Mongabay.co.id

Menilik Kondisi Pembangkit Energi Terbarukan di Nusa Tenggara Barat

Lumpur dan sampah di saluran irigasi menjadi masalah rutin yang harus diselesaikan oleh operator PLTMH. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

Hujan baru reda. Lalu Hendri memulai aktivitas rutin sore. Usai Ashar, pemuda Dusun Teres Genit, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat itu bersiap-siap menuju tempat kerja. Berjarak sekitar dua km dari rumahnya, perjalanan melewati pematang sawah, berakhir di bendungan. Jalan mengikuti aliran irigasi ke bagian hulu.

Dari tempat parkir motor, menyeberangi sungai dengan air kering, Hendri akhirnya sampai ke ‘kantor.’ Kunci kantor dia titip di rumah orangtuanya di rumah dinas pengamat pengairan. Bersebelahan dengan zona inti hutan adat Bangket Bayan.

Setelah membuka pintu kantor, Hendri memeriksa semua mesin. Salah satu tuas di mesin itu dia tarik. Tuas itu mengatur debit air yang masuk ke turbin.

Di belakang kantor, Hendri mengubah aliran air irigasi. Pintu air di sisi barat ditutup, pintu air sisi timur diangkat. Selang beberapa menit, Hendri menghidupkan mesin. Ruangan kecil tempat mesin itu langsung bising. Lampu mulai menyala. Lama kelamaan lampu di dalam ruangan itu tambah terang.

“Mesin ini masih model lama, manual. Kalau yang sekarang tidak pakai tuas,’’ katanya menunjuk tuas di mesin buatan Jerman itu.

Hendri sehari-hari bertani dan membuka toko kelontong di rumahnya. Dia juga jadi pembantu pengamat pengairan membantu bapaknya. Tambahan pekerjaan lain, sebagai operator mesin PLTMH di Teres Genit.

Hendri, orang paling bertanggungjawab terhadap pasokan listrik 300 keluarga di tiga desa, yakni, Desa Bayan, Loloan, dan Torean.

Kalau Hendri terlambat menghidupkan mesin, ratusan keluarga bakal gulita malam itu. Kalau berhalangan, dia berpesan ke bapaknya agar menghidupkan mesin.

Mesin PLTMH di Teres Genit ini terbangun pada 2007. Tahun itu, tiga desa yang dilayani masih tertinggal. Tidak ada jaringan listrik PLN. Akses jalan rusak parah. Bahkan, beberapa kampung hanya bisa jalan kaki. Tahun itu, masih banyak warga memakai lampu minyak tanah.

PLTMH itu mulai menyala pada 2008. Bersamaan dengan Lombok Utara, berdiri, hasil pemekaran Kabupaten Lombok Barat. Warga menyambut gembira. Kampung-kampung terpencil di tiga desa itu bisa menikmati listrik. Aktivitas warga makin banyak, termasuk TV mulai masuk ke kampung.

“Kalau awal-awal itu sekitar 900 keluarga pelanggan,’’ kata Hendri.

Pada 2014, listrik PLN masuk, akses jalan makin bagus. Sebagian warga berganti ke PLN, terutama yang rumah dekat jalan. Sebagian warga memasang PLN, sekaligus PLTMH. Beberapa warga yang jauh dari jaringan PLN masih bertahan dengan PLTMH.

Jumlah pelanggan PLTMH berkurang, tetapi daya makin lemah. Seharusnya, dengan pelanggan berkurang, daya listrik stabil.

“Faktor air. Debit air makin berkurang,’’ katanya.

Pada awal-awal, PLTMH beroperasi sa,[ao 18 jam. Kini, hanya menjelang malam dan mati pagi hari, maksimal 12 jam. Itupun kadang daya naik turun.

Apalagi musim hujan, debit air bertambah banyak tetapi ada lumpur dan sampah. Beban bertambah untuk membersihkan, termasuk juga berakibat pada aliran air yang tak lancar.

