Mongabay.co.id

Hadapi COVID-19, Masyarakat Adat Banua Lemo Karantina Wilayah hingga Jaga Stok Pangan

 

Wabah virus Corona yang dikenal juga dengan sebutan COVID-19 telah menjadi wabah berskala global. Hampir semua negara telah terpapar virus ini. Baik yang tinggal di perkotaan ataupun pedesaan. Tak terkecuali masyarakat adat di Nusantara yang jumlah ribuan komunitas.

Masyarakat adat dengan berbagai kearifannya memiliki beragam cara menghadapi wabah ini. Salah satunya bisa ditemui di masyarakat adat Banua Lemo, yang berada di Desa Bonelemo, Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Baso’ Gandangsura, Kepala Desa Bonelemo, menyatakan bahwa menghadapi wabah Corona ini mereka telah melakukan berbagai upaya pencegahan berdasarkan kearifan lokal setempat.

Salah satunya dengan melakukan karantina wilayah dengan cara menutup sementara akses masuk kampung dan membentuk Kampung Siaga COVID-19 yang beranggotakan pemuda-pemudi dan ibu-ibu PKK Desa Bonelemo.

“Ini juga adalah tindak lanjut dari Sekjen AMAN agar setiap komunitas melakukan karantina wilayah di komunitasnya masing-masing,” ungkap Baso’, Kamis (9/4/2020).

baca : Ritual Tolak Bala Corona di Sikka, Seperti Apa?

 

Warga komunitas Banua Lemo di Desa Bonelemo, Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan membuat bilik sterilisasi untuk warga atau pendatang yang masuk ke dalam desa. Foto: Baso’ Gandangsura/Mongabay Indonesia.

 

Di setiap portal pembatas ada petugas dari Kampung Siaga COVID-19 yang ditugaskan untuk mengecek mobilitas masuk warga, juga mengecek warga desa yang baru pulang merantau dari luar daerah.

Tidak hanya membangun bilik sterilisasi, warga juga membuat cairan disinfektan alami berbahan daun sirih dan jeruk nipis.

Baso’ mengakui kalau cara ini adalah pengetahuan yang diajarkan oleh leluhur secara turun-temurun yang dimodifikasi dengan bahan-bahan berasal dari lingkungan sekitar.

“Sebenarnya ada banyak macam tanaman yang biasa digunakan, namun sirih dan jeruk nipis ini yang relevan dengan kondisi sekarang, disesuaikan dengan anjuran pengobatan medis yang ada,” tambahnya.

Menurut Baso, dalam masyarakat adat Banua Lemo pengobatan dilakukan dengan cara diasapi atau dengan penguapan cairan berbahan dasar daun sirih dan jeruk nipis. Penguapan dengan daun sirih selain untuk penyakit tertentu, juga digunakan bagi perempuan yang akan menikah dengan tujuan penyucian diri.

Metode pengasapan biasa dilakukan pada orang yang tiba-tiba mengalami gatal-gatal. Orang tersebut akan didudukkan di atas kursi lalu yang di bawahnya terdapat potongan rotan yang dibakar. Setelah cukup, api tersebut dimatikan lalu badan ditutup menggunakan sarung selama beberapa menit.

“Sejak dulu, leluhur kami telah mengenal pengobatan alami dengan penguapan cairan dan pengasapan, yang saat ini bisa digunakan sebagai bahan untuk membasmi kuman dan penyakit atau sebagai disinfektan alami. Tradisi ini turun-temurun diajarkan dan berguna bagi kami untuk melindungi diri dari ancaman wabah virus,” katanya.

Menurut Baso’, pengobatan dengan menggunakan beragam bahan alami ini telah ada sejak dulu. Cuma di zaman dulu penyakit selalu dikaitkan dengan yang gaib-gaib, sesuatu yang tak terlihat.

“Mungkin saja dulu penyebab penyakit adalah virus, cuma dianggap sebagai hal yang gaib karena tak terlihat. Obat-obatan yang dulu mereka gunakan bisa juga kita gunakan untuk konteks sekarang,” tambahnya.

baca juga : Penggunaan Tepat, Disinfektan Alami Ampuh Tangkal Virus Corona

 

Ibu-ibu warga komunitas membuat disinfektan lama berbahan daun sirih dan jeruk nipis, bahan yang biasa mereka gunakan untuk pengobatan. Foto: Baso’ Gandangsura/Mongabay Indonesia.

 

Keberadaan pengobatan tradisional ini dinilai Baso’ telah sangat efektif melindungi warga tanpa harus bergantung dengan bantuan kesehatan dan alat pelindung diri (APD) dari pemerintah yang terbatas.

“Dari tradisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat adat adalah benteng pertahanan terakhir dari serangan wabah virus yang masif. Pengetahuan tersebut juga menjadi bukti bahwa tradisi dan pengobatan leluhur sebetulnya adalah alat perang yang dapat kita gunakan untuk melawan pandemik,” tambahnya.

Menurut Baso’, masyarakat Banua Lemo sendiri telah memiliki pengalaman dalam menghadapi wabah, sehingga menghadapi wabah COVID-19 ini mereka lebih siap.

