Mongabay.co.id

Perempuan Kendeng Pertanyakan Operasi Pabrik Semen di Masa Pandemi

Pada 12 April lalu, 10 perempuan Kendeng, mempertanyakan pabrik semen yang terus operasi di masa pandemi Corona. Mereka aksi dengan jaga jarak dan pakai masker. Aksi itu bagian perlawanan kesekian kali para perempuan Kendeng atas operasi industri ekstraktif di wilayah mereka. Pabrik semen dianggap mengancam sumber air, ekosistem, dan mata pencaharian para petani. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

 

 

 

Sepuluh perempuan berdiri di jalan masuk ke conveyer pabrik semen di Rembang milik PT Semen Indonesia. Empat pria menemani mereka. Sejumlah truk pengangkut batu gamping lalu lalang.

Para perempuan itu mengenakan caping, memakai masker. Beberapa dari mereka mengangkat poster dan menggenggam bendera Merah Putih.

“Kartini Kendeng Karantina Corona.” “Jarene Dikon Nang Omah Wae Lha Kok Jeh Kumpul Nang Pabrik Semen.” (Katanya Disuruh di Rumah Saja Lha Kok Masih Kumpul di Pabrik Semen). Bergitu antara lain spanduk yang dibawa para perempuan Kendeng ini.

“Jarak ke pintu masuk tidak sampai 50 meter. Dekat pos satpam. Ada satpam yang ikut mengambil foto juga,” kata Sukinah, kepada Mongabay saat dihubungi 14 April lalu.

Sukinah adalah petani sekaligus tokoh Kartini Kendeng yang selama ini menyuarakan tuntutan penolakan kehadiran pabrik semen di wilayah mereka.

“Kemarin itu situasinya kan lagi tidak boleh kumpul banyak-banyak. Nanti kalau banyak repot juga,” kata Yu Sukinah, panggilan akrabnya, menceritakan aksi mereka 11 April lalu, sembari menjelaskan mengapa protes hanya melibatkan sedikit warga.

Aksi itu bagian perlawanan kesekian kali para perempuan Kendeng atas operasi industri ekstraktif di wilayah mereka. Pabrik semen dianggap mengancam sumber air, ekosistem, dan mata pencaharian para petani.

“Dalam keadaan seperti sekarang ini, pemerintah yang dipikir harusnya pangan buat rakyat. Jadi bukan pabrik semen yang dilaju (jalan) terus. Pabrik semen seharusnya berhenti. Rakyat disuruh lockdown, disuruh duduk-duduk di rumah, tapi pabrik semen jalan terus kan tidak baik juga,” katanya.

 

 Suburnya tanaman petani di Kendeng, membantah pernyataan pemerintah dan perusahaan bahwa Kendeng kering dan tidak subur. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Pangan? Aman

Di masa pandemi ini petani Kendeng tidak begitu resah soal kecukupan pangan. Mereka justru mengkhawatirkan warga yang tinggal di kota yang mereka anggap sebagai sedulur (saudara) itu.

“Sekarang ini musim panen, meski hasilnya menurun. Masalah pangan petani tidak resah. Kita kan punya dulur-dulur di kota. Walupun bukan saudara kandung tapi dulur kita banyak sekali. Mereka juga harus diperhatikan pemerintah, supaya bisa sejahtera itu bagaimana. Meskipun lockdown bagaimana tetap bisa makan.”

Walau ada pandemi, sejauh ini aktivitas petani Kendeng masih seperti biasa. Pergi ke ladang atau sawah, merawat dan memanen hasil pertanian. Berbeda dengan mereka yang tinggal dan harus bekerja di kota. Pendapatan turun, kesulitan pangan, mau pulang pun takut menularkan virus.

“Kalau di sini ada pengepul, jadi diambil pengepul. Kalau panen padi kan tidak dijual, cuma panen jagung yang djual, atau yang lain. Kalau padi disimpan. Kalau tidak ada uang baru dijual.”

Sukinah menyayangkan pabrik semen terus berjalan dan tak menghiraukan pandemi.

