Mongabay.co.id

Menjaga Minyak Kelapa Mandar agar Tak Terlibas Sawit

Minyak Mandar, dijual di tepi jalan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Mentari cukup terik siang itu. Murniati, tampak sibuk mengaduk santan kelapa di dalam kuali di pondoknya, di Kampung Tulu, Majene, Sulawesi Barat. Di atas tungku membara, santan perlahan mengental, jadilah minyak kelapa, dikenal dengan minyak Mandar.

Perhari, perempuan berusia 72 tahun itu, bisa membuat minyak sampai 15 liter. “Kadang istirahat juga, sudah tua he…he,” kata Murniati.

Di Kampung Tulu, pembuat minyak mandar tak hanya Murniati. Ada belasan keluarga menyambung hidup dari membuat minyak ini.

Kalau datang ke Kampung Tulu, siang hari, akan mendapat suguhan aroma kelapa goreng nan harum, bau khas dari minyak kelapa.

Para perajin mengemas minyak dengan jerigen dan botol plastik bekas, tentu tanpa merek. Mereka lalu memajang serupa menjual bensin eceran, di depan warung sepanjang jalan di Kampung Tulu. Harga perliter Rp30.000-Rp35.000.

Selama 25 tahun, Murniati bikin minyak Mandar di pondok beralas tanah ini. Pondok itu bagai pabrik kecil. Dua tungku di ruang utama. Di ruang lain, putri Murniati, tengah menyungkil daging kelapa dari tempurung. Daging itu buat produksi besok.

Saban hari, Murniati mengolah 80-100 kelapa jadi minyak. Kelapa-kelapa itu dipasok dari Tinambung dan Pambusuang, Polewali Mandar. Perikat (dua kelapa), Murniati beli Rp3.500.

“Sekarang juga sudah mulai kurang kelapa. (Penjual) lebih pilih jual ke Makassar, karena diambil mahal kalau di sana,” katanya.

 

Proses mengambil daging kelapa untuk bikin minyak. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Minyak Mandar atau lomo Mandar, adalah minyak berbahan kelapa (crude coconut oil/CCO). Minyak ini sekaligus jadi identitas bagi Suku Mandar, salah satu pemangku budaya maritim terbesar di Sulawesi.

Tak seperti minyak goreng lain, minyak Mandar punya aroma dan bisa menambah cita rasa khas pada makanan.

Minyak Mandar hingga kini bertumpu dengan alat tradisional. Skala industri rumahan, dengan rantai pasok singkat. Tak ada hingar bingar iklan tentang minyak ini.

Ekspansi minyak sawit kemasan di pasar modern, tradisional, hingga warung kecil di pelosok negeri, membuat minyak Mandar tersisih. Belum lagi, minyak goreng sawit curah juga masuk.

“Ada yang juga bilang, kalau minyak Mandar ini banyak kolestrolnya. Dari dulu itu terus kita pake. Tidak apa-apa ji,” katanya.

Jauh dari rumah Murniati, saya menjumpai Dalnia, di Desa Lembang Dua, Majene. Perempuan 51 tahun ini juga pembuat minyak Mandar.

Pada 2003, usaha Dalnia berkembang dengan bikin virgin coconut oil (VCO) hingga kini. “Ada pi yang pesan baru saya bikin. Apa susah sekali cara bikinnya,” katanya.

VCO dibikin dengan cara pengendapan. Mulanya, Dalnia memeras santan lalu menyimpan dalam wadah seharian, sampai terpisah jadi empat lapis. “Di lapisan dua ini yang nanti dibikin jadi VCO,” katanya.

“Lapisan satu sama yang tiga bisa dimasak jadi minyak Mandar. Lapisan paling bawah dibuang.”­

Bagian yang telah diambil lalu disaring memakai tisu.

VCO itu bening. Beraroma air kelapa dan berbuih kecil. Persetengah liter Rp50.000. VCO dipercaya kaya manfaat, dari obat oles hingga bahan baku kosmetik dan obat-obatan. Dari tangan Dalnia, 50 kelapa dia sulap jadi 3-4 liter VCO.

