Mongabay.co.id

Membangun Kesadaran Kolektif Melindungi Bumi

 

Bumi yang kita tinggali saat ini bukan hanya semakin sesak, tetapi juga tambah panas dan polutif.

Rabu [22/4/2020] ini, kita kembali merayakan Hari Bumi [Earth Day] ke-50. Tema yang dibahas adalah Climate Action, dan kita tahu, krisis iklim global menjadi sebuah keniscayaan. Suka atau tidak, kita mesti menghadapi dan sekaligus mengupayakan sejumlah solusi.

Secara sederhana, istilah krisis iklim merujuk pada pergeseran iklim untuk jangka waktu panjang yang ditandai perubahan suhu, presipitasi [curah hujan], pergerakan angin, dan beberapa indikator lain.

Krisis iklim dimungkinkan saat terjadinya perubahan total dari jumlah energi matahari yang diserap oleh atmosfer dan permukaan Bumi serta perubahan dalam jumlah energi panas yang dilepaskan oleh permukaan Bumi dan atmosfer pada periode tertentu. Perubahan-perubahan tersebut dapat disebabkan oleh proses alamiah seperti letusan [erupsi] gunung berapi, variasi dalam intensitas matahari, serta perubahan pergerakan laut dan daratan yang rutin terjadi selama beberapa dekade, atau bahkan beberapa abad.

Namun, jangan lupa, sejumlah aktivitas manusia yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca [greenhouse gases] di atmosfer, mendorong iklim mengalami perubahan mencolok. Merujuk daftar yang dikeluarkan The Intergovernmental Panel on Climate Change [IPCC], sejauh ini terdapat beberapa zat yang masuk ke dalam kategori gas rumah kaca. Di antaranya adalah dinitrogen oksida [N2O], hidrofluorokarbon [HFC], karbon dioksida [CO2], dan metana [CH4].

 

Puluhan perahu nelayan bersandar di pantai Rancabuaya, Garut Selatan, Jawa Barat. Krisis iklim membuat permukaan laut meningkat, zona klimatik mengalami pergeseran, serta laut semakin asam. Foto: Djoko Subinarto

 

Sesungguhnya, lebih dari 10.000 tahun ke belakang, jumlah gas rumah kaca di atmosfer terbilang relatif stabil. Akan tetapi, konsentrasinya terus meningkat seiring melonjaknya kebutuhan energi akibat proses industrialiasi, jumlah penduduk, serta perubahan drastis pola pemanfaatan tanah dan hunian.

Gas rumah kaca di atmosfer sendiri bertindak laksana ‘selimut’ yang menyerap dan sekaligus memancarkan radiasi panas inframerah, membuat temperatur Bumi kian meningkat. Penggunaan bahan bakar fosil dan pembabatan hutan diyakini sebagai faktor paling dominan meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer dewasa ini.

 

Kekeringan akibat kemarau panjang melanda kawasan Jatigede, Sumedang, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Foto: Djoko Subinarto

 

Bumi kian panas

Salah satu dampak langsung krisis ikim adalah Bumi yang kita huni semakin panas, selama 150 tahun terakhir. Berbagai kalangan kerap mengidentikkan krisis iklim dengan fenomena pemanasan global alias global warming.

Bersamaan dengan kian memanasnya Bumi, permukaan laut meningkat, zona klimatik mengalami pergeseran, serta laut semakin asam. Sementara itu juga tingkat presipitasi meninggi di sejumlah kawasan yang menyebabkan intensitas hujan semakin tinggi di beberapa belahan dunia. Semua ini, membawa dampak luas secara ekonomi maupun sosial, baik pada tataran regional maupun global.

Di negara kita, dampak krisis iklim terasa nyata dengan kemunculan musim kemarau panjang atau meningkatnya curah hujan di luar siklus normal yang menyebabkan terganggunya pola tanam petani. Juga, menyebabkan sering terjadinya bencana kekeringan, banjir, maupun longsor.

Faktanya, memang makin banyak daerah di negara kita yang saat ini masuk kategori rawan bencana, terutama banjir dan longsor. Hal ini dibuktikan munculnya beberapa daerah baru, padahal sebelumnya sama sekali tidak pernah mengalami kejadian bencana.

Kalangan masyarakat miskin merupakan kelompok paling rawan terkena dampak krisis iklim. Pasalnya, mayoritas mereka tinggal di kawasan-kawasan rawan bencana, seperti bantaran sungai, pesisir pantai, atau lereng-lereng gunung.

 

Banjir yang melanda Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal 2020. Foto: Djoko Subinarto

 

Tentu saja, masalah ini tantangan tersendiri untuk para pemimpin di negara kita. Menghadapi krisis iklim, mereka dituntut mampu menelurkan sejumlah kebijakan antisipatif terhadap setiap risiko bencana yang mungkin muncul, sehingga dapat meminimalisir jatuhnya korban dan kerugian lebih besar.

Paket-paket kebijakan terkait kebencanaan semestinya bukan lagi kebijakan-kebijakan reaktif jangka pendek. Kebijakan yang muncul setelah bencana datang, setelah timbulnya korban nyawa bersama kerugian materi.

Pada sisi lain, kita semua harus membudayakan gaya hidup rendah karbon, faktor yang turut menyumbang terjadinya krisis iklim. Meminimalisir pemakaian kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, efisiensi pemakaian listrik, serta memperbanyak konsumsi makanan berbasis tumbuhan merupakan sejumlah langkah sederhana yang bisa kita lakukan dalam upaya ikut menurunkan emisi karbon.

 

Warga menggunakan perahu menuju tempat kerja, saat banjir di kawasan Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, awal 2020 lalu. Foto: Djoko Subinarto

 

Bagaimanapun, kita tidak boleh diam. Ingat, kita semua memiliki kewajiban mewariskan Bumi yang lebih bersih dan lebih sehat, kepada anak-cucu nanti.

Adalah kewajiban kita bersama untuk berkontribusi lebih nyata -sekecil apapun itu- menjaga, merawat, dan melindungi Bumi dari segala kerusakan.

 

*Djoko Subinartokolumnis dan bloger, tinggal di Bandung [Jawa Barat]. Tulisan ini opini penulis

 

 

Exit mobile version