Mongabay.co.id

Menjaga Wilayah Hidup, Para Perempuan Seko di Garda Depan Bertahan [2]

Para perempuan aksi di lokasi pembangunan PLTA Seko. Foto: istimewa

 

 

 

 

Perjuangan warga Seko, mempertahankan wilayah hidup mereka, peran para perempuan berada di depan melawan. Sarah, ibu muda anak Pieter Karra yang dipenjara karena menolak PLTA. Bersama ratusan perempuan lain di Desa Tana Makaleang dan Hoyane, punya peran penting menjaga tungku pertempuran. Terlebih, setelah 14 orang dijatuhi vonis dan dipenjara di Masamba. Para perempuan di Seko, menduduki Poririang. Mereka membangun tenda dan bermalam di lokasi PLTA. Anak-anak ikut serta.

Saat pekerja perusahaan datang dikawal polisi, para perempuan berdiri dan bergandengan tangan. “Kami tidak mau mundur. Kenapa juga kami berani sama polisi, padahal dulu takut, apalagi pake seragam dan bawa senjata. Itu spontan saja mungkin, karena kami tidak mau hilang kampung,” kata Sarah.

Baca juga: Cerita Perjuangan Warga Seko Pertahankan Wilayah Hidup [1]

Sarah ingat betul, ketika polisi menyambangi rumahnya dan mencari warga penentang pembangunan PLTA. Sarah berani adu mulut setelah seorang polisi membentaknya. Polisi yang saat itu berhasil masuk rumah pun gagal mendapatkan buruan.

Rombongan polisi menuju Desa Hoyane. Mereka berjalan kaki.

Sarah dan seorang kawan mengambil inisiatif berlari ke Hoyane. Mereka melewati kebun, melewati jalan pintas. Sampai di Hoyane, ketika polisi hendak menggeledah rumah, tiba-tiba Sarah yang muncul.

“Jadi, di rumah sini (Tana Makaleang) dia dapat saya, di Hoyane dia juga dapat saya, he…he…he…,” katanya mengingat peristiwa itu.

Merasa dipermainkan, polisi mulai naik pitam. Mereka berniat menggelandang Sarah. Sarah tak kehilangan akal. Bersama warga perempuan lain, mereka masuk kamar mandi dan menyiramkan air. Polisi merasa kesal membentak dan meminta keluar.

“Saya bilang saya lagi mandi, tapi di dalam kami ganti baju terus lewat jendela keluar, terus lari ke kebun,” katanya.

 

Pagi di Desa Hoyane. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sidang putusan 14 orang warga Seko berlangsung di Masamba, Sulawesi Selatan Mei 2017. Mereka didakwa pasal pengancaman dan perusakan alat PT Seko Power Prima. Fakta persidangan berbicara lain. Sejak penahanan Januari 2017, hingga vonis pengadilan, beberapa saksi menyatakan kalau mereka tak pernah merasa terancam.

“Putusan ini seperti putusan imajiner. Hakim tak memberikan pertimbangan matang. Sejak awal kami mengajukan praperadian, karena ada gelagat salah dalam proses awal,” kata Nursari, dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).

Baca juga: Kala Protes PLTA, Belasan Warga Seko Ditangkap

Nursari bukanlah orang baru di dunia pergerakan. Ketika masih bergabung dalam perkumpulan pengacara adat nusantara tahun 2019— dia jadi Ketua Panitia Pengawas Pemilu Makassar. Dia menelisik banyak hal mengenai fakta hukum, kenapa warga ditangkap, dan bagaimana semua itu bermula.

Ketika gelombang protes atas pembangunan PLTA di Seko mulai, ratusan warga dianggap tak memihak upaya pembangunan daerah. Topel, Kepala Desa Tana Makaleang, bahkan mulai berhadap-hadapan dengan warga sendiri. “Saya tahu, mereka ini protes karena ada provokator dari luar. Orang luar, mana mengerti dengan kampung kami,” katanya.

