Mongabay.co.id

Presiden Himbau Masyarakat Makan Ikan di Tengah Pandemi COVID-19. Apakah Tepat?

 

Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo  usai mengikuti rapat terbatas antara Presiden bersama para menteri Senin (13/4/2020) mengatakan Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk membagikan ikan kepada masyarakat di daerah.

Jokowi percaya kandungan yang terdapat dalam ikan bisa meningkatkan imunitas atau kekebalan tubuh. Dengan begitu menurutnya dapat membantu mencegah penularan COVID-19 yang mewabah.

Himbauan Presiden untuk banyak menkonsumsi ikan sebagai upaya melawan COVID-19 terasa ambigu di tengah nasib keluarga nelayan yang semakin kesulitan secara ekonomi.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak presiden Joko Widodo untuk tidak hanya memberikan himbauan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi ikan di tengah ancaman penyebaran COVID-19.

Lebih jauh, Jokowi didesak untuk melakukan langkah-langkah nyata menyelamatkan jutaan rumah tangga nelayan dan pelaku perikanan rakyat di Indonesia yang terdampak penyebaran COVID-19.

“Bagaimana mungkin nelayan bisa melakukan aktivitas menangkap ikan, sementara pada saat yang sama mereka harus berhadapan dengan ancaman serius penyebaran COVID-19?” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (18/4/2020).

baca : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Aktifitas penjualan ikan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi sejak bulan Maret merebaknya virus Corona. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain menghadapi ancaman penyebaran COVID-19, kata Susan, persoalan lainnya yang dihadapi oleh keluarga nelayan adalah menurunnya pendapatan serta naiknya harga bahan-bahan pokok yang menjadi kebutuhan dasar konsumsi harian.

Daripada menghimbau masyarakat makan ikan untuk meningkatkan kekebalan tubuh, dia menyarankan Jokowi lebih baik mendorong KKP untuk melihat langsung kondisi nelayan di lapangan. Negara harus hadir untuk mereka.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2020) mencatat sejumlah dampak buruk yang dialami nelayan di Indonesia setelah penyebaran COVID-19.

Pertama, terang Susan, hilangnya kesempatan untuk pergi melaut karena ketiadaan modal sejak pra-produksi. Kedua,adanya penurunan pendapatan karena terputusnya supply chain usaha perikanan.

Dan ketiga, jelasnya, adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan) akibat semakin naiknya harga kebutuhan bahan pokok pangan. Keempat, tinggi angka kriminalitas yang dialami oleh nelayan karena sulitnya kehidupan ekonomi.

“Kelima, tingginya angka kekerasan yang dialami oleh perempuan nelayan. Sementara keenam, absennya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan keluarga nelayan di tengah-tengah penyebaran COVID-19,” tuturnya.

baca juga : Pandemi COVID-19 Menurunkan Pendapatan Nelayan di NTT. Apa Solusinya?

 

Ikan hasil tangkapan nelayan yang dibongkar di TPI Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT langsung dijual kepada para pembeli yang datang. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, berbagai dampak buruk yang dialami oleh nelayan di atas, menunjukkan bahwa keluarga nelayan dan pelaku perikanan rakyat lainnya di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang sangat rawan.

Keluarga nelayan, katanya, menempati posisi paling bawah dalam struktur kemiskinan dan ketimpangan nasional jauh sebelum ada COVID-19.

Kerawanan nelayan pun sebutnya, semakin parah karena sampai saat ini pemerintah tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menangani penyebaran COVID-19 ini.

“Di dalam situasi seperti sekarang, Pemerintah wajib mengutamakan keselamatan masyarakat pesisir, bukan menghimbau makan ikan atau mendorong pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja,” sarannya.

 

Sulitnya Akses ke Laut

Yuvensius Stefanus Nonga Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT kepada Mongabay Indonesia Minggu (19/4/2020) mengatakan, disaat Jokowi mengajak masyarakat untuk makan ikan,  ada beberapa fakta di lapangan yang penting untuk diperhatikan oleh beliau.

Persoalan pertama papar Yuven, kondisi kelautan dan pesisir di NTT makin memprihatinkan dengan adanya kebijakan “memunggungi” laut. Yakni membiarkan kebijakan privatisasi kawasan pesisir yang merajalela.

Yuven mencontohkan, membuka ruang privatisasi di pesisir kota Kupang (Pasir Panjang, Teluk Kupang), Labuan Bajo serta beberapa wilayah di Pulau Flores, dan Pulau Sumba.

