Mongabay.co.id

Belajar dari Coronavirus, Siapkah Indonesia Menghadapi Pandemi karena Iklim ?

Dalam hitungan minggu, COVID-19 telah secara dramatis mengubah kehidupan modern. Hampir setiap sektor masyarakat telah diubah, kuliah di perguruan tinggi bergerak ke online. Sementara ribuan komunitas hampir di seluruh belahan bumi, perkotaan dan pedesaan, menyatakan keadaan darurat dan meminta penduduk untuk tinggal di rumah.

Perubahan seismik yang tak terbayangkan sebulan yang lalu telah secara mendasar membentuk kembali masyarakat dan politik. Perekonomian dunia semakin kacau dengan pasar saham merosot, proyeksi pertumbuhan melambat, dan semua pemulihan bergantung pada mengenyahkan virus. Sementara itu, kekurangan ventilator dan masker, dan rumah sakit yang kelebihan beban membuat krisis lebih berbahaya. Vaksin kemungkinan belum akan tersedia dalam setahun atau lebih.

Dampak bencana COVID-19 pada semua sektor kehidupan secara kritis menunjukkan bahwa dunia tidak siap untuk mengelola pandemi. Ini memiliki implikasi yang mengerikan bagi kemampuan manusia untuk merespons penyakit menular yang muncul yang diperkirakan akan menyebar lebih sering karena perubahan iklim.

Para ahli mencatat bahwa perubahan yang disebabkan oleh iklim dalam pola pergerakan manusia, hewan, dan patogen akan membuat wabah virus lebih umum. Reaksi global terhadap wabah COVID-19 –mulai dari kegagalan jarak sosial hingga meningkatnya sinophobia– menunjukkan bahwa dunia tidak siap menghadapi krisis kesehatan baru ini.

baca : Belajar dari Wabah Corona yang menjadi Perhatian Global. Bagaimana dengan Perubahan Iklim?

 

Kawasan Senayan, Jakarta Selatan pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

COVID-19 adalah penyakit infeksi virus yang gejalanya meliputi demam, batuk, dan sesak napas. Virus yang menyebabkannya, SARS-CoV-2, terutama ditularkan melalui tetesan pernapasan karena bersin dan batuk, seperti halnya flu. Tidak seperti flu, tidak ada yang memiliki kekebalan terhadap COVID-19, yang akibatnya jauh lebih menular, menginfeksi rata-rata 2,6 orang untuk setiap kasus yang tidak dikelola (dibandingkan dengan 1,3 untuk flu). Biasanya diperlukan lima hingga tujuh hari bagi orang yang terinfeksi untuk mulai menunjukkan gejala, dibandingkan masa inkubasi flu yang lebih pendek, yaitu dua hingga tiga hari, yang berarti orang memiliki lebih banyak waktu untuk secara tidak sengaja menyebarkan infeksi sebelum mereka tahu mereka mengidapnya.

Perkiraan angka kematian COVID-19 berkisar dari 0,1 hingga 3 persen, karena pengujian terbatas di banyak negara. Orang yang lebih tua, terutama mereka yang memiliki riwayat kesehatan sebelumnya, termasuk diabetes dan tekanan darah tinggi, berada pada risiko kematian yang lebih besar.

COVID-19 dan virus korona lain yang muncul dalam epidemi baru-baru ini, yaitu Sindrom Pernafasan Akut Parah (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (Middle East Respiratory Syndrome/MERS) tergabung dalam di bawah payung besar penyakit zoonosis, yang ditularkan melalui hewan dan manusia. Penyakit zoonosis terkenal lainnya termasuk rabies, ebola, wabah, dan penyakit lyme. Sementara para ahli masih berusaha untuk menentukan sumber COVID-19, tersangka utama saat ini termasuk kelelawar dan trenggiling.

Penyakit zoonosis sudah mencapai sekitar 70 persen dari semua infeksi manusia, tetapi para ahli khawatir krisis iklim akan mempercepat penularannya dengan mengubah batas-batas dan karakteristik habitat hewan yang ada. Perubahan pola cuaca dan pemanasan global diperkirakan menyebabkan banyak spesies satwa liar bermigrasi ke lintang tinggi (menjauh dari garis khatulistiwa) dan menuju ke ketinggian yang lebih tinggi, sehingga membuat mereka bersentuhan dengan penyakit baru yang belum berevolusi.

