- Natu (75), Ario Permadi (31) dan Sabang (47), tiga petani dari lingkungan Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, menjalani pemeriksaan terkait dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang.
- Mereka menebang pohon jati untuk keperluan membangun rumah dan tak mengetahui bahwa lokasi kebun miliknya diklaim masuk kawasan hutan lindung, karena sudah dikelola secara turun-temurun selama ratusan tahun dari kakek, orang tua dan terakhir dikelola oleh Natu.
- UU P3H dinilai seringkali digunakan untuk menjerat petani kecil yang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan. Padahal, undang-undang ini sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial.
- Rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional membuktikan bahwa agenda Reforma Agraria Presiden Joko Widodo yang sejak periode pertama tidak berjalan.
Natu bin Takka (75) kembali memenuhi panggilan Penyidik Polres Watansoppeng, Kamis (2/4/2020), untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang. Ini adalah pemeriksaan kedua kalinya, setelah pemeriksaan pertama 3 Maret 2020 lalu.
Natu tidak sendiri. Ia diperiksa bersama anak dan ponakannya Ario Permadi (31 tahun) dan Sabang (47 tahun) dengan tuduhan yang sama. Mereka dijerat Pasal 82 ayat (1) huruf b Jo. Pasal 12 huruf b dan/atau pasal 82 ayat (2) Undang-Undang No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H).
Ketiga petani ini tinggal di lingkungan Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Pohon jati yang mereka tebang adalah pohon yang ditanam sendiri di kebun milik Natu seluas ±26 are yang berjarak ±100 m dari rumahnya. Kebun milik Natu adalah warisan dari orang tuanya yang telah meninggal puluhan tahun lalu.
Menurut pengakuan Natu, ia menebang pohon jati untuk keperluan membangun rumah. Ia tak mengetahui bahwa lokasi kebun miliknya diklaim masuk kawasan hutan lindung, karena kebun itu sudah dikelola secara turun-temurun selama ratusan tahun dari kakek, orang tua dan terakhir dikelola oleh Natu.
“Selama ini tak pernah ditegur oleh pihak kehutanan. Setiap tahun juga saya aktif membayar PBB sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2019,” katanya, sebagaimana dituturkan Edi Kurniawan aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.
baca : Hari Tani Nasional: Bertemu Perwakilan Petani, Presiden Setuju Bentuk Badan Reforma Agraria
Menurut Edi, ketiga petani tersebut tak bisa dituntut karena mereka sehari-harinya memang telah berladang di kebun tersebut, dengan menanam jahe dan lengkuas untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama keluarga.
Di kebun tersebut juga terdapat puluhan pohon jati yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun yang ditanam oleh leluhurnya sendiri.
“Pohon jati itu, dari dulu dipergunakan untuk kebutuhan membangun rumah. Bahkan dari tanaman jati itu sudah berdiri dua rumah panggung, rumah yang dibangun orang tua Natu dan rumah anak pertamanya. Sejak tahun 1990-an sampai dengan tahun 2019, ia aktif membayar PBB kebun yang ia kelola,” ujarnya.
Edi juga menyayangkan pemeriksaan tersebut dilakukan di tengah kondisi wabah virus Corona dimana pemerintah sendiri telah mengeluarkan himbauan per 14 Maret 2020 yang menetapkan status masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2 April 2020. Di Kabupaten Soppeng telah terdapat 28 pasien ODP, 2 Pasien PDP dan terakhir diinformasikan telah ada 1 Pasien Positif Covid-19.
Mengulang Kasus Setahun Sebelumnya
Menurut Edi, kriminalisasi terhadap Natu dan dua keluarganya tersebut seharusnya tidak terjadi jika merujuk pada kasus yang sama setahun sebelumnya.
Pada 2019 lalu tiga orang petani Soppeng juga pernah dijerat dengan pasal yang sama UU P3H, yaitu Jamadi, Sukardi dan Sahidin. Ketiganya ditangkap di kebun masing-masing. Tak berbeda dengan Natu, ketiganya sudah menguasai dan mengelola kebun mereka secara turun-temurun dan memanfaatkan hasilnya untuk keperluan sehari-hari.
Setelah bergulir di Pengadilan Negeri Watansoppeng, hakim memutus ketiganya tidak bersalah dan bebas. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa ketiganya tak bisa dijerat dengan UU P3H, karena merupakan petani tradisional yang sudah turun-temurun mengelola kebun yang diklaim masuk kawasan hutan dan memanfaatkan hasil kebun untuk keperluan sehari.
Pada saat itu Penuntut Umum mengajukan kasasi dan pada Februari 2019, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan putusan PN Watansoppeng.
baca : Akhirnya Tiga Petani Soppeng Divonis Bebas. Bagaimana Ceritanya?
