Mongabay.co.id

Merajut Noken dari Benang Melinjo dan Mahkota Dewa

 

 

 

 

Di jalan yang membelah lahan kosong menuju pemukiman transmigrasi, saya bersama ibu-ibu dari Organisasi Perempuan Adat (Orpa) Namblong berboncengan sepeda motor melaju pelan mengamati kanan jalan. Tampak pohon berdaun lonjong di kelilingi semak. Tinggi tiga meter, bercabang banyak, dengan buah berwarna hijau dan merah. Merah bertanda sudah tua. Sebagian jatuh ke tanah dan membusuk dengan biji kembali tumbuh membentuk bibit baru. Inilah pohon mahkota dewa. Dalam bahasa namblong disebut darom.

Kami mencari kulit pohon darom untuk praktik proses pembuatan noken kepada beberapa tamu yang akan berkunjung ke Kantor Orpa. Para tamu ini ingin melihat bagaimana cara orang Namblong memanfaatkan kulit kayu untuk membuat noken.

Lokasi ini jadi tempat paling mudah terjangkau untuk dapat darom. Setelah meminta izin pada pemilik lokasi, semak di sekitar pohon dibersihkan dan proses mengambil kulit pohon pun dimulai.

Pada bagian pohon yang lurus, kulit ujung atas dipotong dengan parang selebar 4-5 cm lalu ditarik keluar hingga ujung bawah. Ujung bawah dipotong hingga kulit lepas dari pohon. Cara itu dilakukan sekitar dua atau tiga kali pada satu batang yang sama tergantung diameter dengan tetap menyisakan sebagian kulit.

“Kita tidak kuliti dari akar sampai daun. Kuliti bagian lurus saja. Ambil sebelahnya, sebelahnya tinggal. Kulit yang tadi dibuka akan terbungkus kembali. Pohon tetap hidup,” kata Kori Yewi, anggota Orpa sambil menunjukan bagian kulit yang sudah diambil.

Setelah mendapat beberapa helai kulit darom, kami kembali ke Kantor Orpa. Bibit-bibit baru tumbuh yang berserakan kami bawa dibagikan ke warga yang memerlukan.

Begitulah cara perempuan perajin noken di Namblong mendapatkan bahan baku membuat noken. Meski sudah banyak benang produksi pabrik yang bisa dipakai, noken dengan bahan baku alami selalu lebih menarik. Para perempuan merajut untuk keperluan sendiri atau dijual sebagai sumber pendapatan.

Selama ini, bahan baku selalu ambil di hutan. Selain jarak pengambilan makin jauh, persedian juga makin terbatas karena digunakan terus menerus. Karena itulah, sejak akhir 2018, Orpa Namblong mulai mengajak warga terutama perempuan mulai membudidayakan pohon-pohon ini.

 

***

Namblong adalah nama suku yang hidup di Lembah Grime, terletak di sebelah utara pulau Papua sekitar 59 lm ke arah barat Jayapura, ibu Kota Papua. Saat ini, wilayah Suku Namblong dibagi ke dalam tiga distrik, yaitu Nimboran, Nimbokrang dan Namblong. Ketiganya masuk Kabupaten Jayapura. Ini satu lembah hutan tropis yang kaya tumbuhan dan satwa.

Dulu, wilayah ini dikenal dengan nama Nimboran. Nimboran pernah jadi pusat percontohan pengembangan sosial ekonomi untuk orang asli pada zaman Belanda, menjadi daerah operasi militer 1970-an masa awal Indonesia, sebelum jadi daerah tujuan transmigrasi dan konsesi beberapa perusahaan kayu.

Hingga 2018, ada 14 perusahaan mendapat izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUPHHK) di Kabupaten Jayapura. Sepuluh di antaranya beralamat di wilayah ini. Jadi, meski lembah ini tampak hijau, pohon-pohon besar berumur ratusan tahun sudah banyak ditebang.

Satu perusahaan perkebunan sawit PT. Permata Nusa Mandiri bahkan sudah mendapat izin usaha perkebunan di wilayah ini. Sebagian wilayah sudah dibuka meski kini terhenti karena menuai penolakan warga pemilik ulayat.