Topel, mengklaim lembaga seperti AMAN Tana Luwu dan Perkumpulan Wallacea adalah motor penggerak protes di wilayahnya. Lembaga ini, kata Topel, tak memberikan pencerahan baik ke warga, tidak memberikan wawasan berimbang.

“Kalau mereka mengerti, saya yakin tidak ada yang menolak PLTA. Ini kan listrik, untuk kebaikan kita bersama.”

Pada 2015, ketika bertemu Topel di Ratte, tempat pengeboran dan rencana tempat pendirian turbin PLTA. Saat itu, beberapa pekerja menyusun rekahan batu dan ingin menguji kekuatan dasar batuan.

Saya mengunjungi Ratte bersama warga di Desa Tana Makaleang. Para pekerja, menerima kami dengan baik. Beberapa menit kemudian, Topel datang terburu-buru. Dia bersama beberapa orang langsung menghampiri kami.

Baca juga: Cerita dari Persidangan Amisandi

Di bawah tenda terpal biru, tempat para pekerja istirahat dia menjelaskan banyak hal, seperti soal aturan tamu yang masuk ke desa. Dia menggoyang-goyangkan pedang panjang naik turun di sela selangkangannya. Pedang panjang itu masih bersarung. “Bagaimana kalau adik ada apa-apa. Siapa yang mau tanggung. Adik ini nda ada izin masuk-masuk, itu salah itu,” katanya.

Topel, meminta warga lain bubar dan meminta kami meninggalkan Ratte. Saat kami berjalan pulang, dia juga ikut meninggalkan wilayah itu. Topel pernah menerima kunjungan Wakil Bupati, Thahar Rum. Namun warga justru nekat aksi di depan rumah tempat istirahat si Thahar.

Warga bersenandung. Salah satu lirik yang terekam, yakni, Seko kecil tetapi indah. Mereka juga membacakan pernyataan sikap tentang penolakan pembangunan PLTA. Di tempat itu Topel memperlihatkan ketidaksukaan dan tak pernah mengajak bicara warga yang menolak PLTA.

Akhirnya, Tana Makaleang, punya dua kubu: warga berseberangan dan pro PLTA. Sebagian besar menolak PLTA dan pipa melewati kampung. Sebagian lain, menerima dengan alasan kalau PLTA beroperasi, Seko akan berlimpah listrik.

Awal 2016, pemerintah daerah bersama Wakil Bupati Thahar Rum mengajukan studi banding ke Bengkulu untuk melihat operasional PLTA Sungai Musi. Saat itu, Topel turut serta. Perwakilan warga bersama perwakilan AMAN Tana Luwu juga ikut. Kunjungan inilah yang membuat Topel, berubah pikiran.

Bagi Topel, apa yang dilihat di Musi adalah hal baik. “Awal 2014, saya garda depan menolak PLTA. Dari sana (Musi), saya salah kaprah selama ini, ternyata ini untuk kebaikan,” katanya.

Informasinya, kunjungan ke Musi, dibiayai perusahaan. Pada 1 April 2020, Manager Operasional perusahaan, Ginandjar Kurli, menjawab melalui pesan WhatsApp kalau tidak ingin membahas lagi. “Saya ga mau jawab, terlalu banyak kepentingan.”

Kunjungan ke Musi ini juga diikuti, Piter Yosafat, warga Desa Hoyane, dari perwakilan warga. Dia bagian dari gerakan masyarakat penentang PLTA. “Mungkin waktu itu saya diajak, agar pikiran saya bisa berubah, kalau sudah jalan-jalan,” kata Piter.

Sebelumnya, dia jadi tim pemenangan desa untuk kampanye pasangan Bupati Indah-Thahar. “Saya tim Pak Thahar waktu itu. Tapi bisa saja kita berseberangan kalau sudah mengenai kampung.”

Dia lalu menunjuk spanduk pemenangan yang masih menempel di dinding rumahnya, ada tulisan barisan pemenangan dan foto Thahar Rum.

