Mongabay.co.id

Wabah Corona, Kina dan Wajah Bandung Raya

 

Kesehatan, kini menjadi prioritas bagi semua. Sejak pandemi COVID-19, aspek Kesehatan menjadi dinomorsatukan. Pemerintah dibuat repot mengatur pembatasan sosial agar persebaran virus dapat ditekan.

Lima kepala daerah di wilayah Bandung Raya juga tak kalah repot mengurusi kotanya. Setelah rapat berkali-kali, akhirnya mereka bersepakat, mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kepada pemerintah pusat melalui Gubernur Jabar Ridwan Kamil.

“Barusan saya beres rapat dengan kepala daerah dari Kota Bandung, Cimahi, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Sumedang, kita menyepakati surat pengajuan PSBB itu akan dikirim ke Kementerian Kesehatan paling telat hari Kamis besok, tanggal 16 (April 2020),” kata Ridwan dalam siaran persnya, Selasa (14/4/2020).

Usulan PSBB itu, diambil dengan mempertimbangankan angka penyebaran COVID-19, yang datanya terus menanjak di Bandung Raya. PSBB dibutuhkan agar penularan tak bertambah luas.

Sejak pembatasan social, kawasan Braga misalnya, kawasan dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat Van Indie saat Hindia Belanda berkuasa, lengang dihajar sepi. Demikian juga, sepanjang Jalan Asia Afrika.

baca : Lengang Karena Pembatasan Sosial, Udara Bandung Membaik

 

Jalan Asia Afrika dan Hotel Savoy Homann yang sepi karena pembatasan sosial. Foto : Donny Iqbal/Mongabay IndonesiaFoto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Agaknya, pandemi ini serasa meloncat ke masa Thomas Karsten merancang Bandung dengan konsep “kota taman”. Dimana arsitektur bergaya Eropa tampak saat kota metropolitan ini sedang redup redam.

Karsten merancang kota ini hanya untuk 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Kini, kota itu harus menampung jumlah penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 155 jiwa per hektar.

Rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Tata ruang itu selesai 15 tahun ketika Jendral Daendels memerintahkan pemindahan kota ke utara sejauh 11 kilometer, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Awal abad ke-20, ahli kesehatan HF Tillema mengusulkan pemindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung. Setelah sebelumnya, Batavia didera wabah Malaria.

Dikutip Tirto, pada awal perkembangan Batavia, kota ini pernah mendapat julukan sebagai “Ratu dari Timur”–sebuah permukiman Eropa terbaik di dunia oriental. Tetapi, predikat itu perlahan luntur. Malaria jadi gara-garanya. Penyebabnya masih misterius, tetapi obatnya telah diketahui.

Dari awalnya dikenal sebagai kota tercantik, pada paruh akhir abad ke-18, Batavia berubah menjadi kota paling tak sehat di timur. Penduduk Eropa yang cukup berada memilih pindah ke pedesaan di selatan yang lebih sehat. Pasalnya, wabah penyakit itu menyebar ke dalam kota. Hingga menjadi momok mengerikan bagi warga kota.

Hal inilah, melatarbelakangi rencana pemindahan pusat pemerintahan ke Bandung. Bandung pun bersolek. Bangunan-bangunan monumental dibangun, misalnya Gedung Sate (1920), Technische Hoogeschool sekarang Institut Teknologi Bandung (1920), dan Artilerie Inrichtingen (1922) atau PT Pindad.

baca juga :  Setelah 28 Tahun, Kualitas Udara di Jakarta Membaik

 

Kondisi pabrik kina pertama di Nieuwe Kerkhofweg atau kini Jalan Pajajaran, Kota Bandung, Jawa Barat. Di sana memuat kisah kejayaan Hindia Belanda dalam dunia farmasi modern. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Dalih pemindahan salah satunya karena wabah Malaria. Itu menunjukkan di tahun itu secara kesehatan Bandung dinilai lebih baik dari Jakarta. Meskipun akhirnya tak terlaksana akibat krisis.

Namun setidaknya, rencana itu menginiasi penanaman kina di Bandung. Setelah permintaan dunia kedokteran meningkat dan harganya menjadi tinggi, Pemerintah Belanda melihat itu sebagai peluang. Kina terbukti menjadi obat yang penting.

Para kolonialis pun bersepakat. Aklimatisasi pohon kina lantas jadi obsesi pemerintah kolonial. Selain menjanjikan keuntungan ekonomis, produksi kina juga berguna untuk menekan epidemi Malaria di tanah jajahan.

Haryoto Kunto, dalam “Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986), menyebutkan, saat Junghuhn menangani pembibitan kina di Pangalengan, jumlah pohon kina di Pulau Jawa 167 batang.

Junghuhn adalah ahli botani dan naturalis yang bekerja untuk kolonial. Dia adalah pelopor kina. Karena keprihatinannya, dia rela membaktikan ilmunya demi penyelamatan umat manusia yang tengah terancam bahaya Malaria.

“Selama delapan tahun berikutnya Junghuhn bekerja tanpa kenal lelah–menanam stek, menguji kulit batang, dan menulis buku petunjuk–semuanya demi menghasilkan lebih banyak lagi pohon kina,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014), dikutip Tirto.

baca : Fakta Menarik Klorokuin, Obat Malaria yang Digunakan untuk Merawat Pasien COVID-19

 

Kulit pohon kina yang dikeringkan untuk dibuat klorokuin di Kondisi pengolahan kulit kina kering di Perkebunan Bukittunggul, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Tujuh tahun kemudian, jumlah pohon kina menjadi 1.359.877 batang dan 70 persen di antaranya berjenis cinchona. Lalu setiap tahunnya, 11 ribu ton kulit kina dihasilkan. Untuk mengakomodasi tingginya produksi cinchona, pada 1896 didirikanlah pabrik di Bandung bernama Bandoengsche Kinine Fabriek, yang mengolah kulit cinchona menjadi bubuk kina.