 

Jaringan listrik PLTMH (tiang besi/kanan) bersaing dengan tiang listrik PLN di Desa Tetebatu Selatan, Kabupaten Lombok Timur. Sebagian warga memasang listrik PLN dan PLTMH sekaligus. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Rusak, belum ada perbaikan

Saat gempa 2018, sebagian fasilitas PLTMH Teres Genit, rusak. Banyak tiang roboh, terutama yang posisi dekat tebing. Gempa menyebabkan tebing longsor. Ada juga tertimpa pohon roboh, dipicu tebing runtuh. Karena gempa juga, jaringan listrik ke rumah warga banyak rusak. Kecamatan Bayan, terdampak gempa 29 Juli, disusul gempa 5 Agustus. Kerusakan rumah warga itu mengakibatkan jaringan terputus. Hendri tidak berani menghidupkan mesin, dia khawatir membahayakan warga.

Setelah semua jaringan diperbaiki, dia kembali menghidupkan mesin. Saat kecamatan lain di Lombok Utara, masih gulita karena gempa 5 Agustus, pelanggan PLTMH Teres Genit bisa menikmati listrik. Sebagian jaringan belum pulih 100%, tetapi aman untuk menyalakan listrik.

“Gempa kedua (5 Agustus) sudah bisa nyala di sini,’’ kata Hendri.

Sekitar dua km dari PLTMH Teres Genit, tepat di Dusun Sembulan, berdiri PLTMH Koaqsabang. Saat Mongabay berkunjung ke PLTMH itu pada Februari 2020, kondisi mesin mati.

Rendi, pemuda yang membantu jadi operator mengatakan, mesin tak menyala sejak akhir 2019. Sutradi, orangtua Rendi, yang jadi operator beberapa kali memperbaiki mesin itu. Ada kerusakan pada lahar dan belt. Karena kekurangan biaya, perbaikan belum juga tuntas.

Selain mesin, beberapa saluran juga mengalami kerusakan tertimbun tanah yang bertumpuk di saluran irigasi. Jadi perlu kerja keras membersihkan dan dia lakukan sekali sebulan. Kalau tidak, berpengaruh pada pasokan air.

“Sekali bersihkan lumpur kita habiskan Rp200.000 ribu,’’ kata Sutradi, operator PLTMH Koaqsabang.

Sembulan, di bawah Dusun Teres Genit. Sebagian besar warga sudah terlayani PLN. Saat ini, tersisa 70 keluarga pelanggan PLTMH Koaqsabang. Sebagian pelanggan bertahan ini juga memasang PLN.

 

Kerusakan mesin PLMTH Koaqsabang, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara lambat diperbaiki karena tidak ada biaya. Pemerintah tidak menganggarkan untuk biaya perbaikan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Belum optimal

Pemerintah NTB menuangkan kebijakan energi daerah itu melalui Perda Nomor 3/2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P). Dalam dokumen RUED NTB, ada dua pengelompokan energi dari air, yaitu, energi setempat (local energy) dan energi yang diperjualbelikan (tradable energy). Untuk local energy, NTB memiliki potensi 13,73 MW, dan tradable energy 198,75 MW.

Lokasi PLTMH yang tradable energy memiliki daya besar adalah PLMTH Santong di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara dengan 1.000 KW. PLTMH ini dibangun PLN NTB pada 2012 silam. PLTMH Segara di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Lombok Utara daya 2X2.500 KW (2013) dan 2X 1.000 KW (2014) dibangun PT Suar Investindo. PLMTH Kokoq Puteq Lombok Timur dengan daya 3.800 KW dibangun PT Nusantara Indo Energi.

“Sudah terkoneksi langsung dengan PLN,’’ kata Niken Arumdati, Kasi Energi Baru Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral NTB.

Pada 2025, dari seluruh keperluan listrik di NTB, ada target 23% dari energi terbarukan. Sampai akhir 2019, sekitar 11% kebutuhan listrik dari energi terbarukan.

Anggaran pembangunan PLMTH bersumber dari beberapa pos. Selain swasta, PLN juga membangun PLTMH. Dari pemerintah sendiri, ada dari biaya APBN, APBD provinsi dan kabupaten. Ada juga PLTMH swadaya. Niken menghitung, PLTMH berkontribusi sekitar 14,1 MW.

Pemerintah juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di empat lokasi PLTS, sebagian sudah selesai menyuplai 20 MW. Empat PLTS itu di Sengkol (Lombok Tengah ), Labuhan Haji (Lombok Timur), Pringgabaya (Lombok Timur), dan Sambelia (Lombok Timur). Keempat PLTS ini memiliki daya masing-masing 5 MW.

