Mongabay.co.id

Orang Seko Ingin Ruang Hidup Tetap Terjaga [3]

Kampung tenun Salurante di Kecamatan Rongkong, menjadi pemandangan indah ketika menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Andry Karyo, Piter Yosafat, Amisandi, Pieter Karra, Sarah, dan puluhan warga Seko lain, kini lebih tenang. PLTA, yang mengancam ruang hidup mereka urung terbangun berkat perlawanan gigih warga. Orang-orang ini belajar tentang perjuangan. Dalam kisah leluhur, orang Seko, acapkali menghindari konflik kalau masih ada jalan tengah.

Ketika DI/TII mendatangi kampung mereka, dekade 1960-an warga mereka memilih menyingkir, tak melawan. Kini, tak ada jalan mengalah, meninggalkan kampung berarti membumihanguskan segala macam kenangan. Melenyapkan identitas.

Mereka telah berkumpul dan saling memberi pelukan. “Tenang sekali sekarang, seperti sedia kala. Pagi-pagi kami ke kebun. Sore kami pulang, lalu jelang malam kami bertemu keluarga, berbagi cerita. Seperti itu. Indah ya,” kata Amisandi, salah satu warga yang sempat masuk penjara.

Amisandi, orang yang ramah. Senyum khas, ketika melucu tak tertawa. Dia mantan anggota TNI, yang keluar dari kesatuan. Pada 2019, ketika perusahaan itu membawa peralatan meninggalkan kampung, warga baru dapat bernapas lega.

“Itu seperti apa ya, seperti lapar, lalu ada makanan. Nyaman sekali,” katanya.

Warga berusaha mempertahankan ruang hidup dengan berat. Sejak 2014 sampai 2018, mereka alami perlakuan diskriminatif, intimidasi, hingga masuk penjara. “Betul, kalau mau menghitung kami lebih rugi. Kebun kami tak terurus dan kami merasa tidak aman,” kata Pieter Karra.

 

Kondisi jalan dari Lambiri menuju Eno, pusat Kecamatan Seko yang sudah dilakukan pengerasan Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Ribuan tahun lalu, sebelum orang mengenal Seko, sebagai tempat sewa ojek termahal, tempat orang-orang di pedalaman, mereka lebih awal memulai peradaban. Ketika para penutur Austronesia ini memasuki punggung Sulawesi dan membuat pemukiman di Kalumpang, orang-orang ini mengembangkan tradisi tenun, hingga pertanian.

Sekitar 4.000 tahun lalu, Kalumpang bagai tempat dengan peradaban tinggi. Orang-orang ini kemudian migrasi, menuju Seko, lalu Rampi dan Lembah Bada. Inilah yang dikatakan beberapa arkeolog sebagai garis awal peradaban zaman neolitik bermula. Masa lumbung-lumbung pangan mencapai titik surplus.

Desa Hoyane, secara administratif adalah desa terakhir di Seko yang berbatasan dengan Kalumpang, Sulawesi Barat. Di desa ini, saya menemukan batu megalitik, peti kayu berukir dan beberapa pecahan keramik tua. Di ceruk tebing dan gemuruh air Sungai Betue di depannya, puluhan kalau tak ingin menyebut ratusan peti jenazah itu tergeletak, berukuran kecil. Peti dengan jenazah tak dibaringkan, melainkan dalam posisi duduk.

“Karena konflik dengan PLTA, kami menelusuri kembali jejak leluhur. Mendatangi kembali kuburan ini, dan orang-orang mulai merasa penting menjaganya. Sebelumnya kami tak peduli,” kata Andry.

Sebentar lagi hujan akan mengguyur. Awan tebal menggantung tampak di atas menara gereja. “Apa yang kami butuhkan, tidak banyak, hanya ketenangan seperti ini. Orang datang, lalu membawa cerita ke luar, bahwa kami bukan manusia tak beradab. Kami punya kebudayaan, kami punya leluhur yang mengajari kami cara beradaptasi,” kata Yosafat.

 

Masa-masa warga protes kala PLTA Seko, mau mulai pembangunan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 Harapan atau ancaman baru?

Kala jalan besar belum terbuka, warga lewat Rongkong untuk menembus Seko. Orang-orang Seko, mengunjungi Masamba pusat Kabupaten Luwu Utara, melalui Kampung Lodang, melipir di Kaki Gunung Kambuno, melewati pugunungan, lalu keluar di Kampung Pararra. Ini perlu sehari perjalanan.