“Jadi jangan pabrik semen yang disuruh laju terus, kerusakan malah tambah. Saya rasa pagebluk (pandemi-red) ini mungkin peringatan dari alam juga.”

 

Ancaman lagi…

Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyebut, ekosistem Kendeng terancam dengan jalan penghancuran Pegunungan Kendeng makin terbuka. Pada 9 April lalu ditandatangani perjanjian pendirian perusahaan patungan antara PT Semen Indonesia dengan enam Bumdes sekitar pabrik semen Rembang. Hadir antara lain, Menteri BUMN Erick Thohir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Direktur Utama Semen Indonesia Group Hendi Santoso, Bupati Rembang Abdul Hafidz. Beberapa pejabat itu hadir melalui fasilitas video conference.

“Bagi kami, ini sinyalemen kuat ke depannya, penghancuran ekosistem Pegunungan Kapur Purba Kendeng akan makin masif. Bagi kami, pelibatan Bumdes sekitar pabrik semen Rembang merupakan legitimasi masyarakat yang palsu,” kata Sukinah dalam keterangan yang dibagikan kepada media.

Ujung dari pendirian perusahaan itu, katanya, hanya akan bicara soal keuntungan finansial, bukan keadilan lingkungan yang jadi kerisauan utama warga penolak pabrik semen.

Mereka mengkhawatirkan kelestarian Kendeng, merupakan habitat kelelawar dan spesies liar lain. Seharusnya, pemerintah mempertimbangkan ini di tengah pandemi Virus Corona yang menurut penelitian berasal dari virus kelelawar. Kerusakan pada habitat kelelawar berpotensi berdampak pada manusia.

JMPPK menyebut, meremehkan apalagi menyangkal data ilmiah merupakan cacat berpikir yang sudah harus dihindari. Termasuk mengabaikan penjelasan ilmiah akan potensi habitat kelelawar dan spesies liar lain hilang kalau penambangan dan pabrik semen berlangsung.

“Itu belum termasuk rusaknya sumber air dan sumber pangan yang menghidupi tidak hanya manusia, juga spesies-spesies hewan.”

Di tengah krisis Corona ini, JMPPK mengingatkan, semua pihak menekan risiko sekecil apapun terjadi bencana epidemi dari kerakusan manusia terhadap alam. Di Rembang dan Pati, penambangan batu kapur Kendeng terus berlangsung.

“Tindakan ini, menurut kami membuat Virus Corona atau potensi virus-virus lain lebih dekat dan makin dekat dengan kami yang secara faktual sebagai entitas yang paling dekat dengan habitat berbagai virus (atau setidaknya potensi virus) itu,” bunyi pernyataan itu.

JMPPK beranggapan andai pembatasan berskala besar terhadap upaya eksploitasi alam dilakukan maka potensi penyebaran virus seperti Corona bisa dicegah. Dampak katastropik dari penyebaran penyakit pun bisa dihindari.

Pembatasan berskala besar itu seharusnya terhadap upaya eksploitasi yang menghancurkan ekosistem dan habitat asli hewan liar semacam kelelawar yang berpotensi menularkan virus ke manusia. Caranya, menghentikan penghancuran alam di Pegunungan Kendeng dan menutup pabrik semen di Rembang.

 

Aksi perempuan Kendeng, protes pabrik semen masih operasi kala pandemi Corona. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

 

 

KLHS dan ekosistem kelelawar

Aksi di jalan masuk tambang itu sekaligus memperingati tiga tahun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang pertama kali rilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 12 April 2017.

KLHS Pegunungan Kendeng dibuat berdasar permintaan warga petani yang tergabung dalam JMPPK kepada Presiden Joko Widodo di Istana Jakarta pada 2 Agustus 2016. Sesuai bunyi Pasal 3 ayat 2 PP Nomor 16/2016, masyarakat dapat meminta penyusunan KLHS bila terdapat kebijakan, rencana, program yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan hidup.

