Mongabay.co.id

Melihat Sakralnya Pohon Air Mata Siwa dan Hutan Pura Sahab

 

Sebuah pohon menjulang tinggi lebih dari 15 meter di depan halaman Pura Puser Sahab, Desa Batumadeg, Pulau Nusa Penida, Bali. Batangnya lurus berdiameter lebih dari 50 cm. Di tanah sekitarnya ratusan bijinya berserakan karena sudah cukup tua.

Inilah yang disebut biji Genitri atau Jenitri, di India dikenal dengan istilah Rudraksha yang berarti Mata Dewa Siwa. Indonesia disebut salah satu eksportir biji-bijian yang dijadikan sarana ibadah atau kegiatan spritualitas ini. Tak hanya umat Hindu, juga Nasrani, dan keyakinan lainnya dengan istilah beragam seperti tasbih dan rosario.

Bijinya nampak kuat tapi ringan, dengan tekstur berulir seperti ukiran. Karena mitos tercitra dari air mata Dewa Siwa, pohon ini disakralkan. Namun juga berkhasiat untuk pemulihan sejumlah penyakit.

Faktanya pohon ini sangat tinggi dan rindang, produsen oksigen yang melimpah. Itulah obat untuk setiap mahluk yang bernafas. Sejumlah warga sekitar pura meyakini kesakralan pohon ini dan memanfaatkan biji-bijinya yang jatuh ke tanah untuk dironce jadi gelang atau kalung. Penghasilan dari penjualannya didonasikan ke pura.

baca : ‘Bom’ Benih, Cara Unik Hijaukan Nusa Penida

 

Pohon Genitri di halaman depan Pura Sahab, Nusa Penida, Bali ini nampak menonjol karena paling tinggi di antara lainnya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Tak sulit meroncenya, semua biji dibiarkan dengan warna alaminya, coklat gelap. Bagian tengahnya dibor, lalu dijalin dengan benang. Dua pengayah (relawan) Pura Sahab nampak sedang mengebor tiap biji untuk diberikan pada warga yang hendak menyumbang (dana punia) ke pura. “Silakan pilih gelangnya. Kalau mandi dibuka dulu biar tak mudah kotor,” ujar seorang bapak yang cekatan membawakan aneka gelang.

Tanaman dengan nama latin Elaeocarpus serratus L. mempunyai banyak nama sinonim. Dalam bahasa Inggris, Ganitri dikenal sebagai Rudraksa atau Ceylon-olive. Sedangkan di Indonesia dikenal sebagai Ganditri atau Jenitri juga dikenal sebagai Jenitri atau Klitri (Madura), Sambung Susu (Jawa), Biji Mala (Bali), dan Biji Sima (Sulawesi).

Dikutip dari website UI,  secara morfologi, batang pohon dapat mencapai 25-30 meter (di India) dengan batang tegak dan bulat berwarna cokelat. Sepanjang tepi daunnya bergerigi dan meruncing di bagian ujung. Umur 4 tahun mencapai tinggi 4 meter.

Tangkai bunga sekitar 0,5 cm, daun kelopak bulat telur memanjang, runcing, hijau pucat atau kemerahan. Biji-biji ganitri disebut keras dan awet, bisa bertahan 8 generasi.

Komposisi fisika ganitri disebut memiliki nilai spesifik gravitasi sebesar 1,2 dengan pH 4,48 (riset Institut Teknologi India). Daya elektromagnetik sebesar 10.000 gauss pada keseimbangan Faraday, hasil konduksi elektron alkalin. Gara-gara itulah ganitri dipercaya mengontrol tekanan darah, stres, serta berbagai penyakit mental. Ganitri juga dipercaya menyembuhkan epilepsi, asma, hipertensi, radang sendi, dan penyakit hati. Ia berguna saat dikalungkan di leher ataupun diminum air rebusan.

Manfaatnya bagi lingkungan adalah menurunkan tingkat pencemaran atau pengisap polutan (Dwiarum Setyoningtyas dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung). Ia membandingkan konsentrasi gas sulfur oksida, nitrogen oksida, dan karbon monoksida dalam kotak kaca berisi tumbuhan ganatri dengan kotak tanpa tumbuhan. Ke dalam kedua kotak kaca diembuskan emisi gas buang dari hasil pembakaran tiga jenis bahan bakar yang memiliki kandungan biodiesel yang berbeda. Yaitu 10% biodiesel (B-10), 5% biodiesel (B-5), dan 0% biodiesel (B-0) sebagai pembanding.

