- Wabah virus COVID-19 yang melanda dunia, memungkinkan krisis pangan secara global. Sebab USA dan Tiongkok sebagai kekuatan besar pangan dunia juga turut diserang virus corona [COVID-19].
- Ada enam pangan yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia dari kelangkaan yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging [berkaki empat], dan ayam.
- Upaya jangka pendek yang harus dilakukan pemerintah. Hentikan pangan sebagai bisnis; BULOG siaga nasional menyangga pangan; penyiapan pangan untuk wilayah ditutup dengan maksimal; stabilitas harga pangan.
- Saat ini Indonesia memiliki Rumah Tangga Pertanian [RTP] 26,126 juta. Agar produktif mereka dilindungi, baik asupan maupun perlindungan diri selama wabah virus COVID-19. Juga, menjamin makanan berkualitas, salah satunya dengan memotong mata rantai panjang dari petani ke konsumen.
Wabah virus corona [COVID-19] memasuki bulan ke empat. Jutaan masyarakat di dunia terserang virus tersebut, sebagian sembuh dan jumlah kematian juga cukup tinggi. Bagaimana kondisi pangan global, khususnya di Indonesia, selama maupun pasca-wabah virus COVID-19?
Percaturan pangan global dilihat dari neraca perdagangan dunia. Indeks harga pangan FAO sudah turun 1 persen mulai Februari 2020. Sepertinya, akan terus mengalami penurunan, sebab kekuatan besar pangan yang masih bertumpu pada USA dan Tiongkok terkendala wabah virus COVID-19 yang berat.
“Kalau mengikuti pernyataan beberapa petinggi negara di Eropa, Amerika dan Asia, beberapa bulan ke depan setiap negara masih memikirkan dirinya sendiri. Jadi, kalau stok pangan di dalam negeri kurang, siap-siap saja untuk gigit jari,” kata Azwar Hadi Nasution, peneliti INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], kepada Mongabay Indonesia, Senin [13/04/2020].
Bagaimana dengan Indonesia?
Dikatakan alumni S2 Bioteknologi Tanah dan Lingkungan IPB, ada enam jenis pangan yang harus menjadi perhatian Indonesia selama pandemi COVID-19, yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging [berkaki empat], dan ayam.
“Jika tidak diantisipasi, kelangkaan pertama akan datang dari beras dan bawang putih. Dampaknya akan terasa mulai Maret-April 2020 dan puncaknya adalah Agustus-September 2020. Kita masih sedikit bernafas lega saat ini, karena panen raya padi sedang dimulai,” katanya.
Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan
Upaya mencegah krisis pangan
Mengantisipasi atau mencegah kemungkinan krisis pangan selama maupun pasca-wabah COVID-19, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah dalam jangka pendek.
Pertama, hentikan pangan sebagai bisnis. Pangan adalah hak yang harus dijamin pemenuhannya. Kedua, gerakkan BULOG untuk siaga nasional penyangga pangan. Ketiga, penyiapan pangan untuk wilayah yang ditutup maksimal. Keempat, stabilitas harga pangan.
Upaya yang harus dilakukan masyarakat adalah terus pelihara solidaritas dan bangun lumbung pangan lokal. Kawal penggilingan beras di desa, segera jemur gabah untuk persiapan darurat beras, galakkan beli langsung dari petani dan komunitas petani untuk memperpendek rantai distribusi. Terus bertani secara ekologis [agroekologi] untuk menghasilkan pangan yang sehat.
Ada juga upaya jangka panjang yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, membuat visi baru pertanian Indonesia. Kedua, menghidupkan kembali lumbung pangan yang dikelola masyarakat dan desentralisasi penyediaan pangan nasional. Ketiga, bangun sistem pangan lokal yang terintegrasi dan segera siapkan skema pemotongan rantai pasok dan distribusi yang panjang.
Keempat, laksanakan amanat UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mewujudkan kawasan pertanian pangan agro ekologis dengan pengusaan lahan per RTP minimal 2 hektar, dan integrasi dari on farm – off farm. Dengan begitu, petani menikmati nilai tambah dan pangan olahan segar berkualitas.
Baca: Pemusnahan Kelelawar dan Salah Arah Kebijakan Saat Pandemi Corona
Harusnya aman
Lahan pertanian pangan yang menghidupi 91,91 juta petani hanya bertambah 2,96 persen, berbading jauh dengan lahan perkebunan yang bertambah 144 persen yang dimiliki sedikit orang. “Terjadi penurunan Rumah Tangga Pertanian [RTP] dari 31,170 juta [2003] menjadi 26,126 juta [2013]. Atau, hilangnya 5 juta RTP,” katanya.
Berdasarkan data tahun 2013, kondisi luas lahan yang dimiliki petani juga belum beranjak dari luas 0,2 hektar per RTP. Luas lahan petani berkisar 1.000 – 2.000 meter persegi. Bahkan masih sering ditemui petani dengan luas lahan 500 meter persegi.
“Rantai pasokan makanan yang aman ini sebenarnya dijamin 26,125 juta RTP tersebut, yang produksinya selama ini memberi makan warga di banyak desa dan kota. Atau, memberi makan seluruh rakyat Indonesia,” kata Azwar.
