Mongabay.co.id

Pandemi COVID-19 Menurunkan Pendapatan Nelayan di NTT. Apa Solusinya?

 

Ancaman COVID-19 dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tak terkecuali keluarga nelayan yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia serta masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya perikanan.

Masih minimnya perlindungan dari Negara membuat keluarga nelayan dan pelaku sektor perikanan rakyat lainnya kini menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi persebaran COVID-19 di Indonesia.

Karenanya pemerintah diharapkan untuk segera memberikan perhatian kepada keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya yang rentan terdampak penyebaran COVID-19.

“Pemerintah wajib mengalokasikan dana perlindungan khusus untuk keluarga nelayan yang pendapatannya menurun akibat penyebaran COVID-19,” sebut Susan Herawati, Sekjen KIARA kepada Mongabay Indonesia, Selasa (14/4/2020).

Susan juga mendesak pemerintah untuk menunda pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2020 yang akan diselenggarakan di 270 daerah di Indonesia, dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota.

“Anggaran Pilkada serentak 2020 di 270 daerah sebesar Rp9.93 triliun harus dialihkan untuk dana perlindungan khusus keluarga nelayan dan pelaku perikanan lainnya di Indonesia,” tegasnya.

baca : Pentingnya Perlindungan Nelayan NTT Saat Pandemi COVID-19, Kenapa?

 

Aktifitas penjualan ikan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi sejak Maret, saat mulai merebaknya virus Corona. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penjualan Menurun

Catatan KIARA menyebutkan, setidaknya ada 12.827 desa pesisir di Indonesia yang menjadi tempat tinggal nelayan yang harus segera mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam menangani penyebaran COVID-19.

Untuk itu Susan  mendesak Pemerintah untuk segera melakukan penyemprotan disinfektan di desa-desa pesisir demi mencegah penyebaran COVID-19 semakin meluas.

Setidaknya, ada  dua dampak yang harus ditanggung oleh keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat akibat penyebaran COVID-19, Pertama, tertular COVID-19 dengan cepat. Kedua, lumpuhnya kehidupan ekonomi dalam bentuk menurunnya pendapatan karena terputusnya rantai dagang (supply chain) ikan dari nelayan sebagai produsen kepada masyarakat luas sebagai konsumen. “Dua ancaman ini harus dihadapi oleh keluarga nelayan di Indonesia,”  ucapnya.

Sekretaris DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Wham Wahid Nurdin kepada Mongabay Indoensia, Jumat (10/4/2020) berharap pemerintah memperhatikan nasib nelayan di tengah pandemi Corona.

Wham mengaku mendapat informasi dari nelayan di berbagai daerah di NTT soal penjualan hasil tangkapan nelayan yang anjlok. Nelayan tidak kesulitan melaut namun harga jualnya yang anjlok.

“Pasar  ekspor dan lokal juga harganya menurun.Penjualan sepi karena orang jarang ke pasar,” sebutnya.

Tetapi nelayan  kata Wham tetap melaut karena aktifitas di laut tidak dilarang apalagi kapal nelayan bukan kapal penumpang sehingga tidak beraktifitas dengan banyak orang.

baca juga : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Para pedagang eceran sedang menggelar ikan yang dibeli dari kapal nelayan yang bersandar di dermaga TPI Alok Maumere,kabupaten Sikka,NTT.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kontrol Pelabuhan Tikus

Banyaknya pelabuhan kecil atau pelabuhan tikus membuat para nelayan lokal di NTT kawatir adanya nelayan dari luar NTT yang datang dan bersandar di pelabuhan tersebut tanpa dikontrol.

Bagaimana supaya menjaga agar NTT aman dari wabah Corona, Wham mengaku sudah berkordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi NTT agar pelabuhan-pelabuhan tikus dikontrol.

Menurutnya, kapal-kapal nelayan dari luar NTT datang dan bisa bersandar dimana saja dan melakukan bongkar muat hasil perikanan. Untuk itu, harapnya,aktifitas kapal nelayan tersebut harus dipantau.

“Pelabuhan tikus harus diawasi lebih ketat seperti bandara dan pelabuhan resmi sehingga jangan sampai nelayan dari luar yang terjangkit COVID-19 bisa masuk lewat pelabuhan tikus,” tegasnya.

Wham juga mengharapkan agar nelayan dari luar NTT, kalau bisa juga dilakukan karantina. Minggu pertama April, pihaknya mencegah nelayan dari Bali bersandar di dermaga sebelum adanya pemeriksaan kesehatan terhadap Anak Buah Kapalnya.

