Mongabay.co.id

Menganyam Cara Perempuan Jaga Hutan Batang Asai

 

 

 

 

Ada sarau, niru, ambung dan beragam anyaman rotan lain hasil kerajinan perempuan di Batang Asai. Bagi perempuan di Batang Asai, menganyam tak sekadar kerajinan juga melindungi hutan. Pembalakan kayu, penambangan emas ilegal terus menggerus hutan di hulu Sarolangun.

Menganyam ini merupakan tradisi lama di nusantara, termasuk di Kecamatan Batang Asai, Sarolangun, Jambi. Mayoritas warga menganyam rotan jadi sarau—tempat hasil tangkapan ikan sungai, niru—alat tampih beras, ambung—keranjang besar tempat kayu bakar dan lain-lain.

Rohana, perajin rotan di Batang Asai mengatakan, ambung dari rotan mampu menampung beban hingga 25 kg lebih. Dia bisa membuat belasan macam anyaman dari rotan.

Perempuan kulit sawo matang itu Ketua Kelompok Perempuan Tani (KWT) Kunyit Serumpun, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Batang Asai, Sarolangun. Dua tahun sudah kelompok tani ini jadi wadah belasan perempuan perajin rotan.

Hutan di Bukit Kenantan, jadi sumber penghasil rotan di Batang Asai. Kawasan ini bagian dari hutan lindung Bukit Tinjau Limau di hulu Sarolangun.

Sehari, Rohana bisa mendapatkan 10 kg rotan dari dalam hutan. Untuk mendapatkan rotan bukan perkara mudah. Rohana harus berjalan lebih tiga jam naik turun bukit.

“Makin lama makin jauh carinya, kadang harus masuk ke hutan jauh,” katanya.

Pembukaan lahan jadi musabab. Banyak hutan tergerus untuk lahan perkebunan, sawit, karet termasuk kopi yang kini mulai banyak digeluti petani. Perlahan rotan menghilangkan dan sulit. “Sekarang, banyak yang buka jadi kebun, tambah jauh carinya (rotan),” kata Rohana.

Kunyit Serumpun, bukan satu-satunya kelompok tani di Batang Asai, yang memanfaatkan sumber daya alam bukan kayu. Ada juga Kelompok Tani Paniban Baru, yang mengolah resam jadi anyaman. Resam dikenal sebagai tumbuhan invasif karena mendominasi permukaan tanah dan menghambat perkembangan tumbuhan lain. Tanaman ini banyak di hutan dan perkebunan.

Di tangan perempuan Desa Paniban Baru, resam yang dianggap hama dan harus dibasmi justru jadi barang kerajinan seperti piring, tutup gelas, tas, topi dan lain-lain.

 

Hasil anyaman rotan kelompok perempuan perajin di Batang Anai. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Lita, anggota Kelompok Tani Paniban Baru mulai kesulitan mendapatkan resam sebagai bahan anyaman. Pembukaan untuk perkebunan menggerus hutan di Bukit Tua. “Kalau hutan di belakang rumah sekarang agak jauh dapatnya. Soalnya, yang bisa dipakai itu resam muda, kalau tua gampang patah kalau dianyam.”

Para perempuan ini ingin menunjukkan pada warga lain, hutan memberikan manfaat lebih kalau terus terjaga lestari. Meskipun, katanya, hasil anyaman belum mampu mencukupi keperluan ekonomi mereka.

“Kalau hutan habis, ya habis juga (rotan) gak ada lagi yang bisa dibuat,” kata Rohana.

Misriadi, Kepala KPHP Unit VII Limau mengatakan, hutan lindung Bukit Tinjau Limau, di Kecamatan Batang Asai bagian penting untuk 13 warga desa sekitar, mulai Desa Batin, Rantau Panjang, Paniban Baru, hingga Napal Melintang. Hutan seluas 57.600 hektar di hulu Sarolangun itu sumber penghasil madu sialang, beragam jenis rotan, kepayang dan lain-lain.

Kepayang atau keluak tumbuh liar di hutan tidak hanya jadi bumbu masak, kini warga mengembangkan jadi sabun kepayang, minyak kepayang, bahkan aroma terapi. Hasil madu hutan mulai ke luar Sarolangun.

Selama ini, tambang emas ilegal dan pembalakan liar jadi ancaman serius bagi kawasan hutan di hulu Sarolangun. Banyak aktivitas ilegal di pinggiran sungai.

“Tapi belum sampai masuk ke hutan. Karena butuh banyak waktu dan biaya besar. Kita rutin operasi,” katanya.

Beberapa desa yang masih kental dengan adat budaya juga ikut menjaga hutan. “Karena banyak sekali manfaat hutan ini, jadi kalau hutan habis mereka (masyarakat adat) juga akan kehilangan manfaat.”

Hutan di Batang Asai, bukan hanya memberikan manfaat dengan hasil hutan bukan kayu, lebih dari itu. “Hutan di Batang Asai itu sumber air yang sangat krusial bagi masyarakat. Untuk kehidupan sehari-hari, pengairan sawah, sumber listrik mikro hidro, semua butuh air. Itu (hutan) harus dijaga,” kata Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi.

Menurut dia, kerajinan anyaman perempuan di Batang Asai bisa jadi langkah untuk menyadarkan masyarakat betapa penting menjaga hutan. “Kalau masyarakat bisa mendapatkan manfaat hutan langsung, itu akan membuat mereka lebih peduli untuk menyelamatkan hutan.”

Rudi khawatir, tambang emas ilegal tak kunjung berhenti di Batang Asai cepat atau lambat menghancurkan hutan. “Kalau dulu tambang ilegal itu hanya di sungai-sungai besar, sekarang masuk ke anak sungai. Mereka bukan lagi gunakan dulang tradisional, tapi alat berat.”

Data KKI Warsi pada 2017, kerusakan alam dampak tambang emas ilegal di Sarolangun mencapai 13.762 hektar. Jumlah ini meningkat 100% dibanding data 2016. Aktivitas tambang ilegal di Batang Asai, tercatat menyumbang kerusakan hutan di Sarolangun.

Rudi bilang, peran perempuan di Batang Asai, sangat penting dalam menjaga hutan. “Kalau bahan baku anyaman itu hilang, bagaimana mereka akan bisa menganyam? Mereka harus melindungi hutan dan menjaga kelestarian alam.”

 

 

 Rohana, Ketua Kelompok Perempuan Tani (KWT) Kunyit Serumpun, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Batang Asai, Sarolangun. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version