Mongabay.co.id

Para Perempuan Desa Penyulap Sampah Anorganik Jadi Pernik-pernik

 

Ketika ada kunjungan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar ke desa wisata di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) pada 10 Maret silam, banyak kerajinan yang ditampilkan. Berbagai macam inovasi sengaja digelar untuk menunjukkan hasil kreativitas masyarakat Purbalingga, baik perajin, kalangan muda, hingga para ibu di desa.

Yang cukup menyedot perhatian Menteri adalah pameran kerajinan yang terbuat dari berbagai macam limbah anorganik. Ada kursi dari bekas botol yang diisi sampah plastik atau ecobricks, kemudian di bawahnya ada karpet dan tikar yang terbuat dari anyaman berkas bungkus kopi dan mi instan, tempat minuman dari bekas botol minuman, dan lainnya.

Sejumlah ibu yang menunggu tempat pameran adalah para pengelola bank sampah di desanya masing-masing. Mereka menerangkan secara rinci kepada Mendes PDTT terkit dengan pembuatan kerajinan yang memanfaatkan sampah anroganik tersebut.

Salah satu pengelola yang ikut pameran adalah Raden Roro Hendarti yang konsisten dalam gerakan limbah pustaka di Desa Muntang, Kecamatan Kemangkon. Sudah sejak tahun 2016 silam, ia mengeksekusi ide limbah pustaka yakni mengumpulkan sampah dengan imbalan membaca buku. “Pada saat Pak Menteri berkunjung ke tempat pameran, kami bersama dengan para ibu yang mengembangkan bank sampah di daerah lainnya menceritakan proses pembuatan serta berbagai kerajinan yang ditampilkan berbahan baku sampah anorganik,” jelas Hendarti kepada Mongabay pada Kamis (9/4).

baca : Awalnya Dicibir, Inilah Hi Trash, Aplikasi Antar Jemput Sampah Ciptaan Mahasiswa

 

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar sewaktu kunjungan ke desa wisata di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah dan melihat pameran. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia mengatakan pada waktu diminta ikut pameran, dirinya hanya mengundang beberapa bank sampah di Purbalingga, karena waktunya mendadak. “Makanya yang diajak adalah bank sampah yang sudah mampu berproduksi. Padahal sekarang di Purbalingga, sudah mulai cukup banyak bank sampah, terutama di desa-desa. Umumnya yang mengerjakan adalah para ibu,”ungkapnya.

Khusus di Desa Muntang, kata Hendarti, yang juga Ketua bank sampah Sahabatku, mengatakan bahwa saat sekarang anggota yang ikut kegiatan bank sampah sebanyak 250 dari 450 rumah keluarga yang ada di desa setempat. “Setiap anggota yang ikut bank sampah Sahabatku setor sampah anorganik. Tetapi biasanya, tidak dilakukan setiap hari. Sebab, mereka harus mengumpulkan terlebih dahulu, baru nanti disetorkan,”ujarnya.

Dia mengatakan setiap bulannya, dari 250 keluarga yang mengumpulkan sampah anorganik, terutama plastik, totalnya mencapai 1 kuintal. “Dari jumlah tersebut, nantinya akan dipilah-pilah, mana yang dapat dipakai untuk pembuatan berbagai pernik-pernik atau hiasan dan mana yang tidak. Kalau tidak bisa menjadi bahan kerajinan, maka akan dikumpulkan dan nantinya ada yang mengambil. Tetapi untuk bahan-bahan anorganik yang bisa dipakai, maka akan diproses menjadi kerajinan oleh para ibu-ibu di Muntang sini,”kata dia.

baca juga : Pujo Bae, Mesin Pemilah Canggih untuk Solusi Sampah, Efektifkah?

 

Ecobricks dan tikar dari bahan sampah anorganik. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ia mengatakan dengan bahan sampah anorganik, sejumlah ibu yang bekerja di bank sampah bernama Sampah Sahabatku membuat berbagai macam kerajinan. “Kerajinan yang kami buat sementara ini adalah ada tas, vas bunga, gantungan kunci sampai ecobricks. Belum terlalu besar memang, baru sekitar Rp500 ribu per bulan. Sedangkan untuk sampah plastik residu dijual sekitar Rp150 ribu,” katanya.