 

Belasan keluarga jadi pembuat minyak Mandar di Kampung Tulu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Kelapa atau bernama latin Cocos nucifera termasuk marga Cocos dari suku aren-arenan atau Arecaceae. Tumbuhan ini ada hampir di seluruh kepulauan nusantara terutama di pesisir beriklim tropis dan sub-tropis. Kelapa tumbuh liar atau budidaya.

Tak ada yang tahu pasti muasal tanaman ini, diperkirakan dari pesisir Samudra Hindia di sisi Asia.

Seluruh struktur dari tanaman ini punya kegunaan: dari akar hingga daun. Daging dan air dapat diolah jadi makanan dan minuman. Kelapa muda paling diminati. Daging kelapa tua bisa diperas jadi santan atau dijemur buat kopra. Daging keras inilah, yang jadi bahan dasar pembuatan minyak Mandar dan VCO.

Air kelapa pun dapat diproses menjadi nata de coco. Di Mandar, tak ada yang mengolah air kelapa. Karena keserbagunaan itu, kelapa dijuluki tanaman kehidupan. Sabut kelapa saja bisa bermanfaat, misal, untuk jok kursi atau media tanam yang dikenal dengan coco peat atau coco fiber.

Tumbuhan ini juga menginspirasi Sedijatmo, tokoh insinyur Indonesia. Dari akar kelapa dia menemukan sistem pondasi yang dapat tegak pada permukaan tanah lunak dan berawa. Kelak, sistem itu dikenal dengan pondasi cakar ayam.

 

Minim limbah

Ada tanah lapang di sekitar pondok Murniati. Di situ ampas santan dijemur. Limbah itu dijual untuk pakan ternak. “Orang dari Mamasa sama Toraja, biasa beli,” kata Murniati. “Karena di sana orang pelihara babi.”

Selain ampas santan, limbah lain ada sabuk dan batok kelapa. Murniati memakainya untuk tungku masak. Pun dengan batang kelapa.

Memasak santan hingga jadi minyak perlu 3-4 jam. Dari santan putih hingga coklat keemasan.

Bagaimana pembuatannya? Mulanya, Murniati membuat santan dengan memeras parutan daging kelapa dengan kain.

Selanjutnya, Murniati memasak santan itu selama satu jam dengan api kecil sampai bagian: parroangan (limbah masak) terpisah dari minyak.

Murniati lalu membuang parroangan, dan kembali memasak minyak. Di tahap ini, tangan Murniati mengaduk tanpa jeda. Memutar dan maju mundur memakai centong panjang.

 

Dalniati, perajin VCO. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Empat jam berlalu, minyak pun jadi. Murniati lalu memindahkan ke wadah sambil disaring. Inilah yang dikenal tahi minyak Mandar.

Dia memasukkan limbah santan, biasa disebut tahi minyak itu ke dalam karung untuk menekan atau mangeppe’ karung agar sisa-sisa minyak terambil.

Menekan karung limbah minyak pakai teknologi tradisional, alat terbuat dari kayu berbentuk mirip penjepit, dalam ukuran besar. Di atas lengan alat itu, Murniati duduk memberi beban. Minyak perlahan menetes ke penampung. Sesekali karung itu dibalik.

Murniati tidak membuang tahi minyak. Limbah ini masih berguna, jadi pakan tambak atau dibuat jadi berbagai sambal tumis.

Sementara dalam pembuatan VCO, limbah yang terbuang hanyalah air endapan. Tak ada proses masak.

 

Perang dagang kopra zaman kolonial

Pada 1920, Makassar dipandang sebagai kekuatan ekonomi di Asia Pasifik, sebagai eksportir kopra raksasa.

“Bahkan pada fase itu, ekspor kopra Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang,” tulis A. Rasyid Asba, dalam buku Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah.

Tahun 1880-an, lanjut Guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin itu, kopra jadi komoditi penting bagi penduduk Sulawesi Selatan. “Pada tahun itu bangsa-bangsa Eropa menggunakan kopra sebagai bahan dasar penting dalam pembuatan sabun dan mentega.”

Pada 1860, tulis Rasyid, kelapa menyebar di Sulsel mencapai 407.279 tanaman, terluas Mandar (Majene dan Polewali) dengan 16.502 dan 291.190 tanaman di Pulau Selayar.

