- Bondol haji [Lonchura maja] merupakan jenis bondol yang sering dipanggil emprit kaji atau pipit haji.
- Diberi nama bondol haji karena kepalanya berwarna putih, seperti orang pakai peci putih haji. Tubuhnya hanya 11 sentimeter [seukuran telunjuk orang dewasa]. Tempat paling sering dikunjungi adalah rawa dan hamparan rerumputan. Jenis ini tersebar luas di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
- Kehadiran bondol jawa dan jenis lainnya dapat kita undang ke pekarangan atau taman dan ruang hijau lainnya. Mengapa? Profesor Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran [Unpad] menjelaskan, sebagai indikator alami kualitas lingkungan, semakin banyak jenis burung yang datang menunjukkan lingkungan kita semakin sehat.
- Aktivitas work from home yang kita lakukan sekarang, sebagai imbas merebaknya virus corona [COVID-19], dampak positif yang terlihat adalah lingkungan kita lebih segar dan kicau burung makin sering terdengar. Namun, terjadinya perubahan perilaku manusia ini akibat paksaan. Bukan karena kesadaran.
Bondol haji nama aslinya. Keseharian, sering dipanggil emprit kaji atau pipit haji. Dalam bahasa latin disebut Lonchura maja.
Dari sekian nama burung yang diawali bondol, seperti bondol oto-hitam, bondol rawa, bondol peking, bondol taruk, bondol perut-putih, bondol tunggir-putih, bondol jawa, hingga bondol kalimantan, hanya jenis ini yang digelar haji. Mengapa?
Nama bergengsi ini diberikan, karena kepalanya yang berwarna putih. Seperti orang yang pakai peci putih haji. Meski, dalam nama Inggrisnya, burung ini tidak ada sama sekali hubungannya dengan haji: White-headed Munia.
Baca: Masihkah Ada Jenis Burung Ini di Sekitar Kita?
Tampilan fisik, jenis ini mudah dikenali. Kepalanya putih, tubuhnya hanya 11 sentimeter [seukuran telunjuk orang dewasa]. Paruhnya abu-abu kebiruan dengan kaki biru pucat. Saat masih muda, tubuh bondol haji ini bagian atasnya coklat, sementara bagian bawah dan muka warnanya kuning tua.
Secara global, burung ini tersebar di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi dengan wilayah yang paling sering dikunjungi rawa dan hamparan rerumputan. Sebagaimana bondol lain, jenis ini membentuk kelompok besar selama musim panen padi. Namun akan berpencar, berpasangan saat musim kawin tiba.
Baca: Nasib Bondol Hari Ini…
Bila kita tidak jeli, penampakan bondol haji sekilas sama dengan bondol oto-hitam [Lonchura ferruginosa]. Sama-sama berkepala putih dengan ukuran tubuh 11 sentimeter, kedua jenis ini juga memiliki kebiasaan berbaur dengan jenis bondol lainnya.
Perbedaan utamanya adalah seluruh kepala dan tenggorokan bondol haji warnanya coklat. Sedangkan bondol oto-hitam kepalanya putih dengan dagu dan tenggorokan hitam. Paruhnya abu-abu biru dan kakinya biru muda.
Baca: Gelatik, Sempurnanya Gerakan Burung Pada Pesawat Udara
Lalu, kenapa bondol haji yang masuk Suku Estrildidae ini mulai jarang datang ke pekarangan atau lingkungan sekitar kita?
Hanom Bashari, pemerhati burung liar, punya jawaban. Menurut Hanom, bisa saja jenis ini kalah bersaing dengan jenis lainnya. Bila kita lihat menyeluruh, habitat dan ekosistem yang disenanginya itu hampir sama dengan semua jenis bondol. Belum lagi ditambah hadirnya burung-gereja erasia.
“Akibatnya, bila ada yang mendominasi di areal tersebut, yang lainnya akan menyingkir,” terangnya, Kamis [09/4/2020].
