Mongabay.co.id

Mengurangi Interaksi Manusia pada Satwa Liar untuk Pencegahan Jenis Penyakit Baru

 

Pandemi COVID-19 juga menginfeksi binatang peliharaan seperti kucing dan satwa liar di kebun binatang. Kasus ini ditemukan di Belgia dan Amerika Serikat. Bagaimana mengantisipasi untuk perlindungan satwa ini?

Habitat monyet ekor panjang di kawasan Pura Uluwatu yang disesaki sampai 8000 orang saat musim ramai ini sedang rehat. Mengikuti protokol pencegahan penularan COVID-19, sejak akhir Maret ini. Nyaris semua objek wisata termasuk pantai-pantai juga sudah membuat pengumuman larangan masuk.

Untuk melihat kondisi monyet ini, saya minta izin memasuki areal pada petugas dan pengelola Uluwatu yang terletak di tebing selatan Bali, pada 7 April 2020. Ada perasaan terintimidasi ketika ratusan monyet melihat kedatangan saya ke kawasan hutan, tempat mukim mereka dalam situasi sunyi ini.

Mereka mendadak diam dan mengarahkan tatapannya ke arah dua orang baru melangkahkan kaki beberapa meter. Pasti ada perbedaan suasana untuk lima kelompok macaca di areal hutan Pura Uluwatu, dari ribuan langkah kaki dan hutan yang pikuk manusia, kini sunyi sepi.

Seekor monyet remaja terlihat melompat membelakangi, dan kurang dari dua detik, ia sudah melompat jauh bersama kacamata saya. Ia berhasil melompat setinggi kepala manusia dan untungnya kukunya tak menggores kulit.

baca : Cegah COVID-19, Sebanyak 56 Kawasan Konservasi Ditutup Sementara, Begitu Juga Kebun Binatang Surabaya

 

Menurut pawang ada 6 kelompok monyet di kawasan Pura Uluwatu yang juga jadi daya tarik turis selain pura, tari kecak, dan pemandangan lautnya. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kedatangan manusia di tengah sunyi mungkin mengagetkan mereka. Terlebih yang belum dikenal, karena saat masa penutupan ini hanya para pawang pemberi makan yang ditemui tiap hari.

Kadek Satya, pawang yang saat itu sedang berjaga spontan meninggalkan makan siangnya untuk bantu menemukan si monyet pengambil kacamata. “Beberapa monyet kecil memang suka mengambil barang, terutama kacamata,” ujarnya. Selama sekitar satu jam Satya berkeliling sebagian areal pura seluas sekitar 11 hektar ini namun tak menemukan si monyet.

Ia mengatakan mulai ada perubahan perilaku monyet sejak penutupan obyek wisata. “Mereka bingung, lihat parkiran biasanya ramai sekarang kosong,” lanjut Satya. Pemberian makan juga berkurang, dari empat kali sehari jadi dua kali. Di dalam hutan, para monyet terlihat ada yang mengais-ngais tanah atau menemukan makanan dari hutan. Sesuatu yang mungkin jarang mereka lakukan. Dari pengamatan Satya, ada yang sudah menemukan semut dan buah mentimun liar.

Salah satu pengelola, Wayan Mosin juga mengatakan monyet ada yang agresif, salah satunya bisa jadi karena sering dapat makanan tambahan dari turis. Penghematan anggaran pun berdampak pada monyet dengan pengurangan frekuensi feeding. Penutupan areal wisata di halaman Pura Uluwatu ini juga menghilangkan pendapatan para penari kecak, atraksi populer yang selalu menarik perhatian lebih dari seribu orang tiap hari. Pengunjung membeli tiket seharga Rp100 ribu untuk pertunjukan tari Kecak dengan latar belakang sunset, tebing, dan pura Uluwatu.

Prof I Gusti Ngurah Kade Mahardika, peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana mengutip penelitian American Society for Microbiology dan sejumlah manuskrip jurnal lainnya terkait kemungkinan penularan pada hewan menjelaskan kemiripan reseptor kucing dan manusia.

“Reseptor kucing mirip manusia. Monyet dan Orang Utan persis sama. kalau sampai monyet dan Orang Utan tertular, saya tidak heran,” katanya.

baca juga : Pandemi COVID-19, Peringatan untuk Manusia Hidup Berdampingan dengan Satwa Liar

 

Selain Uluwatu, hutan monyet yang dipadati ribuan turis di Ubud tiap hari ini juga tutup dampak pandemi Covid-19. Para monyet sampai berkeliaran di halaman depan dan jalan raya sekitar Monkey Forest. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Mengamati eksperimen SARS dan COVID-19 dilakukan pada monyet, satwa ini kelihatan tidak sakit, tapi kalau dilihat paru-parunya rusak juga. “Binatang tidak manja. Masih bisa ke mana-mana kalau manusia sudah minta ICU,” ia membandingkan perbedaannya.

Mahardika menyebut penelitian rekan-rekannya pada kucing, hasilnya cukup mengejutkan. Ia menunjukkan, jaringan yang terinfeksi mirip manusia. Karena itu ia menaruh perhatian pada kemungkinan penularan pada satwa dan risiko yang timbul karena interaksi satwa dan manusia makin dekat.

Ia menyontohkan monyet, risiko tetap ada karena satwa ini masih di daerah terbuka walau di objek-objek wisata yang jadi habitatnya sudah tutup. “Orang masih bisa akses, bisa membawa virus COVID-19 yang tak klinis, tak kelihatan sakit. Bisa menularkan pada monyet,” sebutnya.

