Mongabay.co.id

Pasca Pandemi: Refleksi Hari Bumi di Tengah Wabah yang Melanda

Sebuah PLTU Batubara memberikan dampak menurunnya kualitas kesehatan masyarakat akibt debu mengandung logam berat dan beracun. Foto : Tommy Apriando

Bertepatan dengan tanggal 22 April, kita memperingati Hari Bumi. Sebuah agenda tahunan yang ditetapkan secara internasional untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap Bumi, terutama  meningkatkan kesadaran publik akan lingkungan. PBB secara resmi memberi nama untuk peringatan 22 April sebagai “International Mother Earth Day“.

Namun, tahun ini ada yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, lantaran bencana pandemi COVID-19 di seantero penjuru bumi. Jumlah pasien dan korban pun kian hari kian meningkat.

Di tengah duka dan ancaman yang menimpa penghuninya, nasib bumi di tengah masa pandemi justru menunjukkan perbaikan. Beberapa perbaikan yang menggembirakan tersebut antara lain perbaikan kualitas udara, penurunan volume sampah, penurunan penggunaan energi, dan lainnya.

Bagaimanapun COVID-19 harus dibasmi, tetapi perilaku yang minim menimbulkan kerusakan bumi penting dilestarikan. Pasca-pandemi COVID-19 mitigasi ekologi akan kembali menjadi salah satu tantangan besar dunia.

Baca juga: Catatan Hari Bumi: Perempuan, Masyarakat Pesisir dan Sampah

 

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Sejarah dan Hikmah

Hari Bumi pertama kali dicanangkan oleh pengajar lingkungan Amerika Serikat Gaylord Nelson pada 1970. Seiring berjalannya waktu, Hari Bumi mendapat dukungan dari berbagai pihak untuk pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) dan berkontribusi pada pengesahan UU Udara Bersih, UU Peningkatan Kualitas Air, UU Spesies Terancam Punah dan beberapa undang-undang lingkungan lainnya.

Live Science (2017) merilis Nelson tergerak pada lingkungan setelah melihat daerah sekitarnya rusak karena tumpahan minyak besar-besaran pada 1969 di Santa Barbara, California. Dia kemudian berinisiatif untuk menjadi pengajar dan mendidik masyarakat sekitar tentang lingkungan.

Nelson dan timnya berhasil mengerahkan sekitar 20 juta orang di seluruh AS pada 20 April 1970 untuk mengadakan protes, serta berdiskusi di tempat umum untuk membahas soal lingkungan dan cara mempertahankan planet.

Dalam peringatan Hari Bumi ke-10, Nelson menulis artikel untuk EPA Journal, bahwa manusia, khususnya warga AS, agar lebih memahami dan prihatin atas kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam.

Pada 1995, Presiden Bill Clinton memberi Nelson “Medali Kebebasan Presiden” sebagai pendiri Hari Bumi. Ini adalah kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil AS.

Baca juga: Catatan Hari Bumi 2019: Memilih Sendiri Masa Depan Kita

Pada 1990, Hari Bumi dijadikan acara global dengan lebih dari 200 juta orang dari 141 negara terlibat di dalamnya. Kemudian pada 2000, Hari Bumi diikuti oleh 5.000 kelompok lingkungan dari 184 negara. Hayes mengorganisir kampanye yang berfokus pada pemanasan global dan energi bersih.

PBB sendiri memilih tanggal 20 Maret saat dimana matahari tepat di atas khatulistiwa sebagai peringatan Hari Bumi. Ini mengacu pada ide “Hari bagi Orang-Orang Bumi” yang dicetuskan aktivis perdamaian John McConnell.

Hari ini dikenal sebagai “Hari Bumi Equinoks” yang diperingati PBB setiap tahunnya sejak 21 Maret 1971. Namun PBB juga mengakui tanggal 22 April sebagai Hari Bumi yang dilaksanakan secara global.