Hal ini sebutnya,berdampak terhadap berkurangnya wilayah kelola rakyat di pesisir. Ada banyak nelayan yang sulit akses ke laut atau bahkan sekadar menambatkan perahu karena adanya privatisasi pesisir.

“Bahkan akses publik untuk melakukan rekreasi di pantai kian berkurang. Ini terjadi seperti di kota Kupang,” ungkapnya.

perlu dibaca : Pentingnya Perlindungan Nelayan NTT Saat Pandemi COVID-19, Kenapa?

 

Kapal nelayan tradisional sedang membongkar ikan pelagis berukuran kecil hasil pukat untuk dijual di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Permasalahan kedua kata Yuven, saat ini juga pencemaran di laut NTT tidak dikontrol oleh pemerintah daerah. Sampah banyak di laut karena aktivitas pembangunan sebut dia, tidak diurus serius dampak lingkungannya.

Persoalan ketiga, di masa COVID-19, tegas Yuven, nelayan mengalami dampak signifikan akibat pandemi ini. Tingkat penjualan nelayan menurun karena warga banyak yang takut untuk keluar dari rumah.

Oleh karena saran WALHI NTT, perlu memperhatikan perlindungan terhadap nelayan. Perlindungan tidak hanya bicara soal kesehatan, tapi juga bagaimana soal ekonomi, soal wilayah kelola, urusan infrastruktur untuk menopang kerja-kerja nelayan.

“Sampai saat ini Kementerian terkait belum secara spesifik bicara soal mekanisme apa yang perlu dilakukan untuk perlindungan nelayan di masa COVID-19 ini,” sarannya.

  

Serius Perhatikan Nelayan

Pemerintah seharusnya agar mulai serius untuk memperhatikan perlindungan nelayan di wilayah-wilayah yang tingkat ketergantungan terhadap hasil laut cukup tinggi.

Misalnya soal ketersedian bahan bakar mereka untuk melaut dan sebagainya, sebut Yuven, serta  bagaimana dengan kemampuan pemerintah untuk memastikan subsidi buat nelayan karena tingkat penjualan ikan mereka menurun.

Bagaimana melihat kembali proses pemasaran dari hasil yang mereka capai di laut saran dia, ketika banyak ikan-ikan yang tidak terjual membusuk dan dibuang. Hal itu pasti akan sangat merugikan untuk nelayan.

“Oleh karena itu pemeritah perlu menyiapkan dari hulu hingga hilir terkait perlindungan nelayan mulai dari proses kesehatannya, ekonominya, dan juga distribusi pemasarannya,” pintanya.

baca juga : Optimisme Sektor Perikanan Lewati Pandemi COVID-19

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No.7/2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, kata Yuven sebenarnya secara tegas menyatakan agar pemerintah melakukan perlindungan yang maksimal terhadap nelayan terutama untuk urusan wilayah kelolanya dan urusan produksinya.

Nelayan berperan sebagai penyuplai protein laut bagi masyarakat, dimana protein untuk daya tahan tubuh itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masa pandemi ini.

“Bila perlu pemerintah harus membeli seluruh ikan dari nelayan untuk dibagikan kepada masyarakat,” tegasnya.

Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan pihaknya memastikan stok pangan perikanan tetap aman selama masa sekarang dan setelah pandemi berakhir, pihaknya akan menggenjot produksi pada sub sektor perikanan tangkap dan juga perikanan budi daya. Kedua sub sektor tersebut dijamin tidak akan mengalami perbedaan untuk mendorong produksi berjalan baik.

Khusus untuk perikanan budi daya, Edhy mengatakan bahwa potensinya bisa menghasilkan produksi hingga 240 ribu ton selama kurun waktu April hingga Juni mendatang. Rinciannya, 100 ribu ton berasal dari potensi panen udang, dan sisanya berasal dari potensi produksi perikanan budi daya air laut dan tawar.

“Untuk perikanan tangkap juga terus berproduksi, namun angkanya belum bisa dipastikan karena itu tergantung hasil tangkapan. Beda dengan sektor budi daya yang memang bisa dihitung,” katanya saat memberikan keterangan resmi secara daring dari Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Rabu (1/4/2020).

Selain mendorong produksi perikanan terus berjalan maksimal di masa pandemi ini, KKP juga sudah menyiapkan sejumlah langkah agar hasil produksi dari nelayan tangkap maupun pembudi daya ikan bisa langsung diserap sampai habis.

 

Exit mobile version