Ketika Belanda memasuki pelosok, mereka membuka akses agar kendaraan dapat menembus Seko. Akses inilah yang diperluas sampai sekarang. Saat musim hujan, perjalanan dapat memakan waktu sampai tiga hari. Beberapa jalan awal lebih kecil, sudah dilupakan, meski jarak tempuh jauh lebih singkat. Kala musim hujan, dan jalan berlumpur, masyarakat melalui pakai motor, sekitar lima jam.

Akhir 2019, pemerintah Sulawesi Selatan memperlebar akses jalan itu. Mengikis kembali tebing membuat jalan makin lapang. Banyak orang bersorak gembira. Gubernur Nurdin Abdullah, beberapa kali menjajal jalan itu. Di akun media sosialnya, dia memamerkan bagaimana kepiawaian mengendarai kendaraan sendiri. Unggahan foto-foto dan video, dengan keterangan kalau akses sudah mulus dan perjalanan dari Sabbang menuju pusat Kecamatan Seko, dapat ditempuh hanya empat jam.

Sebelumnya, ketika kampanye, Gubernur Nurdin, mengunjungi Seko pakai helikopter kuning Andi Syamsuddin Arsyad, dikenal sebagai Haji Isam, pengusaha keturunan Bugis Bone, dengan bisnis antara lain batubara di Kalimantan Selatan.

Belakangan, ketika awal menjabat, Nurdin melalui parlemen, dalam rapat pengajuan anggaran, mengusulkan pembelian helikopter agar mobilitas cepat. Parlemen menolak. Seorang anggota parlemen mengatakan, itu masukan ambisius yang tak seharusnya. “Itu kan idenya dia (gubernur) saja. Helikopter yang diusulkan juga bekas, ya itu, yang digunakannya waktu kampanye,” katanya.

Gubernur Nurdin, telah jatuh hati pada Seko. Pergantian 2019, menuju 2020, dia menyambut di Seko. Di lapangan utama pusat kecamatan, dibangunlah panggung besar. Pemerintah mendatangkan penyanyi dangdut Ikke Nurjanah. Seko bergoyang. Malamnya, letusan kembang api menerangi langit.

Kini, Seko dikenalkan sebagai harapan baru ekonomi Sulawesi Selatan. Dia membuka keran investasi memasuki kawasan itu, salah satu peternakan sapi, dijajal pemerintah Australia, dan Sinar Mas.

Andi Muhammad Yamin, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sulawesi Selatan, mengatakan, program peternakan itu jadi salah satu prioritas. Kelak, katanya, Dinas Peternakan Sulsel akan mendampingi masyarakat.

“Tapi siapa perusahaan yang menginginkan investasi peternakan, masih terus dijajaki. Sinar Mas ada kabar mereka mau. Dari Australia juga mau. Semua belum fix,” katanya.

Seko tanah kaya. Di tempat ini, perut bumi mengandung beragam mineral, mulai bijih besi, emas, hingga potensi perkebunan, termasuk pengembangan ternak.

 

Lembah di Sae, sebagai titik bendungan PLTA. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Adalah PT Seko Fajar Plantation, perusahaan pemegang izin hak guna usaha perkebunan dengan izin pada 16 Agustus 1996, dan akan berakhir 16 Agustus 2020. Dengan luas 23.718 hektar, dalam dua izin HGU, pada tahap pengajuan, perusahaan ini akan mengembangkan perkebunan kopi, teh dan markisa. Perusahaan masuk sempat mendapat protes warga. Izin HGU ini tersebar di Seko Padang di Desa Embonatana, Lodang, Padang Raya, Padang Balua, Taloto, Hono, dan Desa Marante.

Salinan putusan itu menyatakan kalau Seko Fajar Plantation beralamat di Wisma Argo Manunggal, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Alamat ini juga digunakan Argo Manunggal Group, sebuah perusahaan multi nasional dengan bisnis hampir di seluruh penjuru Indonesia dengan pemilik The Ning King. Pada 2015, Forbes menobatkan The Ning King ini orang terkaya Indonesia ke 49 dengan kekayaan US$410 juta atau Rp5,33 triliun (kurs Rp13.000 per US$).

Grup Argo Manunggal ini mengelola bisnis tekstil, baja, unggas, properti, pertambangan, energi, pipa PVC, asuransi hingga perkebunan. Meski demikian, agak sulit melacak jejak digital perusahaan besar ini.