Hari Bumi penting untuk mengingatkan manusia akan ancaman nyata yang sedang dihadapi planet ini dan memikirkan bagaimana untuk melindunginya. Berpikir tentang sejarah aktivisme lingkungan dan cara individu bekerja sama untuk mengubah kebijakan akan membuat kita lebih optimis dan mampu mewujudkan perubahan positif di masa depan.

Pandemi COVID-19 memberikan banyak hikmah bagi bumi. Hal ini dikarenakan implikasi pandemi yang menurunkan, bahkan menghentikan aktifitas manusia di luar rumah. Selama pandemi bekerja dan belajar dilakukan di rumah, selain itu aktifitas di luar rumah juga dibatasi oleh kebijakan pemerintah.

Gambar satelit dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan. Pemandangan itu tampak di seluruh kota besar di benua itu, juga di AS dan benua Asia. Indonesia pun juga menunjukkan indikator yang serupa.

Volume sampah juga menurun selama masa Pandemi. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta misalnya, mencatat terjadinya pengurangan tonase sampah dari Jakarta menuju TPS Bantargebang rata-rata 620 ton per hari saat pandemi.

Pandemi juga menurunkan penggunaan energi khususnya listrik. PLN melaporkan penurunan penggunaan listrik di Pulau Jawa hingga 9,55%. Di sistem kelistrikan Sumatera konsumsi listrik turun 2,08%. Selanjutnya, sistem Khatulistiwa (Kalimantan Barat) turun 3,97% dan sistem Sulawesi Bagian Selatan, konsumsi listrik turun 3,16%.

 

Seorang bocah di bonceng sepeda usai pulang sekolah dengan memakai masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi Pasca-Pandemi

Tantangan  pasca-pandemi adalah bagaimana agar mitigasi perbaikan ekologi bumi terus berlangsung. Nathaniel Weston, profesor ilmu lingkungan dari Universitas Villanova menyatakan ada dua cara sederhana yang bisa kita lakukan dalam memperbaiki kualitas bumi.

Pertama, mengajak orang lain untuk lebih memahami masalah lingkungan. Hal ini akan membuat lebih banyak orang sadar dan diharapkan mau ikut melakukan tindakan nyata untuk melindungi lingkungan.

Kedua, berkomitmen pada diri sendiri untuk “melayani” Bumi. Hal ini bisa dilakukan dengan tindakan sederhana seperti menanam pohon, membersihkan sungai, mematikan peralatan elektronik saat tidak butuh, menggunakan produk perawatan dari bahan alami, mematikan lampu saat siang hari untuk menghemat energi, dan mulai kurangi sampah plastik.

Kebijakan pemerintah dan sinergi lintas pihak dibuutuhkan guna tetap menjaga kualitas udara, mengelola sampah, menekan penggunaan energi dan lainnya. Perbaikan kualitas udara dapat dilakukan dengan menekan laju penggunaan kendaraan dengan meningkatkan kualitas transportasi umum dan pembatasan transportasi pribadi.

Selanjutnya pemenuhan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30 persen dari laus wilayah harus dijamin realisasinya.

Pengelolaan sampah terpadu dapat dilakukan dengan menekan penggunaan bahan plastik, kampanye pemilahan sejak di level rumah tangga, pengelolaan sampah di TPA untuk energi dan lainnya. Penggunaan energi dapat ditekan dengan gerakan hemat listrik, pengembangan energi ramah lingkungan dan lainnya.

Komitmen pemimpin diperlukan  kaitannya dengan perbaikan kualitas ekologi. Kepemimpinan bervisi hijau merupakan kata kunci mengantisipasi kerusakan bumi. Pembangunan berkelanjutan mesti terjamin dengan ditandai keminiman kejadian bencana dengan segala dampak dan korbannya. Kualitas lingkungan merupakan kunci utama mewujudkannya.

 

Ribut Lupiyanto, penulis adalah Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration). Artikel ini adalah opini dari penulis.

 

Exit mobile version