Mongabay.co.id

Pemusnahan Kelelawar dan Salah Arah Kebijakan Saat Pandemi Corona

Pemerintah Kota (Pemkot) Solo memusnahkan ratusan kelelawar jenis kalong dan codot di Pasar Binatang Peliharaan Depok, Solo, Jawa Tengah. Mamalia terbang itu dikhawatirkan menjadi binatang pembawa virus corona. Begitu sebuah peristiwa di Kota Solo, dilansir dari CNN Indonesia (14/3/2020).

Pemusnahan ratusan kelelawar tersebut dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah dengan cara dibakar. Setidaknya ada 193 kalong dan codot yang dimusnahkan di lahan kosong di Utara Pasar Depok. Sebelum dimusnahkan, kalong dan codot itu dibius hingga tidak sadar.

Perhatian khalayak terhadap kelelawar sebagai muasal virus corona (SARS-CoV-2) ini terjadi paling tidak sejak penelitian genom The proximal origin of SARS-CoV-2 yang diterbitkan Jurnal Nature Medicine pada 17 Maret 2020.

Baca juga: 10 Kelelawar Paling Unik di Dunia, Bagaimana Wujudnya?

Peneltian itu mengungkap bahwa RaTG13 yang diambil dari sampel kotoran Rhinolophus affinis bat1 (Rhinolophus affinis atau kelelawar ladam menengah, adalah spesies kelelawar keluarga Rhinolophidae yang tersebar luas di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Tiongkok) yang 96% identik secara keseluruhan dengan SARS-CoV-2.

Namun para peneliti memberikan catatan, lonjakan menyimpang dalam domain pengikat reseptor, menunjukkan bahwa itu mungkin tidak mengikat secara efisien ke enzim pengubah angiotensin yang menjadi pintu masuk bagi virus ke tubuh manusia.

 

Ribuan kelelawar rehat siang di Goa Lawah sedalam sekitar 30-50 meter di kaki bukit kawasan perbatasan Klungkung-Karangasem, Bali. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Peneliti masih belum bisa menyimpulkan bagaimana mekanisme pasti SARS-CoV-2 melakukan mutasinya ke manusia. Teori tentang asal-usul SARS-CoV-2  sejauh ini baru bisa dijelaskan dalam dua skenario.

Pertama, bahwa virus membuat lompatan dari hewan (kelelawar) ke manusia di pasar satwa liar Wuhan, China, pada akhir 2019. Skenario ini bernama seleksi alam pada inang hewan sebelum transfer zoonosis (Natural selection in an animal host before zoonotic transfer).

Skenario kedua disebut seleksi alam pada manusia setelah transfer zoonosis (Natural selection in humans following zoonotic transfer). Ada kemungkinan bahwa nenek moyang SARS-CoV-2 melompat ke manusia, memperoleh fitur genom melalui adaptasi selama transmisi yang tidak terdeteksi kemudian menghasilkan penularan dari manusia ke manusia selama periode yang panjang.

Namun meskipun soal itu belum tuntas dijawab, tindakan-tindakan pembasmian kelelawar telah diambil oleh sejumlah pihak.

Khusus di Indonesia, selain kasus di Kota Solo, Bupati Subang juga mengeluarkan surat edaran yang berisi sejumlah instruksi pencegahan penyebaran COVID-19, selain meliburkan sekolah dan mengundur perayaaan HUT Kabupaten, dalam edaran tersebut, warga juga diminta memusnakan kelelawar di lingkungan sekitar (JabarNews.com, 20/3/2020).

 

Kebijakan Salah Arah

Tindakan-tindakan seperti inilah yang –menurut Peter Alagona, Profesor Ilmu Lingkungan dari Universitas California— salah arah. Kita perlu mengenal lebih jauh tentang kelelawar sebelum menyalahkannya atas pandemi yang kini terjadi (The Conversation, 24/3/2020).

Kelelawar pada dasarnya bukanlah hewan yang agresif. Koloni kelelawar cenderung menghindari manusia. Mereka mencari makan di malam hari dan tinggal di gua-gua gelap yang jauh dari jangkauan manusia.

Keistimewaan kelelawar adalah merupakan satu-satunya mamalia tersisa yang bisa terbang dan satu-satunya mamalia yang mempunyai kemampuan ekolokasi. Kelelawar dinilai sebagai “spesies kunci” yang penting untuk beberapa ekosistem tropis dan gurun.

Baca juga: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

Tanpa penyerbukan kelelawar dan layanan penyebaran benih, ekosistem lokal dapat secara bertahap runtuh karena tanaman gagal menyediakan makanan dan penutup untuk spesies satwa liar di dekat pangkal rantai makanan.

Sebagai contoh, tahukan Anda tentang pohon yang sangat langka dan unik yang disebut Baobab?

