Mongabay.co.id

Pentingnya Perlindungan Nelayan NTT Saat Pandemi COVID-19, Kenapa?

 

Pandemi COVID-19 telah berdampak negatif setiap sektor kehidupan masyarakat dunia. Salah satunya nelayan tangkap dan budidaya. Produksi perikanan di Nusa Tenggara Timur (NTT) banyak yang tidak terjual. Kalau pun terjual harganya menurun dan pembeli pun berkurang.

“Sudah sejak bulan Maret pendapatan kami menurun. Pembeli berkurang drastis karena meskipun harga jual ikan turun,” tutur Syarifah, penjual ikan yang ditemui Mongabay Indonesia di TPI Alok Maumere, Senin (13/4/2020).

Syarifah mengatakan harga ikan saat musim tongkol pada Maret lalu anjlok. Tongkol berukuran jari orang dewasa dijual satu kantung plastik ukuran 5 kg seharga Rp.20 ribu bahkan bisa mencapai Rp.10 ribu menjelang siang.

“Daya beli menurun drastis apalagi masyarakat juga takut ke luar rumah. Belum lagi ada jam malam sehingga di atas jam 7 malam rumah makan tutup dan banyak rumah makan langganan saya sudah jarang memesan ikan,” tuturnya.

Sebelum wabah COVID-19, dalam Syarifah mengaku mendapatkan keuntungan Rp.300 ribu hingga Rp.500 ribu seharinya. Saat ini, maksimal keuntungan yang diperoleh hanya maksimal Rp.100 ribu.

baca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Aktifitas penjualan ikan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi sejak bulan Maret merebaknya virus Corona. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ancaman Pangan

Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Kamis (9/4/2020) mengatakan, tiga lembaga dunia di bawah PBB yakni WTO, FAO dan WHO pada Rabu (1/4/2020) memperingat COVID-19 bisa memicu potensi kekurangan pangan di seluruh dunia.

Ancaman bisa menjadi kenyataan, kata Yuven sapaannya jika pihak berwenang gagal mengelola dan mengendalikan COVID-19 dengan baik. Banyak pemerintah di seluruh dunia disebutkannya, telah melakukan lockdown atau mengunci populasi mereka untuk memperlambat penyebaran virus.

“Tetapi mereka memandang hal itu bisa mengakibatkan perlambatan perdagangan internasional dan rantai pasokan makanan,” ungkapnya.

Berbagai kebijakan jelas Yuven, sementara diambil pemerintah Indonesia untuk melawan penyebaran COVID-19 dan menanggulangi dampak yang ditimbulkan.

Dia menyebutkan berbagai langkah  mulai dari isolasi mandiri menetapkan regulasi baru berupa imbauan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta penetapan keadaan Darurat Sipil dilakukan,

“Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan begitu, APBN Tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 adalah sebesar Rp 405,1 triliun,” terangnya.

baca juga : Dampak COVID-19, Harga Ikan Tangkapan Nelayan Turun Drastis

 

Kapal nelayan tradisional sedang membongkar ikan pelagis berukuran kecil hasil pukat untuk dijual di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perlindungan Nelayan

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT tahun 2017, jumlah nelayan NTT sebanyak 79.642 orang, dengan 25.003 jumlah Rumah Tangga Perikanan. Sementara jumlah nelayan di NTT 2018 yaitu 62.583

Kartu KUSUKA berfungsi sebagai Identitas profesi Pelaku Usaha di bidang Kelautan dan Perikanan; basis data untuk memudahkan perlindungan dan pemberdayaan, pelayanan, dan pembinaan kepada pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan; dan sarana untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program Kementerian.

Kartu KUSUKA Ini merupakan Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) dan berlaku selama setahun.

Untuk NTT, tahun 2016 target 29.000 nelayan realisasi BPAN di NTT hanya 2.812 nelayan, Tahun 2017 target 15.000 realisasinya sebanyak 17.000 nelayan dan tahun 2018 target 2.827 nelayan realisasi per 13 Desember sebesar 5.966 nelayan. Target BPAN di NTT sebanyak 19.000 nelayan.

Total anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat sebesar Rp.405,1 triliun akan dialokasikan Rp.75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp.110 triliun untuk perlindungan social dan Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat.

Kemudian Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya terutama usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah.

“Pertanyaannya adalah apakah pemerintah telah melakukan pemetaan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan?,” tutur Yuven.

Yuven menanyakan,sejauh mana alokasi anggaran bagi kelompok rentan sehingga dapat memastikan bahwa himbauan melakukan isolasi mandiri bagi mereka dapat berjalan efektif terutama agar tidak berdampak pada keadaan kesehatan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari.

Secara nasional, sebutnya, nelayan dan pelaku sektor perikanan rakyat lainnya menjadi kelompok yang paling rentan terpapar pandemi COVID-19.

Ia berharap, nelayan sebagai salah satu garda terdepan dalam memerangi dampak negatif dari penyebaran COVID-19 yang memicu potensi kekurangan pangan tentunya perlu perhatian khusus.

“Dampak yang harus ditanggung oleh nelayan dan pelaku perikanan rakyat akibat penyebaran COVID-19, antara lain potensi lumpuhnya kehidupan ekonomi,” ujarnya.

Hal itu terlihat dengan menurunnya pendapatan kata Yuven  karena terputusnya rantai dagang perikanan ikan dari nelayan sebagai produsen kepada masyarakat luas sebagai konsumen.

“Nelayan di NTT pada khususnya dan Indonesia pada umumnya harus dilindungi terutama pada masa pandemi COVID-19,” tegasnya.

baca : Ini Strategi Lindungi Nelayan dan Pembudi daya Ikan dari Dampak Wabah COVID-19

 

Kapal nelayan tradisional yang sedang ditambatkan di pesisir pantai Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT usai menjual hasil tangkapan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay

 

Nelayan Tetap Bekerja

Nelayan di NTT tentunya perlu mendapatkan perhatian khusus terutama dalam masa COVID-19. Persoalan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat nelayan dilihat WALHI NTT masih menjadi fakta menyedihkan dalam perkembangan pembangunan ekonomi di NTT.

“Kendati perekonomian terus bertumbuh setiap tahun, masih ada persoalan masyarakat nelayan yang belum tuntas benar,” sebutnya.

Hal-hal yang menjadi mandat bagi pemerintah dalam memperhatikan aspek perlindungan terhadap nelayan secara jelas tertuang dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.

Yuven memaparkan strategi perlindungan tersebut, dilakukan melalui penyediaan prasarana usaha perikanan dan usaha pergaraman, kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan dan usaha pergaraman.

Selain itu tambahnya, ada jaminan kepastian usaha, jaminan resiko penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, dan pergaraman, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi serta pengendalian impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman.

“Pemerintah juga perlu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan dan fasilitasi serta bantuan hukum,” ungkapnya.

Selain kebijakan perlindungan yang tertuang di atas, lanjut Yuven, pada masa COVID-19, pemerintah wajib memberikan perhatian yang lebih dengan mengalokasikan dana khusus bagi nelayan-nelayan miskin.

Hal ini menurutnuya, dilakukan untuk menopang kehidupan sehari-hari serta memastikan keamanan nelayan-nelayan yang masih beraktifitas dari serangan COVID-19.

“Ketika kita tinggal di rumah untuk menghindari pandemi COVID-19 ada yang masih tetap bekerja untuk menyuplai sumber protein bagi kita. Mari kita bersyukur untuk keberadaan mereka dan jaga wilayah kelola mereka,” ajaknya.

 

Exit mobile version