Terinfeksi COVID-19 walau tak menunjukkan gejala sakit menurutnya sudah tak bisa diperdebatkan karena banyak bukti yang menunjukkan. Karena itu, mendekat obyek wisata menurutnya berisiko termasuk kebun binatang. Ia mengaku belum punya data di Bali terkait ini, baru dari hasil-hasil studi.

“Asal tidak diganggu, biarkan di alamnya,” harapnya terkait pencegahan penularan ke satwa. Sudah 3 kali wabah virus asal kelelawar. SARS, MERS, dan COVID. Ia mencatat rentang waktu antara wabah satu dan lainnya makin pendek, dari 10 tahun jadi 6 tahun. Karena itu ia juga meyakini akan ada next corona virus, dan ini yang harus diantisipasi, terutama mengurangi interaksi manusia dengan satwa liar.

Ironisnya satwa terus diburu sebagai sumber makanan. Dari sejumlah respon yang diterimanya, warga yang konsumsi daging satwa liar berkilah tak kena penyakit selama puluhan tahun tradisi berburu. “Peluangnya kecil tapi ada, misal dalam 10 juta-1 miliar tahun ada virus melompat ke manusia. Peluangnya kecil tapi bukan nol,” seru Mahardika.

perlu dibaca : Belajar dari Pandemi Corona, Cahyo: Jangan Ganggu Satwa Liar

 

Pengelola obyek wisata Uluwatu dengan ikon patung monyet mengenakan penutup kepala khas Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, Indonesia pun masih berjibaku menemukan vaksin virus yang mematikan babi secara massal. Mahardika mengaku salah satu penelitinya, dan sedang berusaha memformulasikan vaksin African Swine Fever (ASF), penyebab kematian yang meluluhlantakan pusat-pusat peternakan babi, seperti Medan dan Bali.

Pengurangan dampak buruk terbaik saat ini menurutnya dengan bio security kandang dan areal sekitar. Bagaimana memperlakukan kandang seperti kamar, jika masuk dan keluar kandang harus bersih tak hanya sekadar menyemprot disinfektan. Penularan sangat luas seperti nyamuk, makanan tercemar, air, udara, melalui tikus, kecoak, dan lainnya.

Tambahan terkait kemungkinan penularan pada satwa ini juga dipaparkan Sugiyono Saputra, peneliti Mikrobiologi LIPI tentang transmisi zoonosis pada diskusi online 8 April oleh Mongabay Indonesia.

Ia menjelaskan ada proses mutasi respon imun sehingga tak merasa sakit walau mengidap virus Corona baru ini. “Manusia kena bakteri saja sudah sakit. Kelelawar keuntungannya sistem imun melemah, ia netral hidup berdampingan dengan berbagai patogen bakteri dan virus yang dibawanya,” jelasnya.

Kelelawar dan Trenggiling kini disimpulkan sebagai perantara Corona. COVID-19 juga menurutnya awalnya diduga menyerang etnis tertentu, misal keturunan China, tapi salah. Sudah terbantahkan. Faktanya, lebih tinggi tingkat keparahan laki-laki dibanding perempuan, dari kasus sejumlah negara. “Imunitas keduanya beda. Gejala mereda di hari 13-14. PCR negatif dua kali tapi bisa menularkan. Kasus tak bergejala,” sebut Sugiyono.

Infeksi hewan peliharaan sudah diteliti seperti kucing di Belgia dan harimau di kebun binatang New York. “Tak menyebabkan sakit bagi hewan, atau gejala ringan. Ini jarang. Indonesia belum ada kasusnya. Belum ada buktinya dari hewan ke hewan lain,” lanjutnya.

baca juga : Pemusnahan Kelelawar dan Salah Arah Kebijakan Saat Pandemi Corona

 

Untuk novel Coronavirus yang merebak di Wuhan, sumber penularannya dari kelelawar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Ia juga membantah sejumlah spekulasi seperti Covid-19 akan berakhir di musim panas. Namun bukan berartti di Indonesia jadi santai, tak separah di negara lain. Harus terus waspada, karena bisa ditularkan di tempat mana pun termasuk panas dan kelembaban tinggi.

Euforia penyemprotan disinfektan, juga menurutnya banyak yang keliru. Disinfektan bukan untuk tubuh manusia, tapi benda mati, tempat yang biasa disentuh. Virus di dalam tubuh tak akan mati kena disinfeksi. Penyemprotan di jalan dinilai kurang tepat karena jalan sangat dinamis, mudah kena angin, sinar matahari intensitas tinggi.

Kontak langsung dengan jenazah ada risiko menulari tapi tidak jika setelah dimakamkan. Penguburan salah satu cara mengurangi infeksi.

Cuci tangan dan jaga jarak dinilai lebih tepat sebagai upaya pencegahan. Ia juga yakin ada kemungkinan muncul penyakit lain, desease X, maka harus bersiap. “Konsepnya satu, one health, menyatukan kesehatan hewan, lingkungan, dan manusia. Tak perlu bantai hewan yang punya peran ekologis,” ingatnya.

Menurutnya jangan salahkan kelelawarnya karena satwa liar ini memiliki peran penting di alam misalnya pemakan serangga penyebab hama dan polinator. “Salah kita karena konsumsi, interaksi makin tinggi sehinggi transmisinya mudah.

 

Exit mobile version