Semula, pada 1896, kopra lewat pelabuhan Makassar itu hanya 8.770 ton. Enam tahun berselang, ekspor kopra naik 28.045 ton. Setelah terpuruk karena Perang Dunia I, pada 1920, kopra mencapai puncak ekspor, dengan total 50.792 ton seharga f 13.713.840.

Makin pesat, lembaga pemberi kredit bermunculan, antara lain, Bank Rakyat Makassar dan Bank Rakyat Mandar.

Bank ini memberi kredit kepada pedagang pribumi mapan dan pedagang China agar membeli kopra dari Bank Rakyat. “Bank Rakyat Bonthain (Bantaeng) dianggap yang terbaik,” tulis Rasyid.

“Sampai tahun 1950-an, bank di Bonthain dan Mandar memberi anggotanya kredit senilai 23.000 gulden.”

Menurut Rasyid, motif pemerintah kolonial Belanda merias Makassar menjadi pusat dagang, bukan semata karena kepentingan ekonomi tetapi politis global. Terlebih, di tengah persaingan dagang antar Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris di Hindia Timur.

Perang dagang keduanya, berujung pada perebutan pasar kopra di Wilayah Timur Besar, yang semula hanya perseteruan mereka ihwal kebijakan penataan pelabuhan di daerah jajahan masing-masing.

Guna mengimbangi Singapura—daerah persemakmuran Inggris–, di Makassar, Belanda membangun pelabuhan gudang—terpenting setelah Jawa. Di Makassar, juga mendirikan Oliefabrieken Insulinde (OFI)pabrik minyak kelapa, pada 1913.

“Melalui kebijakan itu, kolonial Belanda berharap, kopra tidak lagi diekspor ke Singapura (melalui pedagang Cina), tetapi cukup diolah di Makassar, sisanya dikirim langsung ke Eropa,” sebut Rasyid.

OFI tak hanya mengolah kopra menjadi minyak. Perusahaan minyak ini sekaligus memonopoli pasar kopra.

Selain OFI, penduduk pedalaman Sulsel—termasuk Mandar, juga bikin minyak kelapa. “Penduduk pedalaman Sulsel lebih senang memakai minyak kelapa tradisional karena aroma lebih harum dibandingkan minyak kelapa pabrik.”

Kala itu, minyak sawit dari Eropa mengekspansi, namun menurut Rasyid, kehadirannya justru tak memengaruhi pribumi. “Kelapa mempunyai keistimewaan bagi masyarakat Sulsel, karena telah lama dikenal oleh petani, hingga pengelolaan tidak asing lagi.”

Beberapa tahun berselang, pabrik minyak kelapa dari Eropa mulai berdatangan ke Makassar. Salah satunya, Macassar Produce Co, anak usaha Aarhaus, korporasi minyak raksasa asal Denmark. Perusahaan itu tak punya umur panjang, setelah bangkrut pada 1930 karena depresi ekonomi.

Permintaan kopra pada awal 1900-an pun terus meningkat. Namun, kebun kelapa yang ada tak sanggup memenuhi.

Pada 1906, residen Belanda di Makassar memerintahkan agar penanaman pohon kelapa di Sulsel tidak berhenti. Instruksi itu dituangkan dalam Gouvernements Besluit Resident Celebes dan daerah taklukannya, tertanggal 8 Maret 1906.

Kelapa ditanam di mana-mana. Demi itu, kata Rasyid, pemerintah Belanda mendatangkan bibit kelapa unggul dari Mandar dan Selayar. “Perluasan … itu juga mendapatkan dukungan dari raja-raja setempat.”

Warga lokal pun ikut. Mereka membuka lahan dengan cara bakar atau memanfaatkan tanah tegalan. Pembukaan lahan pun lepas kendali. Kebun rakyat kala itu banyak yang menerapkan tumpang sari. Ada kelapa dan tanaman ekspor lain.

Kini di Mandar, data 2017 menyebut, produksi kelapa berkisar 16.810 ton, dengan luas kebun rakyat 20.484 hektar.

 

Pembuatan minyak kelapa Mandar. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Perlu perlindungan

Minyak kelapa tradisional bertahan hingga kini. Selain Mandar juga ada Selayar. Namun, minyak kelapa ini mulai redup. Bagaimana menjaganya?

Erlika Sri, pernah meneliti minyak Mandar sebagai langkah awal pendaftaran ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).

