Mongabay.co.id

Nasib Nelayan Wasileo, Sulit Es Tuna pun Rusak

Tuna yang terbuang sia-sia...FotoL dokumen nelayan

 

 

Awal April lalu, nelayan di Halmahera Timur, Maluku Utara, terpaksa mengubur tuna hasil tangkapan mereka karena rusak sebelum terjual di Pulau Morotai. Ada sekitar tiga ton tuna, dua ton dikubur di Sangowo, Morotai Timur, selebihnya dibawa lagi ke Desa Wasileo, Kecamatan Wasile Utara, Halmahera Timur.

“Katanya berbau tak sedap karena kekurangan es untuk pendinginan ikan itu,” kata Muksin Goroahe, nelayan Wasileo, Wasile Utara, Halmahera Timur, 9 April lalu.

Saat dihubungi dari Ternate, dia bilang, belum melaut karena rapat bersama kelompok nelayan membahas ikan rusak karena kurang es.

Dia bilang, tuna sekitar tiga ton dibawa ke pengepul di Morotai dan rusak. “Torang pe ikan dibawa ke Morotai karena ada yang meminta stok yang ditangkap segera dibawa. Sayangnya, sampai di perusahaan dikatakan ikan sudah rusak atau berbau karena kekurangan es,” katanya.

Tuna itu hasil tangkapan 15 armada nelayan selama dua hari, pada 3-4 April. “Kami bawa sekitar tiga ton atau hampir 100 ekor lebih. Tuna ini terpaksa kami kubur. Ada dua ton dikubur di Morotai.”

Hasil tangkapan, katanya, melimpah namun es terbatas hingga ikan rusak cepat. Di kampung juga tak ada es balok atau es butiran. Mereka gunakan es dari Morotai. Di Morotai, mayoritas nelayan tuna di bawah naungan Koperasi Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai, yang ditangani langsung perusahaan pembeli tuna, PT Harta Samudera.

Es itu kadang tidak mencukupi. Apalagi, harus memenuhi kebutuhan di luar koperasi nelayan dari Halmahera Timur.

Nelayan pun alami kerugian tak sedikit. Bukan hanya tak dapat uang, mereka juga harus menanggung utang bahan bakar 15 armada. Bahan bakar ini, katanya, harus mereka bayar ke pengepul yang sudah menyediakan bahan bakar maupun es balok kepada nelayan.

“BBM dibeli per liter Rp12.000 dan terpakai ada sekira dua ton. Artinya, nelayan berutang lagi karena ikan mereka tidak laku.“ Kebanyakan nelayan berutang ke pengepul. “Kerugian kami tidak kurang Rp50 juta.”

Muksin bilang, nelayan lebih memilih menjual hasil ke Morotai ketimbang ke Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Manitingting di Haltim. Jarak dari Wasileo ke PPI Manitingting sekitar 135 kilometer. Dari Wasileo ke Morotai, hanya 36 kilometer atau dengan transportasi laut sekitar tiga jam lebih.

“Perusahaan di PPI Manitingting membeli ikan kami murah jadi tidak dijual ke sana. Ikan tidak masuk ukuran ekspor dibeli per kg hanya Rp5.000,” kata Muksin.

 

Nelayan mengubur tuna yang rusak karena kurang es. Foto: dokumen nelayan

 

 

Perlu bantuan pemerintah

Ketiadaan es dan fasilitas pendukung itu membuat Mansur dan nelayan lain meminta pemerintah kabupaten, provinsi maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan perhatian serius pada isu ini.

Mereka berharap, kasus tuna rusak karena tak punya cukup es tak terulang.

“Pabrik es ada juga di Haltim tetapi terlalu jauh dari daerah operasi nelayan,” katanya. Pabrik es ada di PPI Manitingting.

Muksin minta pemerintah membangun pabrik es berkapasitas lima ton di Wasileo, agar bisa membantu nelayan di wilayah itu.

“Saya yang sponsor BBM dan es untuk nelayan Wasileo. Saat dibawa datang ikan rusak. Saat dibawa ke perusahaan pembeli tuna di SKPT Morotai, juga ditolak,” kata Kahar Lastori, pengepul tuna asal Haltim.

Dia membenarkan kekurangan es jadi sumber masalah hingga tuna rusak. “Saya beli es balok di pabrik es Morotai per per balok Rp10.000. Ada 80 balok total Rp3 juta, dibawa ke Halmahera Timur. Itu juga tidak cukup,” katanya saat dihubungi via telepon.

Saat nelayan melaut satu setengah hari, dia menelepon dan menanyakan hasil tangkapan. Nelayan bilang, ada tuna sekitar satu ton lebih dan meminta waktu keesokan hari baru ke Morotai. Dia minta agar tambah es karena tuna sekitar tiga ton.