“Mingu lalu di Kupang juga sudah dilakukan terutama terhadap nelayan dari pulau Jawa, Bali dan Sulawesi.Kalau bisa mereka dikarantina di tengah laut dahulu dan bila sudah dicek kesehatannya baru bisa bersandar di dermaga,” harapnya.

Jalan ini sebut Wham harus dilakukan untuk memproteksi para nelayan agar jangan tertular COVID-19.Langkah ini saran dia harus juga dilakukan oleh perusahaan perikanan yang mempekerjakan dan menerima hasil tangkapan nelayan.

Direktur Wahana Tani Mandiri Carolus Winfridus Keupung saat ditanyai Mongabay Indonesia,Rabu (14/4/2020) juga berharap agar adanya pengawasan di beberapa pelabuhan kecil atau Pelabuhan Rakyat (Pelra).

Menurut Wim sapaannya, pelabuhan tikus di pulau Flores sagat rentan disinggahi kapal-kapal termasuk kapal nelayan dari Sulawesi sehingga harus diawasi secara ketat.

Banyak kapal nelayan huhate (pole and line) yang melaut dan membongkar hasil tangkapan di kabupaten Sikka maupun Flores Timur. Kapal nelayan juga harus diperiksa kesehatan anak buah kapalnya.

perlu dibaca : Optimisme Sektor Perikanan Lewati Pandemi COVID-19

 

Kapal nelayan tradisional sedang membongkar ikan pelagis berukuran kecil hasil pukat untuk dijual di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

  

Butuh Berbagai Bantuan

Berbagai fakta di lapangan menurut KIARA menunjukkan bahwa kebijakan penanganan COVID-19 yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia sangat tidak mempertimbangkan aspek ekonomi kehidupan keluarga nelayan dan pelaku perikanan lainnya, yang jumlahnya lebih 8 juta rumah tangga.

Susan menyatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan prioritas untuk melindungi keluarga nelayan yang terdampak kebijakan penanganan COVID-19 dengan cara mengalokasikan secara khusus dana perlindungan dan pemberdayaan nelayan.

Hal itu sesuai dengan mandat Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam yang disahkan empat tahun yang lalu.

“Pasal 12 UU 7 Tahun 2016 memberikan sejumlah mandat kepada Pemerintah, diantaranya memberikan perlindungan kepada nelayan berupa penyediaan prasarana usaha perikanan, memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan, serta menghapus praktik ekonomi berbiaya tinggi,” tegasnya.

KIARA juga mendesak pemerintah untuk hadir memberikan perlindungan sekaligus pemberdayaan bagi seluruh keluarga nelayan di Indonesia yang terdampak kebijakan penangan COVID-19.

“Sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi  Republik Indonesia, pemerintah Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.” ungkapnya.

Wham pun berharap pemerintah memberikan subsidi bagi nelayan khususnya terhadap  sekitar 85 ribu nelayan tangkap di NTT yang jika ditambah penambak garam, pembudidaya serta pengolahan dan pemasaran hasil perikanan jumlahnya sekitar 110 ribu orang.

Kalau bantuan alat tangkap menurutnya saat ini belum terlalu dibutuhkan sebab yang penting bantuan bahan pangan dari pemerintah termasuk cicilan utang alat tangkap dan bahan bakar untuk melaut.

“Saya kemarin terlambat bayar cicilan utang saja dikenakan denda. Jangan sampai peraturan soal keringanan cicilan utang di lembaga keuangan belum sampai ke NTT. Atau jangan sampai sudah ada aturan tetapi perusahaan keuangan belum menerapkannya,” ungkapnya.

baca juga : Dampak COVID-19, Harga Ikan Tangkapan Nelayan Turun Drastis

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) kabupaten Sikka Paulus Bangkur kepada Mongabay Indonesia Jumat (10/4/2020) mengatakan, nelayan di Sikka saat ini masih melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal ini dibuktikan dengan banyak nelayan yang mengurus rekomendasi pembelian BBM untuk aktivitas penangkapan ikan.

DKP Sikka, kata Paul sapaannya, tetap melayani kebutuhan nelayan berupa rekomendasi BBM, penyediaan es untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan, penyediaan es untuk penyimpanan dan pemasaran ikan.

“Dalam 2 sampai 3 bulan kedepan kami membantu cold box untuk pemasar ikan. Nelayan terkena dampak COVID-19 karena harga ikan yang fluktuatif dan terbatasnya pembelian ikan oleh pihak swasta karena terkendala dengan pemasaran antar pulau. Harapan kita saat ini adalah pemasaran ikan lintas Flores,” pungkasnya.

 

Exit mobile version