Dalam dokumen itu, KLHS Pegunungan Kendeng menghasilkan dua rekomendasi. Pertama, merekomendasikan pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (pre-cautionary principle) dan prinsip pencegahan (prevention principle), terutama untuk wilayah-wilayah tertentu yang jadi ajang sengketa dan konflik akses sumber daya alam.

Kedua, merekomendasikan perbaikan kebijakan, rencana, dan program yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Tengah, dan Rencana Tata Ruang Kabupaten terkait kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan.

Koordinator Tim KLHS dipimpin Soeryo Adiwibowo, pakar bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Anggota tim terdiri dari pakar berbagai bidang dari perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Pengerjaan dokumen KLHS dibagi jadi dua tahap yang merupakan kesatuan. Pertama, KLHS fokus sekitar ekosistem karst Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih. Kedua, KLHS untuk seluruh Pegunungan Kendeng di Kabupaten Pati, Rembang, Grobogan, dan Blora (Jawa Tengah), serta di Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan (Jawa Timur).

Dalam dokumen itu, kalau CAT Watu Putih sebagai kawasan lindung tetap ditambang, akan timbul kerugian setara Rp2,2 triliun per tahun. Ini valuasi dampak kerusakan sumber daya air, untuk lahan pertanian dan rumah tangga, degradasi jasa ekosistem yaitu kelelawar, hilangnya nilai ekonomi wisata air Pasuncen dan wisata gua, serta biaya pengobatan. Pendirian pabrik semen di Rembang sendiri mendekati Rp5 triliun.

Dari dokumen KLHS diketahui, beberapa jenis kelelawar mendiami goa-goa di kawasan CAT Watu Putih. Kajian terkait jelajah kelelawar di Goa Joglo, Wiyu, Rambut, Nglengkir, dan Temu yang terkumpul dalam kajian tahap satu berasal dari Cahyo Rahmadi, peneliti LIPI.

Kelelawar di Rembang adalah jenis pemakan serangga, yang berperan mengendalikan populasi hama perkebunan dan pertanian. Kelelawar pemakan serangga diketahui memiliki daya jelajah sampai 10 kilometer.

Selain itu, dipastikan di karst Watu Putih juga terdapat kelelawar penyerbuk. Meski belum ditemukan di goa-goa di Karst Watu Putih, keberadaan mereka terlihat dari populasi pohon petai di Kecamatan Gunem yang ada di karst Watu Putih. Gunem jadi penghasil petai terbesar di Rembang. Petai salah satu komoditas yang bergantung pada keberadaan kelelawar penyerbuk.

Tim kajian juga menyebut, kawasan jelajah kelelawar masuk dalam zona batas pemanfaatan untuk keperluan industri. Kondisi ini bisa berakibat perubahan pola jelajah, kelelawar pun bermigrasi ke daerah lain.

Selain itu, populasi serangga bakal terganggu pola distribusinya karena keberadaan proyek eksplorasi. Ini turut mempengaruhi pola jelajah kelelawar sebagai pemakan serangga.

Kelelawar di area pemukiman berperan dalam mengendalikan serangga yang bepotensi menjadi sumber penyakit, misal, nyamuk.

Sigit Wiantoro, mengatakan habitat kelelawar di goa sekitar Kendeng harus dijaga. Terkait Covid-19, tidak ada alasan lantas membasmi kelelawar seperti terjadi di beberapa daerah.

“Kelelawar sudah lama hidup berdampingan dengan manusia dan selama ini tidak masalah. Artinya, manusia dan kelelawar bisa hidup berdampingan. Perlu dicatat transmisi COVID-19 itu dari manusia ke manusia. Bukan hewan ke manusia, jadi tidak ada alasan untuk membasmi kelelawar demi mencegah penyakit,” kata Sigit Wiantoro, peneliti LIPI pada diskusi online dengan judul “Di tengah Corona Bencana Kembali Hadir di Kendeng Utara,” 12 April lalu.

Sejauh ini, ditemukan sekitar 1.400 jenis kelelawar di seluruh dunia. Sebanyak 239 jenis ada di Indonesia. Di alam, kelelawar mempunyai peran sebagai penyerbuk, misal, pada petai dan durian. Kelelawar juga punya peran sebagai penyebar biji tanaman. Berfungsi dalam meregenerasi hutan. Satwa ini juga diketahui sebagai pengendali serangga, mengontrol populasi hama maupun vektor penyakit.