Hasilnya, tingkat pencemaran dari ketiga jenis emisi bahan bakar dalam kotak kaca berisi ganitri tercatat lebih rendah. Karena itu, pohon ini direkomendasikan sebagai tanaman penghijauan hutan kota. Juga bisa jadi sumber makanan beragam binatang.

baca juga : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Biji-biji pohon Genitri atau dikenal sebagai air mata Siwa ini dironce jadi gelang atau kalung, juga bisa jadi rosario dan tasbih. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dari sejumlah referensi, banyak yang meneliti khasiat pohon ini, secara kimia, fisikia, dan kesehatan. Sementara dari sisi ekonomi, nilai pohon ini juga tinggi. Harga bibit antara Rp 50-100 ribu sesuai varietasnya. Kualitas biji tergantung varietasnya.

Penilaian kualitas biji dinilai dari ukuran dan banyaknya mukhi 1-21. Mukhi adalah belah duriannya yg tampak pada biji). Biji dikelompokkan dalam beberapa nomor.

I Ketut Sutama, Ketua Kelompok Tani Saren II yang juga pimpinan pengelola Pura Sahab mengatakan pohon Genitri yang tumbuh di sekeliling hutan pura adalah anugerah karena banyak yang berusaha menanam bibitnya di tempat lain namun tak berhasil. “Tidak tahu siapa yang nanam dulu di sini. Setelah tahu fungsi lingkungan dan spiritualitasnya baru dilindungi,” ujarnya ditemui pada Selasa (4/2/2020).

Aturan pura dalam perlindungan pohon ini adalah tidak boleh menebang, kecuali tumbang secara alami. Biji yang dimanfaatkan hanya yang jatuh ke tanah.

Warga sekitar juga banyak yang meyakini khasiatnya untuk kesehatan seperti pengobatan dan pemulihan sejumlah penyakit seperti asma, demam, melancarkan darah, dan lainnya. Buah dan dedaunan yang jatuh direbus untuk diminum sarinya.

Hal unik lain dari pengalamannya, batang yang roboh pernah digunakan untuk membuat kerangka rumah. Namun cepat borok atau hancur. Beda jika digunakan sebagai kerangka pura, kayunya awet sampai puluhan tahun.

Ia berkomitmen untuk meningkatkan upaya perlindungan pohon Genitri ini. Cara lain adalah rencana pengelola pura untuk menata sekitar pohon sebagai taman meditasi atau semedi. Ini menurutnya bisa jadi bagian dari ekowisata hutan sekitar pura.

menarik dibaca : Ritual Merehatkan Laut di Perairan Nusa Penida

 

Pura Sahab di Pulau Nusa Penida ini bisa diakses setelah menyebernag dengan speedboat selama 45 menit dari Sanur, kemudian berkendara sekitar 1,5 jam ke arah Timur pulau. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah relawan Kelompok Wisanggeni sedang mendampingi pengelola pura dan warga sekitar untuk menghijaukan kembali hutan. Ini adalah program kolaborasi bersama Yayasan Wisnu, didukung GEF/SGP. Idenya adalah hutan gumi banten yang menyediakan sarana tumbuhan yang jadi bagian dari ritual. Selain Genitri adalah kelapa gading, intaran, mahoni, gaharu, cendana, dan lainnya.

Selain itu juga ada kluster buah untuk ketersediaan pangan warga sekitar dan monyet yang banyak mukim di desa ini. Saat ini monyet ekor panjang dinilai sebagai hama, diusir karena merusak tanaman jagung, ketela, dan lainnya.

Kluster lainnya adalah sayuran dan bunga, terlihat ditanam di halaman depan Pura Sahab. Sayur okra terlihat menggantung lebat siap dipanen. Beberapa warga terlihat tertarik menanam sendiri dengan minta buah yang tua. “Warga tidak percaya saat musim kemarau bisa panen sayur,” seru Ning, salah satu pegiat Wisanggeni. Mereka juga mengajak membuat pestisida dan pupuk alami agar demplot sayur dan bunga sekitar pura bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.

Luas lahan pura sekitar 11 hektar ini diharapkan kembali lebat dengan aneka ragam pohon umur panjang yang jadi peneduh sekaligus paru-paru desa. Patok-patok dengan tali plastik terlihat dibentangkan sebagai pola tanam ratusan bibit tambahan.

 

Exit mobile version