan adalah menambah panjang jalan dan lebar jalan yang ada. Akan tetapi, cara ini tidak selalu bisa dilakukan. Yang paling mungkin adalah membuat jalan baru, seperti membangun jalan tol maupun jalan layang.

Namun, kebijakan seperti ini cuma mengatasi kemacetan sementara waktu, jika tidak disertai upaya-upaya lainn. Sebut saja, membenahi manajemen transportasi; pengadaan transportasi massal yang murah, nyaman dan aman; perubahan gaya hidup; pembatasan jumlah kendaraan bermotor; hingga pendidikan disiplin berlalu lintas warga kota.

Kita sama-sama tahu, selain berdampak negatif bagi ekonomi, kemacetan juga merugikan kesehatan. Indonesia, sebagaimana diberitakan Bloomberg, menduduki peringkat ke-8 sebagai negara dengan tingkat pencemaran udara paling parah di dunia.

Khusus bisnis dan ekonomi, Weisbrod et al [2003], dalam laporan bertajuk Measuring the Economic Costs of Urban Traffic Congestion to Business, menyebutkan bahwa kemacetan menaikkan biaya perjalanan, biaya logistik serta menurunkan produktivitas.

Penelitian yang dilakukan World Bank di 28 kota di Indonesia, beberapa waktu lalu, menyimpulkan, kerugian akibat kemacetan lalu lintas di Indonesia mencapai empat miliar Dollar AS, setara Rp56,7 triliun per tahun. Wilayah Jakarta menjadi penyumbang terbesar kerugian kemacetan dengan nilai 2,6 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 36,7 triliun per tahun.

 

Ruang terbuka hijau yang memberikan suasan segar dan nyaman untuk kehidupan kita dan makhluk hidup lainnya. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Keuntungan bagi lingkungan

Work from home jelas memberi keuntungan bagi lingkungan. Andai setengah dari jumlah total pekerja yang bekerja di kota-kota besar kita bisa melakukan aktivitas ini, setidaknya akan menurunkan tingkat kesibukan di jalanan. Artinya, ikut menurunkan tingkat kemacetan, pencemaran udara, serta pencemaran suara.

Dari sisi pribadi, pekerja yang melakukan work from home akan memperoleh keuntungan seperti waktu efektif bekerja karena tidak memerlukan waktu tempuh ke kantor yang mungkin melelahkan. Keuntungan lain, hemat anggaran karena tidak perlu ongkos transportasi. Kedekatan dengan anggota keluarga juga maksimal sehingga meningkatkan keharmonisan.

Bagi perusahaan yang menjalankan sistem work from home dapat memperoleh keuntungan berupa peningkatan produktivitas kerja. Kajian yang dilakukan di sejumlah kota di luar negeri, menunjukkan rata-rata produktivitas kerja meningkat hingga 20 persen. Juga, mengurangi tingkat kemangkiran karyawan. Tambahan lagi, perusahaan dapat membuat sejumlah penghematan listrik, air, sewa gedung, maupun lahan parkir.

Lahan perusahaan yang tadinya untuk parkir kendaraan karyawan, bisa dikonversi menjadi lahan terbuka hijau yang dapat berkontribusi bagi peningkatan kesehatan lingkungan perusahaan.

Aktivitas work from home dapat dibudayakan di negeri ini. Karena manfaatnya yang besar, terlebih mencegah penyebaran penyakit, seperti wabah corona sekarang.

Pemerintah kota tidak ada salahnya menyediakan sejumlah insentif menarik bagi perusahaan-perusahaan yang melaksanakan sistem work from home.

 

*Djoko Subinartokolumnis dan bloger, tinggal di Bandung [Jawa Barat]. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version