“Setiap malam ia bisa makan serangga seperempat sampai hampir sama dengan berat tubuhnya.”

Menurut dia, kelelawar punya peran penting bagi manusia dan lingkungan. Kalau hilang, jasa lingkungan kelelawar pun hilang.

Diskusi itu juga mengundang Gunretno (JMPPK), Sukinah, Joko Prianto (petani Rembang), dengan moderator Syamsudin Arif (LBH Semarang).

 

Sumber air yang ada malah terancam. Sumber mata air dari Pegunungan Kendeng, jadi sumber hidup warga dan tanaman pertanian masyarakat sekitar. Apakah penerbitan amdal bermasalah tak jadi kekhawatiran pemerintah yang bisa mengancam hidup rakyat ke depan? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menjaga Ibu Bumi

Soal penolakan pada sejumlah institusi dan pejabat atas hasil KLHS, Soeryo Adiwibowo mengatakan, sikap itu menunjukkan bukti komitmen pemerintah lemah dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi warga Kendeng.

“Pemerintah pusat dan daerah yang tidak kunjung mengeksekusi menunjukkan lemahnya komitmen, yang menyebabkan JMPPK berada dalam ketidakpastian lagi,” katanya dalam diskusi di LBH Semarang, 12 April lalu melalui jaringan internet.

“Sesungguhnya, KLHS disusun atas permintaan rakyat dan diakomodir dalam PP (peraturan pemerintah-red). Seperti aturan lain, KLHS sama-sama harus diikuti hasilnya. Harusnya jadi tata laku oleh institusi. Ini bukan KLHS JMPPK tapi KLHS presiden.”

Dia menilai, perjuangan JMPPK sebagai organisasi akar rumput yang akhirnya didengar presiden sebagai upaya luar biasa. Namun, kelompok ini perlu menyiapkan strategi baru sebab situasi yang sama kemungkinan muncul lagi karena tata kelola dan komitmen lemah dari pemerintah.

Gunretno menceritakan, bagaimana kerap dipingpong pejabat maupun dinas saat mengadukan permasalahan pabrik semen.

“Sudah ada KLHS tapi ternyata aparat di bawah tidak singkron. Padahal KLHS kami perjuangkan dengan berat sampai ke presiden. KLHS adalah jawaban dari konflik panjang dalam menolak pabrik semen.“

Joko Prianto menyayangkan, kerja sama BUMN dengan sejumlah Bumdes di Rembang. Di tengah pandemi sepatutnya tidak melakukan kegiatan seperti itu.

“BUMN tidak memberi contoh yang baik terhadap masyarakat. Seharusnya mereka fokus pada penanganan Virus Corona. Karena di mana mana semua elemen sedang fokus, sedang mengkarantina, jaga jarak.”

Sukinah kembali menegaskan sikap perempuan Kendeng. Mereka memilih menyelamatkan lingkungan dari kerusakan pabrik semen dan pertambangan lain.

“Maka, dulur-dulur di Kendeng terutama di Rembang terus menerus ikut menyuarakan kerusakan akibat pabrik semen di Rembang. Ibu-ibu ikut bertanggung jawab menjaga agar ibu bumi tidak rusak. Ibu-ibu merasa ibu bumi sudah memberi. Lewat ibu bumi bisa makan, bisa minum, bisa bernapas dengan udara segar.”

 

Keterangan foto utama: Pada 12 April lalu, 10 perempuan Kendeng, mempertanyakan pabrik semen yang terus operasi di masa pandemi Corona. Mereka aksi dengan jaga jarak dan pakai masker. Aksi itu bagian perlawanan kesekian kali para perempuan Kendeng atas operasi industri ekstraktif di wilayah mereka. Pabrik semen dianggap mengancam sumber air, ekosistem, dan mata pencaharian para petani. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

 

Exit mobile version