Dengan kata lain, lanjutnya, Indonesia penuh dengan produsen makanan skala kecil yang menawarkan solusi siap pakai untuk masalah-masalah yang mengkhawatirkan. Atau, memiliki makanan lokal yang sehat dan tidak bergantung pada rantai pasokan panjang yang berisiko terkena dampak drastis pandemi corona ini.
Namun, lanjutnya, dalam kebijakan pertanian atau ekonomi, pertanian yang harus fokus memberi makan populasi kita sebenarnya tunduk pada kepentingan globalisasi dan pasar internasional. Akibatnya, suplai makanan dan kedaulatan pangan dipertanyakan dan berisiko.
“Kebijakan-kebijakan ini menghancurkan ribuan pertanian kecil, yang kemudian membahayakan ketahanan pangan bagi seluruh populasi. Tidak adanya kebijakan lokal untuk menjamin ketersediaan pangan membuat sengkarut penanganan pangan bila terjadi geger nasional. Rantai pangan yang panjang, 7-8 pemangku kepentingan untuk pangan ini, semua harus sentralisasi,” terangnya.
Endah Puspitojati, peneliti pangan dari DIY Yogyakarta, menekankan perlu menanamkan optimistis dan perlindungan terhadap petani di Indonesia.
“Pemerintah harus terus menggenjot tingkat produktivitas komoditas pangan. Petani dan penyuluh pertanian sebagai garda depan pertanian harus dipastikan dan dijamin kesehatannya sehingga selalu siap terjun ke lahan,” katanya.
Dari sisi pencegahan, bagaimana meningkatkan asupan gizi para petani, tetap memakai masker saat di lahan, dan selalu membudidayakan minum jamu selama wabah COVID-19 ini.
“Saya rasa pemerintah juga memberikan perhatian yang baik bagi para petani dan penyuluh, serta selalu diberikan suntikan IPTEK bagaimana meningkatkan produktivitas,” katanya.
Baca juga: Hadapi COVID-19, Masyarakat Adat Banua Lemo Karantina Wilayah hingga Jaga Stok Pangan
Makanan berkualitas
Endah tidak begitu yakin Indonesia akan mengalami krisis pangan selama wabah corona. Sebab, aktivitas pertanian terus berjalan, didorong besarnya permintaan pasar dan adanya jaminan pemerintah.
Pentingnya makanan berkualitas harus ada selama wabah ini. “Kualitas makanan yang rendah juga menjadi faktor kurangnya kekebalan tubuh pada seseorang, sehingga rentan terkena COVID-19,” katanya.
Endah mengatakan, tidak bisa dipungkiri, selama ini food style sebagian besar masyarkat kita masih sekadar terpenuhinya rasa “kenyang” tanpa memandang makanan tersebut aman, bernutrisi atau tidak. Namun food style beberapa masyarakat sudah mulai bergeser ke pangan bernutrisi, bahkan pangan fungsional sudah menjadi tren di beberapa kalangan masyarakat.
“Mudah-mudahan, dengan kejadian ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat kita pentingnya makanan bernutrisi.”
Menurut Endah, status nutrisi sangat berperan terhadap daya tahan tubuh. Kurang gizi menyebabkan pertahanan tubuh lemah, mudah infeksi. “Jika indeks massa tubuh tinggi [kelebihan berat badan atau kegemukan] menyebabkan peradangan berlebihan, rentan infeksi seperti influenza, dan lebih berisiko komplikasi sehingga penyakit yang ditimbulkan lebih parah,” terangnya.
Baca juga: Nasib Petani, Belum Menjadi Prioritas di Negara Agraris
Azwar Hadi Nasution meragukan kualitas pangan di Indonesia. Ada beberapa hal yang memengaruhi mutu pangan di Indonesia.
Pertama, penyeragaman pangan. Yakni beras. Padahal tidak semua tanah di Indonesia dapat dijadikan sawah. Ironinya dalam menangani pangan ini, banyak pohon sagu dan tanaman lainnya yang selama ini sebagai pangan lokal, dihabisi.
Kedua, jarak pangan dari petani ke konsumen begitu panjang. Dari petani-pengepul kecil desa-pengepul besar desa-pengepul kota-distributor kota. Lalu dari distributor kota-distributor desa-warung-konsumen. “Suhu, kelembaban, dan kerentanan busuk, terkontaminasi terjadi di sini,” katanya.
Ketiga, saat ini tidak lebih dari 10 persen produsen penghasil beras organik. “Belum lagi pangan dari laut dan sungai yang tercemar,” ujarnya.
Keempat, sistem pergudangan pangan Indonesia belum mampu menjamin mutu pangan. “BULOG saja menghasilkan beras busuk, berkutu di tahun 2019. Sekelas gudang BULOG terdapat 20.000 ton mengalami penurunan mutu.”
Kelima. Kandungan polutan. “Cara membacanya sederhana saja, bila hanya 10 persen dari total produksi organik maka 90 persen produksi pangan kita berpotensi mengandung polutan,” pungkasnya.