Menurut Edi, UU P3H seringkali digunakan untuk menjerat petani kecil yang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan. Padahal, undang-undang ini sejatinya dibuat untuk menjerat pelaku pembalakan liar dari kelompok atau korporasi dengan modus operandi canggih untuk kepentingan komersial.
“Dalam implementasinya, undang-undang ini justru digunakan untuk menjerat petani tradisional yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan dan menggantungkan hidup dari sumber daya hutan,” katanya.
Edi menilai kasus Natu yang saat ini diproses di Polres Watansoppeng semakin menguatkan bahwa UU P3H mengandung ketidakpastian hukum.
“Hal mana rumusan pasal-pasal pidana dalam UU P3H bersifat diskriminasi, tidak cermat, tidak jelas, multitafsir dan bertentangan satu dengan yang lain. Sehingga dengan mudah disalahgunakan oleh penegak hukum,” tambahnya.
Edi menilai upaya kriminalisasi terhadap Natu adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu hak atas milik pribadi (vide Pasal 28H UUD 1945), hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (vide Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945), hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya (vide Pasal 28A UUD 1945) dan hak untuk mengembangkan diri dan keluarga (vide Pasal 28C UUD 1945).
Menurut Rizki Anggriani Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel, rentetan peristiwa kriminalisasi petani tradisional membuktikan bahwa agenda Reforma Agraria Presiden Joko Widodo yang sejak periode pertama tidak berjalan.
“Program TORA khususnya angka 4,1 juta hektare redistribusi kawasan hutan tidak terealisasi,” katanya.
Menurut Rizki melihat agenda Reforma Agraria tidak lebih dari sekedar program sertifikasi bagi-bagi sertifikat semata, sementara konflik agraria signifikan tak terhenti. Begitu juga dengan Peraturan Presiden No.86/2018 tentang Reforma Agraria telah dikeluarkan, namun tidak membawa dampak positif bagi agenda Reforma Agraria di Indonesia.
baca : Tangkap Empat Petani, BPPHLHK Sulawesi Dinilai Langgar Putusan MK
Ia menilai klaim dan penetapan kawasan hutan secara sepihak dan semena-mena oleh rezim kehutanan yang tertuang dalam SK.434/Menhut-II/2009, tanggal 23 Juli 2016, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sulawesi Selatan seluas ± 2.725.796 Ha telah memosisikan masyarakat sebagai penjahat dan perambah hutan.
Tragisnya pada tahun 2019, KLHK kembali melakukan perubahan peruntukan fungsi kawasan hutan dan penunjukan bukan kawasan menjadi kawasan hutan di provinsi Sulawesi Selatan dalam SK: 362/Menlhk/Setjen PLA.0/ 05/ 2019.
“Penunjukan dan penetapan ini seharusnya mengembalikan hak-hak masyarakat yang telah diambil selama puluhan tahun, sekaligus menjadi niat baik dari penyelesaian konflik-konflik agraria dan menghentikan praktik perampasan tanah-tanah rakyat oleh kehutanan. Namun ternyata nihil,” katanya.
Jika kondisi ini terus berlanjut bisa dipastikan kampung-kampung, desa-desa di Indonesia dalam catatan BPS sejumlah 25.863 yang berada dalam klaim kehutanan atau 1.028 desa/kelurahan yang berada dalam klaim kawasan hutan dari 3.030 desa/kelurahan yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan akan menjadi bom waktu masifnya kriminalisasi rakyat dan pengusiran petani-petani, masyarakat adat dari sumber-sumber agraria, penghidupan dan tanah-tanah leluhurnya.
Menyikapi kondisi ini LBH, KPA Sulsel dan Forum Bersama (Forbes) Petani Latemmamala Soppeng menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah dan aparat kepolisian.
Pertama, mendesak agar Polres Soppeng menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Natu, Ario Permadi dan Sabang, juga masyarakat lainnya yang menebang pohon hanya semata-mata untuk kebutuhan sandang-pangan-papan, bukan untuk kepentingan komersial.
Kedua, mendesak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan seluruh lembaga terkait untuk menghentikan praktik kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani yang sudah turun-temurun mengelola lahan dan tidak menjadikan hasil kebun untuk tujuan komersial.
Ketiga, mendesak Presiden Joko Widodo menjalankan agenda Reforma Agraria secara menyeluruh dan segera melepaskan tanah-tanah masyarakat yang berada di dalam klaim kawasan hutan demi kepastian hukum, keadilan serta penghormatan kedaulatan hak-hak rakyat sehingga tidak terjadi kriminalisasi petani di kemudian hari.