Pada 2015, para perempuan Namblong membentuk Orpa. Orpa berawal dari keinginan untuk mengumpulkan perempuan lewat kegiatan-kegiatan seperti pelatihan mengolah makanan khas, membuat piring lidi, noken dan berbagai aktivitas lain.

“Kita ingin perempuan di kampung sambil jalan bicara tentang perempuan bahwa kitong bukan hanya kerja urus makan, urus keluarga saja, tapi perempuan juga bisa berperan aktif jadi pemimpin,” kata Dina Kekri, Sekretaris Orpa.

Perempuan, katanya, dulu tak punya hak berbicara di depan umum, seperti ada rapat hanya mendengar laki-laki bicara. “Kami mau bagaimana perempuan di kampung itu bisa maju. Jangan hanya pergi di kebun, datang kerja urusmakan urus anak, sekola juga tidak sampai keluar sana sebatas SMP dan SMA sudah tinggal,” katanya.

Orpa berada langsung di bawah Dewan Adat Suku (DAS) Namblong. Harapannya, Orpa jadi wadah bagi para perempuan Namblong belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan serta memperjuangkan hak-hak perempuan maupun masyarakat adat.

Kini, kegiatan Orpa antara lain, pendampingan perempuan korban dan kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan, kampanye perlindungan tanah dan hutan, penanaman dan pelatihan pengolahan makanan, pendidikan bahasa hingga pelatihan menganyam noken.

 

Melinjo yang ditanam di pekarangan rumah. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia 

 

Melinjo dan mahkota dewa

Pada akhir 2018, Orpa mendapat kesempatan mengakses dedicated granted mechanism (DGM) Indonesia bekerjasama dengan Samdhana Institute. Ini hibah untuk mendorong masyarakat adat dan komunitas lokal terlibat dalam memastikan hak dan akses pada hutan dan lahan serta mendapat peluang mata pencaharian dari pengelolaannya secara lestari.

Bagi Orpa, program ini bisa membantu anyam noken yang mereka lakukan jauh sebelum itu. Mereka lalu mengusulkan program penanaman melinjo dan mahkota dewa. Program ini mendukung antara lain pengadaan bibit dan berbagai pelatihan bagi pengurus Orpa dan perempuan-perempuan yang terlibat dalam program penanaman.

Kori Yewi, Koordinator Bidang Ekonomi Orpa menyebutkan, mahkota dewa dan melinjo biasa dipakai sebagai bahan baku noken karena sumber sayuran dan obat-obatan.

Masyarakat Namblong menyebut genemo untuk melinjo. Sebutan ini mirip dengan nama latin Gnetum gnemon. Konon genyem, sebutan lain untuk Lembah Grime berasal dari kata genemo.

Daun genemo biasa jadi sayuran. Gelisa, singkatan dari genemo lilin santan adalah sayuran khas Namblong yang terdiri dari campuran daun genemo dan sayur lilin yang dimasak dengan santan kelapa. Biji bisa direbus, dikupas kulit luar lalu dimakan. Serat kulit pohon jarang digunakan sebagai bahan baku noken. Justru warga suku lain di sekitar mulai coba memanfaatkan.

Melinjo memiliki banyak manfaat. Dikutip dari jurnal Gnetum gnemon Linn: A Comprehensive Review on its Biological, Pharmacological and Pharmacognostical Potentials, biji genemo mengandung material penting untuk kesehatan. Ada senyawa Stilbenoids yang bermanfaat sebagai obat diabetes, gangguan pada jantung dan pembulu darah.

Ada juga kandungan Resveratrol jadi sumber baru antioksidan alami yang efektif dalam mencegah arteriosklerosis, kanker, penyakit alzheimer, mengurangi lemak visceral dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Resveratrol bermanfaat melindungi tanaman saat diserang hama atau saat iklim sedang parah. Karena kandungan itu, melinjo bisa dikembangkan untuk produksi makanan bernutrisi dan obat-obatan.

Kalau kulit pohon mahkota dewa telah lama untuk membuat noken di Namblong. Rebusan daun jadi obat. Buah dan biji belum dimanfaatkan.