Di Musi, Piter malah kebingungan melihat keadaan sekitar PLTA. “Saya lihat ada beberapa kelapa. Ada kebun. Saya tanya, apakah ini dulu kampung atau kebun? Jika bertanya seperti itu, jawaban selalu dijawab lain. Saya mulai curiga,” katanya.

“Saya juga lihat, masih ada beberapa kebun di sekitar PLTA. Tapi untuk masuk, warga harus diperiksa. Harus melapor. Nah, jika PLTA Seko jadi, pasti kami akan bernasib sama dengan orang di sana. Saya tidak mau.”

 

 

 

Lembah di Sae, sebagai titik bendungan PLTA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Saat pulang, dia menyampaikan hasil kunjungan ke warga lain. Dia sendiri memantapkan hati terus menolak. Piter ingin melihat kampung selamat. Dia ingin keluarganya, kelak meninggal tetap bersama leluhur di kampung.

Piter pun dianggap berkhianat karena dibawa berjalan ke Sungai Musi, tetapi tetap menolak. Serangan mendera. Kala itu, Piter dituduh bagian dari 14 perusak dan pengancaman pada perusahaan. Dia tak menerima dan getol menentang. Piter kemudian masuk daftar pencarian orang (DPO).

Bersama Daniel Basri, dia masuk hutan, tinggal di rumah-rumah kebun, tidur merapat di batang pohon, atau menggali tanah agar hangat. “Saya dulu kalau dengar masa DI/TII dari orangtua saya lari mengungsi ke hutan. Saya sudah rasa, tersiksa sekali,” katanya.

Di tengah persembunyian, dia mendengar kabar kalau ratusan perempuan bergerak melawan. Warga pun berduyun memberi semangat. Ada sekitar 300 perempuan, jadi garda terdepan melawan perusahaan. Mereka menduduki titik utama pengeboran di Poririang dan Ratte. Seorang perempuan paruh baya, bahkan melepaskan semua pakaian ketika polisi mengancam akan menembak.

Di Poririang pada 2 Maret 2017, para perempuan berjalan dari Desa Hoyane ke Tana Makaleang. Mereka berjalan ketika langit malam membungkus Seko. Mereka berkumpul di rumah Andry Karyo. Istrinya, Ratna, jadi tuan rumah yang hangat. Andry dan 13 lelaki di Masamba, sudah dalam penjara.

Ratna mengenang malam itu, seperti hendak perang. Ada puluhan orang datang. Di atas rumah panggung, mereka mematikan listrik, tak menyalakan sedikitpun cahaya. Sandal, sepatu, payung dan apapun masuk ke rumah. Jelang pukul 22.00, dua lelaki datang mengetuk pintu rumah. Puluhan perempuan dalam rumah, terdiam.

Mereka membisu dan mendengar langkah kaki itu menapak. “Saya dengar, mereka bilang nda ada orang. Kosong ini rumah,” kata Ratna mengenang malam itu.

Akhirnya, dini hari, perempuan-perempuan itu bangun memasak. Mereka mengisi perut mereka, minum kopi, bercengkrama, serta memantapkan hati. Jelang pukul 06.00 rombongan lain, yang datang dari Hoyane—mereka tak bermalam di Tana Makaleang–, bertemu. Sekitar 60 orang, jalan bersama menuju Ratte. “Saya tidak ikut, karena anak masih kecil. Saya menunggu di rumah bersama beberapa ibu. Benar-benar, kami tak ingin kalah,” kata Ratna.

Misma ikut dalam rombongan. Mereka menapaki pematang, mendaki bukit, dan membelah ilalang. Di Ratte, mereka menemukan beberapa pekerja perusahaan. Perempuan itu, memberikan ultimatum dan meminta mereka berhenti bekerja. Sayangnya, polisi lebih cekatan mendatangi.