Keesokan hari, dia minta tuna segera bawa ke Morotai   agar tak rusak. Sampai di Morotai, 5 April siang, ikan dibawa ke perusahaan pembeli tuna, ternyata sudah berbau dan rusak. Perusahaan pun tak mau membelinya.

“Perusahaan mengecek daging, semua sudah berbau. Akhirnya,  saya minta ikan dikeluarkan dari pabrik pengolahan. Perusahaan membeli ikan yang kualitas baik,” katanya. Hanya ada enam tuna seberat 177 kilogram seharga Rp4 juta, sisanya, terpaksa dikubur.

Mereka mencoba membawa 25 tuna ke pasar tetapi tidak semua laku karena daging sudah terasa gatal. “Sebagian kita berikan ke warga untuk abon ikan.”

Dia bilang, ke depan harus ada pabrik es di Wasileo hingga nelayan tak membuang percuma ikan mereka. “Kami keluhkan juga es yang dijual sekarang ini kebanyakan sudah bolong. Standar 50 kg, ternyata hanya 20 kilogram karena banyak bolong,” katanya.

Hamka Lastori, pengepul, mengaku rugi sampai Rp100 juta. “Kami rugi lumayan besar karena BBM, es, dan kebutuhan nelayan kami sediakan,”katanya.

Sebagai pengepul, dia juga meminta pemerintah memperhatikan persoalan ini. Setidaknya, kata Lastori, ada pabrik es tidak jauh dari operasi nelayan, misal, di Haltim ada pabrik es kapasitas lima ton. “Kalau tidak, kasus ikan rusak akan tetap terjadi.”

Hamka bilang, kejadian ini bukan kali pertama. Setiap tahun, mereka mengubur ikan karena kurang es terutama saat tangkapan meningkat.

“Tahun lalu, sekitar tujuh ton tuna dikubur di sekitar SKPT Morotai. Setahun sebelumnya sama, tidak ada es, dibuang percuma.”

Usman Siruang, juga pengepul tuna di Morotai, mengatakan, pemerintah mesti bangun pabrik es di sana. Es, katanya, jadi keperluan utama dan kendala terbesar nelayan tuna saat ini.

“Kami butuh es. Kalau sudah ada ikan juga agak tahan lama.”

Dia bilang, kalau ada bangun sarana dan prasarana, bisa meningkatkan ekonomi nelayan tuna.

Dalam kasus ini, dia duga tak hanya soal es, tetapi ada kemungkinan soal penanganan hingga tuna rusak. “Bisa juga air tidak diganti menyebabkan kerusakan. Bisa jadi terlambat penanganan.”

Asmar Daud, Kepala Dinas Perikanan Halmahera Timur mengatakan, masalah ini seharusnya sudah tanggung jawab pengusaha atau pengepul. Pengepul, katanya, yang datang membeli ikan nelayan harusnya sudah menyiapkan kebutuhan es sampai cukup agar tak rusak.

Dia contohkan, selama mengizinkan pembeli dari Bitung, Sulawesi Utara, masuk, tuna daerah itu tak pernah ada masalah. Pembeli, bahkan berjaga berbulan bulan untuk membeli ikan nelayan.

“Tidak pernah ada ikan rusak. Itu karena mereka telah menyediakan es cukup untuk kebutuhan pengawetan ikan.”

Soal perhatian pemerintah daerah kepada nelayan, kata Asmar, sudah dirasakan nelayan, seperti bantuan armada ke Haltim. Pemkab Haltim, katanya, juga membangun PPI Manitingting yang menyediakan pabrik es 14 ton per hari,   lemari pendingin (cold storage) berkapasitas 100 ton, solar packet dealer nelayan (SPDN ) maupun mes nelayan.

“Semua fasilitas sudah disediakan.”

Sekarang, ada masalah di pembeli. Mereka membeli ikan nelayan tetapi tak menyediakan sarana. Pembeli dari Bitung, katanya, tidak ada masalah ikan rusak. Mereka juga selalu memberikan laporan beli ikan ke Haltim.

Dia membenarkan, pabrik es di PPI jauh dari wilayah ini. Sedang untuk bangun pabrik es, katanya, ada beberapa masalah, seperti infrastruktur pendukung dan akses. “Ini berhubungan dengan akses dan ketersediaan listrik. Jalan darat ke wilayah itu juga belum terbuka. Listrik juga terbatas. Belum lagi soal lahan.”

Memang katanya, sudah ada rencana dan usulan sejak 2017 dan 2018 bahkan 2020. Hanya, kewenangan mengusulkan itu ada di provinsi ke pusat.

“Kami juga berusaha mengusulkan langsung ke KKP melalui rekomendasi provinsi. Hanya, usulan itu hingga kini belum ada tindak lanjut,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Tuna yang terbuang sia-sia. Foto:  Dokumen nelayan

Exit mobile version