Bentuk batangnya besar seperti drum, tinggi menjulang, mengecil drastis pada dahan. Usia Baobab bisa mencapai 1.000 tahun dan keberadannya sangat penting untuk kelangsungan hidup begitu banyak spesies liar di sabana, sehingga sering disebut “Pohon Kehidupan Afrika.”

Baobab begitu tergantung secara eksklusif pada kelelawar untuk penyerbukan. Tanpa kelelawar, “Pohon Kehidupan Afrika” bisa mati, mengancam salah satu ekosistem terkaya di planet kita.

 

Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona yang harus disertai penelitian mendalam. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Dalam tulisan The evolution of bat pollination: a phylogenetic perspective yang diterbitkan Jurnal Annals of Botany (Oxford Academic, 2009) diterangkan bahwa pada habitat tropis yang sangat terfragmentasi, kelelawar nektar memainkan peran penting dalam menjaga kelangsungan genetik populasi tanaman dan karenanya memiliki nilai konservasi yang cukup besar.

Kelelawar membantu penyerbukan 528 spesies Angiospermae atau tumbuhan berbiji tertutup (memiliki biji yang dilindungi oleh daun buah serta memiliki bunga yang digunakan sebagai alat untuk perkembangbiakan).

Sebagian besar tanaman berbunga tidak dapat menghasilkan biji dan buah tanpa penyerbukan –proses memindahkan serbuk sari dari bagian jantan bunga (benang sari) ke bagian betina (putik).

Proses ini juga meningkatkan keragaman genetik tanaman yang diserbuki silang. Kelelawar yang minum nektar manis di dalam bunga mengambil serbuk sari dan memindahkannya ke bunga lain saat mereka makan.

Selain itu kelelawar juga berberan dalam pengendalian hama. Kelelawar pemakan serangga adalah predator utama serangga terbang malam, dan banyak hama yang sangat merusak ada di menu mereka.

Baca juga: Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

Menurut penelitian Bat Conservation International, jutaan kelelawar di Bracken Bat Cave, Texas, memakan banyak serangga setiap malam musim panas. Target favorit mereka di Amerika Serikat dan Meksiko adalah hama yang sangat merusak, yang disebut ngengat jagung earworm yang menyerang sejumlah tanaman komersial.

Kerusakan tanaman di seluruh dunia dari ngengat ini diperkirakan lebih dari 1 miliar USD per tahun, dan penelitian pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa kelelawar menghemat petani kapas di Texas tengah-selatan lebih dari 740.000 USD per tahun.

Di seluruh Amerika Serikat, para ilmuwan memperkirakan, kelelawar bernilai lebih dari 3,7 USD miliar per tahun dalam pengurangan kerusakan tanaman dan penggunaan pestisida. Dan itu, tentu saja, berarti lebih sedikit pestisida memasuki ekosistem.

Dari padang pasir hingga hutan hujan, kelelawar pemakan nektar adalah penyerbuk penting bagi beragam tanaman yang bernilai ekonomi dan ekologis yang besar.

Di gurun Amerika Utara, kaktus raksasa dan agave bergantung pada kelelawar untuk penyerbukan, sementara kelelawar tropis menyerbuki jumlah tanaman yang luar biasa.

Dunia adalah tempat berbahaya bagi kelelawar. Meskipun mereka menyediakan jasa lingkungan dan ekonomi yang penting, populasi kelelawar menurun di seluruh dunia, sebagian besar sebagai akibat dari aktivitas manusia.

Jumlah kelelawar semakin menipis oleh perburuan untuk perdagangan “daging semak” dan hilangnya hutan sebagai habitat mereka. Tempat kelelawar hidup dan membuat mutualisme kehidupan.

 

Kelelawar sengaja ditangkap untuk dijual dan dikonsumsi seperti yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kelelawar yang tak terhitung jumlahnya diusir dari sarang di gua-gua dan tambang yang ditinggalkan karena penambangan guano (kotoran kelelawar) atau pariwisata tanpa pertimbangan.

Selama bulan-bulan musim dingin, sejumlah besar kelelawar berhibernasi di dalam gua dan tambang. Jika terbangun dari hibernasi, seringkali karena gangguan manusia, kelelawar dapat membakar simpanan lemak yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup di musim dingin.

Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) saat ini mendaftarkan 24 spesies kelelawar sebagai Sangat Terancam Punah, yang berarti mereka menghadapi risiko kepunahan yang segera terjadi.

Lima puluh tiga lainnya Terancam Punah, dan 104 spesies kelelawar dianggap Rentan. Dari 1.296 spesies kelelawar yang telah dinilai oleh IUCN, hampir sepertiga dianggap terancam (rentan, hampir punah, atau hampir punah), yang menunjukkan perlunya perhatian konservasi yang lebih besar terhadap spesies ini.

 

* Marlis Kwan, penulis adalah peneliti di Fair Business for Environment. Artikel ini merupakan opini penulis.

 

 

Exit mobile version