Baca: 7 Karya Mengagumkan yang “Lahir” karena Burung
Biasanya, burung-gereja erasia terlalu mendominasi di suatu tempat. Dengan begitu, prinsip seleksi alam akan terjadi. Artinya, bondol haji harus beradaptasi dengan kondisi yang ada, atau harus mencari wilayah lain sebagai ruang hidupnya.
“Bondol haji dan bondol lainnya itu sama-sama menyukai permukiman hijau, kebun, sawah, dan padang,” jelasnya.
Hal mendasar yang membedakan bondol haji dan jenis bondol lain dengan burung-gereja erasia adalah Passer montanus ini tidak takut manusia. Mau makan sisa-sisa makanan kita. “Sementara bondol tidak, sensitif akan kehadiran manusia. Di suatu tempat yang kita datangi, seperti di Kebun Raya Bogor, jenis bondol yang mendominasi juga berbeda,” papar Hanom.
Baca: Merpati Batu, Burung Dara yang Mendunia
Dampak positif work from home
Profesor Johan Iskandar, Guru Besar Etnobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, Universitas Padjadjaran [Unpad] menjabarkan bahwa sesungguhnya lingkungan asri dapat kita ciptakan. Bukan hanya itu, kehadiran bondol jawa, bondol haji, dan jenis lainnya dapat kita undang ke pekarangan, taman, dan ruang hijau lainnya.
Caranya? Kita menanam pohon yang digemari burung. Pohon itu fungsinya banyak, mulai dari menghasilkan oksigen, menyerap gas racun CO2, membantu meresapkan air hujan ke tanah, menciptakan keindahan, hingga sebagai habitatnya burung liar.
“Tapi, semua ini bisa kita lakukan bila masyarakatnya kompak, memiliki modal sosial tinggi, mau gotong-royong, saling percaya serta membantu,” paparnya, Jumat [10/4/2020].
Baca juga: Jumlah Jenis dan Risiko Kepunahan Burung di Indonesia Meningkat
Pohon apa yang digemari burung? Bisa saja ficus, termasuk beringin dan kiara, serta tanaman lain seperti salam, buni, dan harendong yang digemari burung pemakan buah. Tentu saja pohon yang ditanam disesuaikan lokasi dan ketersediaan lahan.
Untuk aneka bunga, kembang sepatu, bunga lentera, dan flamboyan sangat disenangi burung pengisap madu serta pemakan serangga.
“Jenis-jenis palem, pada karangan bunga dan pelepah daunnya begitu digemari burung bondol dan kutilang untuk bersarang,” urai Johan.
Sebagai indikator alami kualitas lingkungan, semakin banyak jenis burung yang datang menunjukkan lingkungan kita semakin sehat. Mengapa? Burung dapat berfungsi sebagai “early warning” atau pengingat dini terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan. Contoh, maraknya pencemaran pestisida membuat burung-burung pemangsa tak mau lagi datang.
“Kualitas lingkungan yang membaik diindikasikan dengan meningkatnya keanekaragaman jenis burung. Dengan catatan, tentunya tidak banyak perburuan liar,” jelasnya.
Johan menjelaskan, belakangan ini, dengan aktivitas work from home yang kita lakukan, sebagai imbas merebaknya virus corona [COVID-19], lingkungan kita terlihat lebih segar dan kicau burung makin sering terdengar. Pencemaran udara yang menurun tentunya sangat baik untuk kesehatan manusia dan juga kehidupan burung dan satwa liar lainnya.
Namun, terjadinya perubahan perilaku manusia ini akibat paksaan. Bukan karena kesadaran. “Maka, bila COVID-19 reda dan perilaku buruk manusia kembali berulang, tentu saja kehidupan burung di alam kembali terancam. Burung-burung akan pergi dari kehidupan kita, karena terancam jiwanya. Termasuk, bondol haji,” tegasnya.