Meski tidak besar, namun kegiatan itu akan terus dilakukan, karena pada dasarnya tujuan utamanya adalah memanfaatkan sampah agar berguna. “Makanya, kami menamakan bank sampah kami dengan ‘Sampah Sahabatku’. Karena dari sampah tersebut bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih berguna,” ujarnya.

Hendarti mengatakan bahwa meski belum berjejaring, tetapi dirinya menjalin komunikasi dengan para pegiat bank sampah lainnya di Purbalingga. “Di Purbalingga, ada yang mirip dengan di Desa Muntang, seperti di Desa Sempor Lor, Kecamatan Kaligondang atau Desa Karangpule, Kecamatan Padamara. Bahan bakunya sama-sama dari bekas bungkus makanan atau minuman, hanya produknya saja yang berbeda,”katanya.

Dia mengatakan sementara ini, bank sampah di banyak tempat masih berjalan sendiri, kurang mendapat dukungan dari pemerintah desa (pemdes). Tetapi tidak semuanya juga, karena ada pemdes yang peduli sehingga bank sampah bisa maju. “Padahal, kalau bank sampah didukung dengan dana desa, maka akan lebih maju. Kami berharap, bank sampah terus didorong dan dibantu pendanaan dari dana desa, sehingga tidak berjalan sendiri,” tambahnya.

menarik dibaca : Lalat Tentara Hitam sebagai Satu Solusi Penanganan Sampah, Seperti Apa?

 

Pernik-pernik yang dihasilkan oleh bank sampah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara bank sampah “Semangate Porrr” di Desa Sempor Lor, Kecamatan Kaligondang, yang baru mulai setahun lalu, tetapi sudah mampu memproduksi berbagai macam kerajinan dari sampah anorganik. “Bank sampah yang kami bangun dikelola oleh para ibu-ibu yang tergabung dalam PKK. Bank sampah ini didirikan pada Maret 2019 silam dengan jumlah anggota sekarang sebanyak 40 orang,” kata Ketua Tim Penggerak PKK Desa Sempor Lor, Drajat Kartika Wijayanti.

Menurutnya, meski baru merintis, tetapi para ibu bersemangat untuk berkreasi dalam membuat berbagai macam jenis kerajinan. “Kami membuat sampah anorganik menjadi hiasan bunga, tas, dan tikar. Kerajinan tas dijual dengan harga Rp60 ribu hingga Rp100 ribu. Untuk kerajinan tikar yang terbuat dari berbagai macam bungkus kopi dengan ukuran 2×3 meter, misalnya, harganya dipatok Rp200 ribu. Untuk penjualannya baru dilakukan ‘getok tular’ atau dari mulut ke mulut. Karena produksi kami juga belum banyak,”katanya.

Dikatakan oleh Kartika, sebetulnya antara pembuatan dengan harganya sangat tipis labanya. Meski demikian, kegiatan pembuatan kerajinan tersebut masih akan terus dilaksanakan, karena sejatinya tujuan utamanya adalah mengelola sampah. “Salah satu yang menjadi target adalah mengedukasi warga supaya mulai memilah sampah dari rumah tangga. Sampah yang dihasilkan dari rumah tangga, bisa dipilah dan dimanfaatkan. Kalau di Sempor Lor, baru sampah anorganik saja yang dimanfaatkan. Yang penting, warga sudah belajar mengolah sampah yang memiliki nilai ekonomis,”ujarnya.

Hingga kini, lanjutnya, PKK sudah mendapatkan pemasukan dari mengolah sampah menjadi bahan kerajinan. Dalam sebulan, ada pendapatan antara Rp400 ribu hingga Rp500 ribu. “Masih sedikit, karena produk dan pemasarannya masih terbatas. Apalagi, sampah yang menjadi bahan baku merupakan sampah yang dikumpulkan dari masyarakat di sini,” tambahnya.

 

Exit mobile version