Lokasinya di Nieuwe Kerkhofweg (kini Jalan Pajajaran) Bandung. Di sana memuat kisah kejayaan Hindia Belanda dalam dunia farmasi modern. Terlebih, kolonial jadi satu-satunya wilayah di dunia yang memiliki perkebunan dan pabrik pengolahan kina yang lokasinya berdekatan.

Di Bandung, Junghuhn disejajarkan dengan nama besar akademis internasional seperti Eijkman, Pasteur, Bosscha, Ehrlich, Otten, Westhoff, yang diabadikan sebagai nama jalan. Meski banyak orang telah melupakannya.

 

Kina yang tersisa

Peninggalan Junghuhn pun bernasib temaram. Perkebunan Bukittunggul di Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, menjadi saksi bisu kejayaan kina dulu. Kawasan itu jadi satu-satunya denyut kina yang tersisa di negeri ini.

Kepala Administrasi Perkebunan Bukittunggul, Mulyanto mengakui bahwa pamor kina meredup. “Kina sudah tak seberharga dulu,” ungkapnya.

menarik dibaca : Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

 

Kondisi pengolahan kulit kina kering di Perkebunan Bukittunggul, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perkebunan ini merupakan perkebunan terakhir yang masih mengolah kina. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Realitas tersebut bertolak belakang dengan kejayaan kina yang memasok 90 persen kebutuhan dunia. Saat itu kina dibutuhkan ketika makin banyak orang kulit putih yang datang di wilayah tropis.

Saat ini pabrik milik negara itu hanya memenuhi pesesanan PT Sinkona Indonesia Lestari (SIL) yang mengolah kina menjadi garam kina atau klorokuin. Bahan inilah yang menjadi dasar utama dalam produksi obat malaria.

Setiap bulan, Perkebunan Bukittunggul mengirimkan 10-15 ton tepung kulit kina kering kepada PT SIL, meski sumbangsihnya terhitung minim. Kontribusi tak signifikan itu disebabkan merosotnya luas lahan kina.

Berdasarkan data Perkebunan Bukittunggul, sebelumnya ada 3.000 hektar lebih lahan kina yang tersebar di 13 perkebunan. Kini, hanya 776 hektar dan tak lagi ditemukan di kebun lain selain Bukittunggul. Estimasi jumlah pohon pun hanya 801.349 batang.

Menurut Mulyanto, penyebab lain kemunduran adalah kesalahan dalam pengelolaan panen. Cara lama yang dipakai adalah membabat seluruh pohon dan memanen kulitnya sehingga butuh waktu 3-5 tahun untuk tumbuh kembali.

 

Kondisi pengolahan kulit kina kering di Perkebunan Bukittunggul, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Perkebunan ini merupakan perkebunan terakhir yang masih mengolah kina. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Wajah Kota

Kina seperti memakai mesin waktu. Klorokuin dari kulit kina kembali dilirik sebagai bekal pengobatan bagi pasien virus korona. Sampai-sampai, Pemerintah Indonesia pun memesan lima juta unit klorokuin dari luar untuk upaya menangani pandemi dalam negeri.

Keputusan itu didasari saat wabah SARS merebak 17 tahun lalu, klorokuin digunakan sebagai salah satu obatnya. Kini ketika pandemi COVID-19 menghantam dunia, kina seolah dipercaya lagi sebagai obat mujarab.

Hal ini karena pada 15 Febuari lalu, pemerintah Cina bersama para peneliti mengumumkan telah menguji klorokuin fosfat kepada 100 pasien di 10 rumah sakit di Wuhan, Cina. Hasilnya, dianggap cukup efektif untuk menghambat terjadinya komplikasi pneumonia pada pasien.

“Sejauh ini masih dikembangkan penelitian untuk menemukan vaskinnya. Tetapi klorokuin, pengobatannya hanya untuk gejala saja selagi didorong memperkuat imun,” kata Peneliti Mikrobiologi LIPI, Sugiono Saputra. Dan WHO, sebagai kiblat informasi kesehatan dunia, pun belum yakin untuk menetapkannya sebagai pengobatan utama virus corona.

Terlepas dari khasiat klorokuin. Warisan kina yang terbengkalai di Bandung seperti mengubah wajah kota ini. Julukan indah bagi Bandung luntur seiring perubahan kotanya.

 

Bubuk kulit kina hasil dari Perkebunan Bukittunggul, Desa Cipanjalu, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay-Indonesia

 

Sebagai tanaman berakar kuat, kata Mulyanto, kina pernah membuat di Hulu Citarum mampu menjadi penyangga kawasan resapan air yang mencegah banjir dan erosi. Kini, semuanya gundul. Bandung makin roboh dipukul bencana. Ditengah wabah epidemi ini, banjir masih saja merundung warganya.

Kondisi kebun kina di Bukittunggul mungkin boleh jadi mewakili nasib obat penyelamat ratusan juta nyawa umat manusia ini. Untuk itu, kepedulian kita pada kesehatan semestinya sama besar dengan kepedulian terhadap lingkungan.

 

Exit mobile version