Di Seko, tak ada operasi di lahan HGU. Akhirnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Selatan Januari 2012, menempatkan sebagai tanah terlantar. Seko Fajar Plantation, tak terima. Perusahaan mengajukan gugatan pada tahun sama, melalui Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta.

Dalam putusan sidang pada 16 Agustus 2012, Seko Fajar memenangkan gugatan. Putusan hakim, meminta BPN mencabut surat keputusan sebagai tanah terlantar. Bagi perusahaan, tuduhan BPN tak masuk akal dan tak mungkin dilakukan.

Keputusan awal pemerintah daerah harus bangun jalan tak pernah terlaksana. Yang bangun jalan, Seko Fajar.

Ketika Seko Fajar sudah merintis akses jalan, tersisa 50 km, Pemerintah Luwu Utara memberikan 14 surat keputusan wilayah pertambangan kepada beberapa perusahaan pada 2011, yang masuk HGU Seko Fajar.

Perusahaan-perusahaan itu antara lain, PT Kalla Arebamma luasan 6.895 hektar, PT Aneka Tambang 5.167 hektar, PT Sapta Cipta Kencana 14.330 hektar, PT Andalan Prima Cakrawala, 6.895 hektar. Lalu, PT Trisakti Panca Sakti luas 8.136 hektar, PT Dataran Seko Perkasa luas 88.620 hektar, PT Citra Palu Mineral 12.010 hektar. Kemudian, PT Seko Bukit Mas 11.680 hektar dan PT Samudra Raya Prima 14.330 hektar.

“Telah terbukt Bupati (Luwu Utara) ada pihak-pihak yang berusaha agar HGU atas nama penggugat (Seko Fajar) dicabut untuk mendapatkan izin pertambangan,” bunyi salinan putusan. Juga terbukti, Bupati Luwu Utara dengan surat tertanggal 20 Desember 2010, No.100/264/Adm.PemUmum mengusulkan pencabutan HGU Seko Fajar.

Ketika saya melalui jalan besar itu, pada 2015, 2018, dan 2020, ini rute yang melelahkan. Berada di jok belakang motor, bertumpu bersama barang, membuat semua tubuh berguncang. Pantat, kaki, dan badan bisa kram. Pada keadaan tertentu, penumpang harus turun dari motor melewati kubangan yang dalam.

Di Sodangan, titik persimpangan menuju ke pusat kecamatan, hamparan padang membentang. Di punggungan bukit hingga di lembah. Hamparan padang inilah masuk izin HGU Seko Fajar.

“Konsesi kami bukanlah tanah terlantar,” kata PT Seko Fajar, dalam pembelaannya di salinan putusan.

Di Seko, warga hidup rukun. Mereka berkebun dan beternak. Ada ratusan sapi dan kerbau di padang. Warga juga bertani kakao dan sawah ladang. Tak ada irigasi yang memadai di wilayah ini, tetapi cukup memberi mereka panen melimpah setiap tahun. Lumbung-lumbung pangan warga selalu penuh, beras bahkan dijual ke Pasar Sabbang dan Masamba. “Tak ada orang kekurangan makanan di Seko. Tidak ada itu,” kata warga.

Padi warga tumbuh tanpa pestisida. Mereka menanam padi jenis lokal, dengan rentang tanam hingga enam bulan. Kalau, melihat mereka menanak nasi di dapur, aroma nasi begitu harum. Bulir juga besar dan padat. Tukang-tukang ojek mengambil beras orang Seko dengan harga Rp8.000 per kilogram dan di Sabbang atau Masamba dijual Rp10.000-12,000 per kilogram.

Di Seko, wilayah terisolir karena jalan buruk, membuat beragam stigma menghampiri mereka. Disebut sebagai orang udik, terbelakang dan miskin, dan penuh mistis.

Tentu hal itu keliru. Mereka adalah orang-orang yang memiliki penghasilan dengan hasil pertanian melimpah. Kopi, kakao, ternak, dan beras saban waktu tak pernah berhenti. Inilah yang jadi ketakutan ke depan, kelak kalau jalan mulai bagus, dan akses kendaraan mudah, warga Seko akankah berubah?

Andry Karyo menghela napas panjang. Dia mengusap wajah. “Saya tidak tahu. Tapi jelas itu memungkinkan perubahan. Benar, kami harus memikirkannya. Kalau beras kami hilang, identitas kami tentu saja ikut lenyap,” katanya. (Selesai)

 

 

Keterangan foto utama: Kampung tenun Salurante di Kecamatan Rongkong, menjadi pemandangan indah ketika menuju Seko. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version