“Kalau mendengar cerita-cerita orang tua, dulu pernah beberapa kali terjadi wabah di kampung, seperti cacar dan berbagai penyakit menular lainnya. Setelah kita diskusi dengan tokoh-tokoh adat akhirnya kita bisa temukan jenis-jenis tanaman obat apa yang cocok kita gunakan menghadapi Corona ini.”

Menurut Baso’, menghadapi penyakit COVID-19 ini, hal yang tak kalah pentingnya dilakukan adalah memastikan pasokan pangan terpenuhi.

Beragam jenis varietas tumbuhan pangan dan pengetahuan tradisional mengenai beragam jenis pangan hanya dapat dipertahankan jika wilayah adat tetap ada, tidak dirampas dan tidak diubah.

“Bangsa ini kini bergantung dengan masyarakat adat yang tetap menjaga wilayah adatnya sebagai sumber bahan pangan di tengah serangan pandemik,” katanya.

Untuk memastikan ketersediaan pangan desa dan komunitas, warga Banua Lemo membuat kebun jagung seluas 10 hektare. Selain jagung, jenis pangan lainnya yang disiapkan adalah sagu yang juga merupakan sumber pangan pokok di Luwu.

“Kini anak-anak muda dan ibu-ibu PKK sedang rajin menjemur sagu untuk menghadapi krisis pangan yang mungkin akan terjadi,” tambahnya.

menarik dibaca : Pandemi COVID-19, Peringatan untuk Manusia Hidup Berdampingan dengan Satwa Liar

 

Warga menjemur sagu sagu yang merupakan stok pangan antisipasi dampak jangka panjang COVID-19. Mereka juga menanam jagun di lahan seluas 10 ha yang lahannya disiapkan secara sukarela oleh warga. Foto: Baso’ Gandangsura/Mongabay Indonesia.

 

Kesiapan Menghadapi Krisis

Dalam menghadapi situasi tidak normal, masyarakat adat Banua Lemo menggelar pertemuan dengan para pemuka adat untuk menentukan langkah yang akan dilakukan selama masa pandemi berlangsung.

Demikian juga halnya dengan pembagian peran masing-masing. Misalnya yang bertanggung jawab membuat daun sirih, jeruk nipis, pemenuhan kayu bakar hingga pembagian tugas jaga kampung.

“Semua terbagi sesuai tugasnya masing-masing dan dilaksanakan dengan baik.”

Menurutnya, saat banyak pihak baru mau menyusun langkah penanganan krisis, justru masyarakat Banua Lemo sudah melakukannya jauh-jauh hari.

“Salah satu hal yang sangat menggugah jiwa saya sebagai Kepala Desa adalah saat sedang di masjid menyampaikan ke khalayak warga bahwa kita butuh membuka kebun jagung minimal 10 hektar untuk pemenuhan pangan warga selama masa krisis dan tak ada yang menolak,” ujar Baso’.

Baso’ menilai masyarakat adat harus dapat menunjukkan diri sebagai tempat berlindung paling aman di tengah masifnya penyebaran pandemi COVID-19.

“Kita juga dapat membuktikan bahwa masyarakat adat mampu bertahan menghadapi krisis yang disebabkan oleh wabah virus. Pangan dan obat-obatan tradisional yang bersumber dari wilayah adat kita masing-masing dapat menghidupi saudara kita di kota yang hari ini sedang diterpa keadaan serba terbatas,” jelasnya.

 

Seruan Sekjen AMAN

Terkait COVID-19 ini, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengeluarkan instruksi ke anggota komunitas di seluruh Indonesia pada 19 Maret 2020 lalu.

Beberapa poin penting dalam seruan tersebut adalah menghimbau komunitas untuk memastikan pelaksanaan musyawarah adat di masing-masing dan melakukan lockdown atau menutup sementara akses keluar masuk komunitas sampai situasi pandemi berakhir.

Rukka juga menginstruksikan seluruh komunitas melakukan ritual-ritual adat tolak bala sesuai adat istiadat yang berlaku di tempat masing-masing, memohon kepada Tuhan dan Para Leluhur agar dijauhkan dari bencana di wilayah adat maupun di seluruh wilayah Nusantara.

Instruksi lainnya adalah agar seluruh komunitas mengumpulkan para tabib atau dukun di komunitas untuk mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan pencegahan atau penyembuhan wabah COVID-19 melalui ramuan-ramuan atau pengobatan secara tradisional sesuai kearifan lokal di komunitas.

Komunitas juga diminta melakukan ronda kampung untuk mendeteksi warga adat yang mengalami tanda-tanda atau gejala COVID-19 dan memastikan stok pangan, air bersih dan obat-obatan tradisional di wilayah-wilayah adat masing-masing.

“Sebagai bagian dari warga dunia dan warga Indonesia, kita harus bersama-sama bersolidaritas dan saling menjaga keselamatan, baik keselamatan kita sendiri, anak-anak kita dan orang lain. Dengan melakukan upaya-upaya di atas, kita dapat berkontribusi mencegah penyebaran COVID-19 yang lebih luas,” katanya.

 

Exit mobile version