Mongabay.co.id

Pandemi sebagai ‘Cinderamata’ Globalisasi

Kapital mendorong agribisnis besar di negara industri maju merampasi hutan-hutan primer dan lahan petani kecil. Ketika kompleksitas dan keberagaman fungsional dari lanskap alami dirampas, patogen baru yang sebelumnya dijaga oleh hutan yang berevolusi panjang, keluar mengancam seluruh dunia. (Rob Wallace, 2016)

***

 

Sampai pertengahan April 2020, angka kematian resmi yang dilansir akibat COVID-19 di Indonesia telah mencapai angka 500 orang dan belum menunjukkan trend menurun atau terkendali meskipun jumlah yang sembuh melampaui kematian. Mengesampingkan glorifikasi ataupun perdebatan statistik maupun metode yang digunakan, bisa dikatakan bahwa ujung jalan terang dari kegelapan umat manusia ini belum terlalu meyakinkan.

Justru ketakutan dan kepanikan akibat ketidakpastian hidup di tingkat bawah dalam kehidupan sehari-sehari khususnya warga marjinal lebih terlihat jelas. Banyak informasi yang dapat dilihat mengenai simptoma-simptoma mikro ini. Jaringan global relatif terputus, keyakinan pada solidaritas global pudar, dan Indonesia harus mengatasi sendiri semuanya, di sisi lain ancaman diobralnya sumber daya alam dan potensi utang baru tampak jelas di depan mata. Pahit, namun itulah cinderamata indah dari globalisasi yang diagungkan itu.

 

Elegi Kota-kota Modern

Yuval Noah Harari (2020) menyatakan bahwa pandemi Black Death di Eropa pada abad 14 yang membunuh jutaan jiwa secara masif dan cepat memang terjadi sebelum adanya (konsep) globalisasi. Namun terjadinya wabah cacar di Amerika Tengah yang disebabkan kedatangan Spanyol di Meksiko tahun 1520 dan Flu Spanyol 1918 yang memangkas 50 jutaan jiwa, termasuk 1,5 juta di Hindia Belanda (Ravando 2020) terjadi berkat interaksi antar manusia baik secara regional maupun global.

Saat itu dunia belum diklaim sebagai “kampung global” besar, belum ada pesawat udara yang memotong jarak antar bangsa namun interaksi antar manusia, antar bangsa, antar organisme sudah terjadi. Lalu apakah globalisasi adalah penyebabnya, mungkin bukan, tapi globalisasi makin memudahkan transmisi patogen dari inang satu dengan inang lain. Lalu di manakah penyebab awal munculnya patogen-patogen itu? Jawabannya adalah kota. Kota adalah artefak peradaban yang tak bisa ditolak, kota adalah melting pot dan ruang bagi interaksi beragam manusia, dan kota lahir dari konversi dari lanskap natural ke lanskap terbangun menurut kebutuhan manusia.

baca : Pasca Pandemi: Refleksi Hari Bumi di Tengah Wabah yang Melanda

 

Kawasan Palmerah, Jakarta Barat pada awal April 2020 yang sepi dan lengang membuat udara menjadi bersih. Foto : Andreas Harsono/Mongabay Indonesia

 

Pada awalnya, patogen-patogen baik virus atau bakteri sudah ada di dunia namun ia terjaga dalam benteng ekologi yang kuat yakni hutan. Patogen bisa jadi sudah ada di dalam tubuh-tubuh satwa. Namun siklus ekologi dalam habitat alami telah mengatur agar patogen-patogen tersebut hanya berdampak pada lingkungan terbatas. Ketika kota terbangun, sebuah ruang alami dihancurkan khususnya hutan, terbukalah portal bagi virus zoonosis karena patogen-patogen pada dasarnya masih ada, bergentayangan mencari inang baru (Hariadi Kartodiharjo 2020).

Secara alamiah patogen juga berevolusi untuk menyesuaikan diri, termasuk menjadi lebih adaptif dengan satwa lain dan manusia sebagai lingkungan barunya. Sementara kota dibangun makin masif, kebutuhan pangan untuk populasi terus dipacu, dan sumber daya termasuk hutan seringkali menjadi korban terparah, benteng ekologi hutan pun ditembus, lanskap-lanskap pertanian menetap dan peternakan terkonsentrasi dibangun, demikian juga “peternakan” patogen juga berjalan tanpa disadari.

Siklus ekologi kota tak sekompleks siklus alami hutan, ada banyak penyederhaan atau simplifikasi dari kota. Tak semua yang tak tampak mata telanjang masuk dalam perhitungan perencana kota, sementara itu patogen-patogen terus berevolusi mencari inang baru. Lingkungan sanitasi yang buruk, sistem drainase air yang tidak berjalan, satwa hasil domestikasi dalam kandang-kandang besar dan satwa-satwa liar yang diburu, dikonsumsi atau diperdagangkan sebagai komoditas menjadi sasaran baru bagi patogen untuk eksis kembali.

Kolera, cacar, dan flu akhirnya muncul setelah sekian lama patogen berevolusi dan virus berhasil menemukan inang baru. Dan virus Corona menunjukkan hal itu, ia muncul di kota dan merebak di kota-kota dunia, bukan di desa yang becek bau kotoran sapi. Di kota, para kelas menengah pongah membela konsumerisme, kalangan atas pendukung karpet merah investasi terus mengobral sumber daya alam, dan kaum miskin terseret dalam kerakusan dan ketidakpedulian ini.

baca juga : Belajar dari Coronavirus, Siapkah Indonesia Menghadapi Pandemi karena Iklim ?