“Kita selama ini sudah kenal minyak Mandar, sudah lama ya, dari nenek moyang kita. Minyak Mandar ini punya potensi didaftarkan. Karena ada keunggulan, itu karakterisitik, seperti wangi. Ketahanan minyak itu sendiri, juga dikenal banyak orang. Juga sebagai campuran kosmetik,” katanya.

Perempuan lulusan Pascasarjana Unhas ini ingin, minyak Mandar punya perlindungan hukum lewat, indikasi geografis. “Daerah lain pun juga bisa berpotensi untuk didaftarkan, tidak ada salahnya.”

Erlika khawatir, minyak Mandar bakal bernasib sama dengan kopi Toraja, dengan merek dagang diklaim Jepang. “Ini salah satu penyakit negara kita. Sudah diklaim orang lain, pemerintah baru bergerak.”

“Itu pentingnya kenapa kita harus segera mendaftarkan produk-produk lokal, yang berpotensi bisa membangun perekonomian bagi masyarakat Sulbar, terutama masyarakat yang membuat itu.”

Hasil kajian telah ada, kata Erlika, tinggal mendorong pemerintah atau kelompok masyarakat segera mendaftarkan minyak Mandar ini lalu menyusun buku persyaratan, yang berisi sifat khas, mutu, hingga metode produksi dari minyak ini.

“Lagi-lagi, harus ada salah satu, apakah pemerintah, kelompok masyarakat yang mau mendaftarkan itu. Karena kepemilikan indikasi geografis bukan (milik) salah satu kelompok ataukah pemerintah, tetapi kepemilikan kolektif,” katanya.

Dia mengajak, sedini mungkin bergerak mendaftarkan produk lokal buatan masyarakat. Erlika bilang, masa perlindungan indikasi geografis itu lama, selama reputasi dan karakteristiknya bertahan.

Dengan rantai pasok singkat, ongkos produksi murah, dan memiliki banyak kegunaan di kehidupan sehari-hari, minyak Mandar bisa jadi sumber pendapatan lebih bagi pembuatnya. “Suara mereka perlu didengar,” kata Erlika.

Pemerintah, katanya, wajib menaruh perhatian dan mendukung baik produksi ini. “Kita [Indonesia] salah satu penghasil kelapa terbesar, yang didorong hanya sawit.”

 

Gantikan minyak sawit

Di Makassar, ada industri rumahan, pakai minyak Mandar jadi bahan baku pembuatan sabun, namanya, Coconut Groove Soap.

“Alasanku pakai minyak Mandar karena dibanding minyak nabati lain, busanya paling melimpah,” kata Eka Besse Wulandari, perajin kosmetik dari minyak kelapa.

“Minyak Mandar kan dikenal wangi, kalau jadi sabun, aroma mirip kue dan menenangkan, menurutku. Tidak menyengat. Jadi, mandi bisa bikin rileks.”

Selain sabun, Eka bikin lipbalm, body butter, dan body scrub. “Semua pakai minyak kelapa.”

Eka tak bikin banyak, tergantung pesanan. “Satu liter tiap cetakan. Jadi 12 potong sabun.”

Perbatang, Eka jual Rp23.000-Rp35.000, dengan macam varian aroma.

Perajin sabun lain, Nur Azis juga pakai minyak Mandar. “Kalau minyak sawit perlu lagi dikasih booster busa,” kata perajin One Leaf itu. “Pembuat minyak juga kena imbas ke pendapatan mereka. Kalau kita bisa kerjasama ini, imbasnya bisa berkelanjutan.”

Rencananya, One Leaf bakal produksi sabun dengan kapasitas besar. “Sementara kita produksi 4.000 batang. Perbulan nanti bisa target sampai 12.000 batang.”

One Leaf, menyasar pasaran di desa, sembari memenuhi pesanan lain. Saat ini, mereka jual ke lembaga dagang yang mengkampanyekan produk semacam sabun tanpa kandungan deterjen.

“Untuk pembuatan 4.000 batang sabun itu, bisa pakai minyak kelapa sekitar 167 liter, yang kami beli langsung dari pembuat minyak kelapa,” kata Azis.

 

 

Keterangan foto utama: Minyak Mandar, dijual di tepi jalan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version