Dikutip dari tulisan berjudul Kandungan Antioksidan pada Beberapa Bagian Tanaman Mahkota Dewa, Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. (Thymelaceae) yang dimuat dijurnal Biodiversitas pada 2007, menyebutkan, baik ranting, kulit batang, biji tua, biji muda, buah tua, buah muda, daun, dan akar mahkota dewa semua bermanfaat. Di dalamnya ada senyawa antioksidan yang berfungsi mencegah berbagai penyakit degeneratif, seperti kanker, jantung, artritis, katarak, diabetes dan hati.

Penelitian lain dari oleh Irwan Swandana dan Sutjipto Ahmad Hadikusumo Kehutanan UGM pada 2020, ekstrak biji mahkota dewa dapat untuk pengawetan kayu.

Sebagai bahan baku noken, cara pengambilan kulit kedua pohon ini sama. Serat bagian dalam kulit pohon yang diambil lalu dijemur. Karena mengandung getah, serat mahkota dewa biasa dicuci terlebih dahulu sebelum dijemur. Kalau dibiarkan, getah akan menimbulkan warna hitam pada benang noken dan tampak seperti jamur. Serat yang sudah dijemur lalu dipilin membentuk benang. Benang inilah yang akan dirajut jadi noken.

Berbeda dengan mahkota dewa, proses pembibitan melinjo perlu waktu lebih lama. Selain mencoba pembibitan di rumah, bibit melinjo banyak diambil langsung di sekitar pohon di hutan. Tanah yang melekat di akar bibit melinjo harus ikut diambil agar tidak mati. Begitupun saat menanam.

Lokasi penanaman diutamakan lahan kosong bekas kebun. Keduanya bisa ditanam satu lokasi dengan jarak tiga meter. Tanaman pangan seperti pisang, ubi, dan sayuran tetap bisa tumbuh di antara keduanya.

“Selain di kebun, halaman belakang juga bisa. Jadikan pagar halaman. Ketika naik dan bercabang harus pangkas. Ketika kulit mulus, bagus. Kalau dengan cabang-cabang nanti tidak bagus.”

Perlu waktu hingga 10 tahun baru kulit melinjo bisa dimanfaatkan. Untuk mahkota dewa hanya empat sampai lima tahun.

 

 

Penguatan ekonomi perempuan

Suku Namblong memakai sistem kekerabatan patrilineal atau kekerabatan berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem pewarisan tanah pun demikian. Tanah ayah wariskan ke anak laki-laki, meski dalam banyak kasus perempuan yang sudah berkeluarga juga bisa mengakses tanah dari keluarga asalnya. Masih jadi pandangan umum, perempuan tidak berhak ikut membicarakan tanah dan hutan.

Dengan marak penjualan tanah dan perusakan hutan membuat para perempuan ikut mengkampanyekan perlindungan tanah dan hutan seperti yang dilakukan Orpa. Penanaman pohon melinjo dan mahkota dewa serta pengembangan ekonomi perempuan lewat noken adalah wujud lain kampanye perlindungan tanah dan hutan itu.

Dengan bantuan jaringan Samdhana Institut, noken Namblong sudah mulai dijual di Denpasar. Orpa membeli langsung dari perajin di Namblong. Perempuan merajut noken saat sedang bersantai di rumah atau duduk menjaga jualan di pasar.

Di Namblong, noken dengan bahan alami seukuran ponsel berharga Rp50.000, ukuran buku Rp100.000. Banyak juga yang membuat noken berukuran besar seharga Rp400.000, bahkan lebih.

Kori berharap, program ini bisa mendorong makin banyak warga menanam pohon dan panjang membantu perekonomian masyarakat terutama perempuan.

Orpa pun menanam melinjo dan mahkota dewa. “Sampai Februari 2020, ada 1.512 pohon ditanam. Sisanya, masih siap lahan dan bibit,” kata Kori.

Ada lebih dari 250 suku di Papua. Setiap suku memiliki tradisi membuat noken dengan kekhasan masing-masing mulai dari bahan baku, cara pembuatan, hingga pemanfaatan.

Pada 4 Desember 2012, Unesco menetapkan noken sebagai warisan budaya dunia tak benda. Pada 4 Desember, sudah ditetapkan sebagai Hari Noken. Di Papua, warga meramaikan Hari Noken dengan Festival Noken.

 

Keterangan foto utama: Perempuan Namblong, sedang mengambil kulit mahkota dewa untuk bikin benang anyaman noken.

 

Exit mobile version