Selain itu, ketika hewan mengalami peningkatan stres akibat perubahan migrasi ini, sistem kekebalan tubuh mereka mungkin menjadi melemah, sehingga meningkatkan risiko infeksi dan jumlah replikasi virus setelah terinfeksi. Deforestasi dan perambahan terus-menerus ke habitat hewan akan mengurangi keanekaragaman spesies sambil meningkatkan kontak dengan manusia, yang pada gilirannya meningkatkan infeksi dalam populasi hewan inang dan meningkatkan risiko penyakit seperti itu menular ke manusia.

Singkatnya, krisis iklim akan menurunkan respon imun hewan inang, meningkatkan tingkat infeksi dengan melumpuhkan keanekaragaman hayati, dan mendorong hewan ke jalur migrasi baru yang akan membawa mereka ke dalam kontak yang lebih besar dengan manusia. Semua itu pada akhirnya meningkatkan frekuensi dan risiko infeksi yang terkait wabah penyakit.

baca juga : COVID-19, Isolasi Warga, dan Emisi Global

 

Ilustrasi virus corona penyebab covid-19. Sumber : pxhere.com

 

Krisis iklim juga akan memaksa manusia untuk bermigrasi, kemungkinan dalam pola yang sejajar dengan spesies hewan lain: jauh dari fenomena cuaca ekstrem dan pemanasan daerah dan menuju ketinggian yang lebih tinggi. Populasi termiskin di dunia dan komunitas adat, yang sudah memiliki hubungan erat dengan alam, terpinggirkan oleh berbagai aktifitas masyarakat, adalah yang paling rentan dan akan secara tidak proporsional dipengaruhi oleh peningkatan penyebaran penyakit.

Krisis iklim sudah diperkirakan akan menyebabkan seperempat juta kematian tambahan per tahun akibat malnutrisi, malaria, diare, dan stres akibat panas, dengan perkiraan biaya tahunan langsung dari kerusakan kesehatan saja mulai dari 2-4 miliar USD pada tahun 2030. Konsekuensi dari interaksi baru antara hewan-manusia tidak dapat diprediksi; masih sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa besar penyebaran penyakit Zoonosis ke garis lintang baru akan memengaruhi ekonomi dan masyarakat global dunia. Tetapi tanggapan global terhadap COVID-19 menunjukkan bahwa hal itu bisa sangat mengganggu kestabilan.

 

Saatnya Bersiap

 Meskipun pandemi COVID-19 masih berlangsung, kejadiannya merupakan peringatan –wake-up call tentang kemungkinan penyakit zoonosis berkembang biak pada tingkat yang lebih besar karena perubahan iklim. Jalanan kosong dan kehidupan terganggu akan menambah deretan dampak fenomena slow onset lainnya yang akan lebih sering terjadi ketika wabah penyakit, baik yang mengancam jiwa maupun yang relatif jinak, berjibun antri di planet bumi.

Entah baik atau buruk, frekuensi dan magnitude wabah akan memaksa orang untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap bahayanya, terutama untuk penyakit menular baru yang muncul dan terbatas pemahamannya. Terlepas dari prediksi mana yang benar, para ahli mengakui bahwa perubahan iklim akan meningkatkan frekuensi, magnitude dan tingkat keparahan wabah penyakit baru. Hubungan ketakutan publik akan pandemi – ketegasan pemerintah untuk mengkarantina negaranya selama berbulan-bulan – secara tidak langsung sangat membantu dalam mengatasi krisis iklim.

baca juga : Pemusnahan Kelelawar dan Salah Arah Kebijakan Saat Pandemi Corona

 

Untuk novel Coronavirus yang merebak di Wuhan, sumber penularannya dari kelelawar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Krisis iklim juga merupakan ancaman besar bagi kehidupan manusia dan sangat membutuhkan respons yang komprehensif. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis Lancet memperkirakan 500.000 kematian orang dewasa yang disebabkan oleh perubahan iklim pada tahun 2050.

Jika pandemi Coronavirus mengajarkan untuk mengakui kerentanan manusia terhadap guncangan berdampak tinggi seperti pandemi dan bencana terkait krisis iklim, maka perlu mempersiapkan jauh lebih baik untuk menghadapinya : pikirkan ulang risiko; dengarkan perspektif global; jadikan manusia prioritas utama; kepercayaan terhadap para pakar; dan buat perubahan budaya

 

*Agus Supangat, Ilmuwan senior di Pusat Perubahan Iklim ITB. Mantan Koordinator Peningkatan Kapasitas dan Riset di Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis

 

Exit mobile version