Selain PLTS on grade (terkoneksi dengan PLN) di berbagai lokasi terpasang PLTS komunal dan PLTS di masing-masing rumah. Daerah-daerah yang belum terakses PLN, seperti Tepal, Batu Tangkam Pulit, Batu Rotok di Sumbawa, mengandalkan PLTMH dan PLTS. PLTS juga menjangkau kampung-kampung di beberapa pulau kecil di NTB.

Di Pulau Moyo, Sumbawa, sebagian desa mendapat aliran listrik dari PLTD, sebagian PLTS. Desa Labuan Aji dan Sebotok, pakai PLTD. Di wilayah lain seperti Arung Santek, Lepa Loang, Brangkua, dan Stema pakai PLTS. Pulau yang ditempuh 1,5 jam dengan perahu kayu dari daratan Sumbawa itu termasuk daerah terpencil. Desa-desa menyebar di beberapa sisi pulau. Permukiman penduduk hanya ada di pinggir pantai. Tidak ada akses jalan di tengah pulau. Mereka sangat bergantung pada PLTS.

“Kalau ada kerusakan pakai dana desa perbaiki. PLTS itu sangat dibutuhkan,’’ kata Niken.

NTB juga melirik potensi angin. Saat ini dikembangkan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Ekas Lombok Timur. Sumber geothermal terdapat di Hu’u Kabupaten Dompu. Wilayah ini juga konsesi Sumbawa Timur Mining (STM), perusahaan yang sedang eksplorasi emas. Kalau kelak tambang emas beroperasi, sumber listrik bisa dari geothermal.

 

Berbagai kendala

Dari puluhan PLTMH dan PLTS yang tersebar di Pulau Lombok, Sumbawa, dan beberapa pulau kecil di NTB, kendala terbesar adalah biaya perawatan. Beberapa PLTMH yang pernah dibangun pemerintah dan dikelola masyarakat, katanya, mengalami kerusakan. Banjir, longsor, kerusakan mesin, hingga gempa bumi.

Di dalam postur anggaran pemerintah, tidak tercantum biaya perbaikan. Biaya swadaya tidak mencukupi. Iuran pelanggan sangat kecil. Hanya cukup biaya perbaikan ringan, perawatan rutin, dan operasional. “Mestinya yang kecil-kecil ini ada subsidi,’’ kata Niken.

Tahun anggaran 2020, Niken pernah mengusulkan angaran perbaikan beberapa mesin PLTMH yang mengalami kerusakan. Sayangnya, tidak disetujui padahal beberapa lokasi PLTMH rusak itu, satu-satunya sumber listrik warga, seperti di Desa Tangkam Pulit, Sumbawa, rusak berbulan-bulan.

Akses dari ibukota kabupaten ke daerah itu kurang lebih 10 jam. Jalan rusak. Melewati hutan, bukit, dan sungai tanpa jembatan. Kalau warga swadaya membeli komponen rusak, sangat besar biaya harus mereka keluarkan. Selain biaya transportasi, mereka juga harus menunggu komponen pesanan. Bisa tiba berhari-hari. Tidak ada jaminan juga langsung bisa beroperasi setelah komponen terpasang.

“Itulah kendalanya. Banyak fasilitas rusak tidak diperbaiki karena tidak ada biaya,’’ katanya.

Di tengah geliat pariwisata, keperluan energi listrik terus bertambah. Beberapa mega proyek di NTB membutuhkan pasokan listrik. Smelter di Sumbawa Barat, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah, Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara memerlukan listrik tak sedikit. Beberapa lokasi sedang dibangun dan sebagian baru beroperasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Begitu juga dengan kawasan-kawasan baru wisata. Berbagai fasilitas dibangun perlu listrik besar.

Sebenarnya, kawasan-kawasan pariwisata, terutama di gili (pulau kecil) bisa membangun PLTS atau PLTB. Di berbagai belahan dunia muncul kesadaran publik betapa penting energi bersih. Kalau pariwisata ingin berkelanjutan, kata Niken, sudah saatnya memulai dengan memanfaatkan energi terbarukan.

“Itu bisa jadi kampanye lingkungan bagi mereka (pelaku wisata).”

 

Lumpur dan sampah di saluran irigasi menjadi masalah rutin yang harus diselesaikan oleh operator PLTMH. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version