Matahari sudah terik. Perempuan-perempuan itu makin lantang. Seorang perempuan mendapat kekerasan. Misma kena tendangan di pantat. Dia tersungkur. “Saya marah sekali. Saya bilang, kalau saya tidak akan mundur. Ada juga teman sampai pingsan karena jatuh di dorong,” katanya.

Beberapa hari kemudian, para perempuan memutuskan membuat tenda di Poririang. Targetnya, memutuskan dan menghentikan segala aktivitas perusahaan, terutama pengeboran. Sejak awal polisi berjaga, mendatangi para pengunjuk rasa.

Polisi membentak maupun mengintimidasi. Meski begitu, warga tak sedikitpun goyah. Kompor dan bahan makanan mereka racik di lokasi pendudukan. Ada jadwal jaga siang dan malam.

Akhirnya, pada 27 Maret 2017, perusahaan memaksa lanjut beroperasi. Sedang warga berkeras tak ingin meninggalkan tempat. Beberapa polisi datang membentak. Beberapa warga tetap duduk di tempat pendudukan. Polisi menodongkan senjata, warga meminta sekalian ditembak mati. Polisi memaksa, seseorang dari mereka mengangkat perempuan yang bertahan dan menghempaskan ke tanah.

Di tengah gaduh itu, Neria Marni Sesean, seorang ibu muda, mengambil kertas pernyataan penolakan. Dia membaca dengan lantang. “Saya tidak tahu, kenapa saya tiba-tiba berani mengambil kertas penolakan itu, lalu saya baca. Padahal, waktu malam, tugas saya bukan itu,” katanya.

Setelah pembacaan, polisi makin tak terkendali. Bendera merah putih di tengah aksi pendudukan itu, dicabut polisi dan mematahkan tiangnya. Saling dorong pun terjadi.

Tak perlu waktu lama, polisi menembakkan gas air mata. “Pedih sekali. Ibu-ibu bubar. Semua pada lari. Tidak ada yang tahan, kami menangis,” kata Sarah.

Gaduh itu hampir tak terdengar di luar Seko. Ketika kampanye #SaveSeko menggema di penjuru Indonesia, masyarakat Seko makin mengalami masa berat. Beberapa hari setelah aksi Poririang itu, video bentrok baru tersebar.

Neria Marni Sesean, yang mendapatkan tekanan– orang yang dicari polisi–, sudah masuk hutan bersama Piter Yosafat dan beberapa warga lain. “Waktu dia (Neria) datang, bersama suaminya, saya kaget. Ada perempuan, apakah dia bisa bertahan dalam hutan? Dia kuat. Di hutan, kami saling menguatkan dan bilang, kalau ini jalan baik. Harus dilalui,” kata Piter.

Setelah para laki-laki memutuskan membelah gunung menuju Pasangkayu di Sulawesi Barat, Neria kembali ke kampung. Anaknya yang dia titipkan ke nenek, sedang sakit. Para pelarian itu akhirnya mencapai Makassar, lalu ke Jakarta.

Kini, Neria sudah punya dua anak. Anak kedua berusia hampir dua tahun. “Saya kasi’ nama Gemas. Ini untuk mengingatkan saya, kalau anak ini lahir di sela perjuangan kami. Perjuangan orangtua, dan keluarga mempertahankan kampung. Semoga besok lusa dia bangga dengan nama ini,” katanya.

Saya menggendong Gemas. Dia lebih suka bermain dan berlari-lari. Anak lelaki yang gesit.

Pada 2017, ke-14 warga kena vonis hukum, kini mereka sudah bebas. Akhir Februari 2020, saya mendatangi Desa Tana Makaleang lagi. Apakah mereka sudah aman, dan lahan terbebas dari ancaman atas nama ‘pembangunan’? (Bersambung)

 

 

Keterangan foto utama: Para perempuan Seko, membuat tenda menolak pembangunan PLTA. Foto: dokumen warga

Liukan jalan menuju Kecamatan Seko. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version