 

Ilustrasi virus corona penyebab covid-19. Sumber : pxhere.com

 

Makin modern dunia ini, perluasan pertanian makin sembrono, termasuk juga peternakan. Pada bukunya Big Farms make Big Flu (2016), Rob Wallace menerangkan bagaimana model pertanian khususnya peternakan-peternakan besar milik industri merupakan media yang menyenangkan bagi patogen untuk berbiak dan berevolusi.

Pada era setelah adanya istilah “globalisasi”, imperium-imperium pangan menguasai seluruh jaringan konsumsi dunia, desa-desa dipaksa menjadi kota (urbanisasi), jutaan manusia bergerak seperti migrasi burung di langit setiap hari, global village pada akhirnya ibarat kota tanpa batas, lupa bahwa bentengnya begitu rapuh, setiap orang terpapar risiko yang besar.

Tverberg (dalam Nikiforuk 2020) menyatakan bahwa virus ini menelanjangi rapuhnya ekonomi dunia: seluruh ekonomi dunia telah meletakkan terlalu banyak telur di satu keranjang yang sama, namun saat wabah terjadi kita menyadari bahwa keranjang itu tak berhasil baik menjaga ekonomi kita.”

Seperti telur dalam keranjang, kitapun tidak selalu sejalan. Indonesia pernah bersitegang dengan WHO soal sample flu burung, AS dan Cina sibuk saling menyalahkan dengan teori konspirasinya tentang corona (meski akhirnya berdamai), masing-masing negara mengatur dirinya sendiri, ada yang mengisolasi dirinya sementara ada yang tak memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari isolasi, seperti Indonesia.

Di dalam negeri, pemerintah abai berbulan-berbulan sebelum ditemukan kasus, elit sibuk bergurau dengan tidak lucu, sistem dan alat mitigasi tidak ada yang disiapkan, setelah kasus muncul, negara kelabakan, virus merebak tak terkontrol. Masyarakat pun panik dan irasional, salah satu contoh nyata adalah perawat pasien COVID-19 yang telah bertaruh nyawa menyelamatkan nyawa orang lain justru mendapat stigma buruk, pengusiran, bahkan jasadnya ditolak dikuburkan di lokasi dekat masyarakatnya.

Pemerintah tak berdaya dan memaksa masyarakat untuk bertahan sendiri untuk mencegah terkena wabah. Dalam konteks ini benar apa yang diungkapkan Harari (2020) bahwa “dalam masa perang melawan corona, kemanusiaan kehilangan kepemimpinan.” Ketika antar pihak saling tidak percaya, kehebatan sistem dalam keranjang global memang hanya mitos. Corona menunjukkan itu dengan telanjang.

baca juga : Pemusnahan Kelelawar dan Salah Arah Kebijakan Saat Pandemi Corona

 

Untuk novel Coronavirus yang merebak di Wuhan, sumber penularannya dari kelelawar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Mengkaji ulang Neoliberalisme dan Globalisasi

Rumus pertumbuhan ekonomi hampir digunakan oleh seluruh negara di dunia, dan hasilnya sudah bisa kita lihat: tingkat deplesi sumber daya yang tinggi, kerawanan pangan, krisis air bersih, kualitas udara yang buruk, dan tersingkirnya unit-unit sosial yang bergantung secara mutlak pada ekologi alami seperti masyarakat adat, petani dan nelayan subsisten, maupun bencana-bencana alam yang makin besar akibat perubahan iklim.

Padahal menurut para begawan ekonomi seperti Stiglitz, Sen, dan Fitoussi (2011) pertumbuhan dan indikator-indiktor produksi tak selalu sejalan dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas manusia di suatu negara, faktanya justru lebih sering berdampak pada terkurasnya sumber daya. Desa adalah contoh bahwa pertumbuhan ekonomi bukan segalanya, kebanyakan desa ada dalam kondisi economic de-growth tapi toh mampu menjamin keamanan pangan dan kebahagiaan warganya, karena itu desa hampir selalu menjadi suaka bagi kaum urban.

Namun sungguh ironi, dahulu desa adalah penyelamat saat ekonomi global goncang dan industri perkotaan bangkrut, namun saat ini desa adalah calon lokasi yang akan terhantam keras bila arus “pulang kampung bersama COVID-19” tak bisa dibendung. Desa akan menjadi korban berikutnya dari Kota yang bangkrut dan kelam.

Sistem free trade dalam neoliberalisme terbukti fatal dalam kondisi darurat seperti ini. Telah sekian lama kata “efisiensi” menjadi tuhan bagi para pengambil keputusan ekonomi politik ketika merencanakan suatu pembangunan. Risiko (termasuk bencana karena pandemi) adalah beban yang terlalu besar untuk dialokasikan mitigasinya dalam investasi (karena produksi ekonomi lebih penting daripada kesejahteraan). Karena itu tak ada sistem layanan kesehatan publik berkualitas di bawah negara yang memadai seperti Kuba, sehingga dalam keadaan darurat negara tak punya apa-apa.

Neoliberalisme yang mendorong free trade minta agar ekonomi berjalan antara supply and demand tanpa gangguan negara. Ketika pandemi mulai mendekat, harga masker melonjak, hand-sanitizer meroket. Ketika pandemik masuk Indonesia, masker dan hand-sanitizer hilang, harga-harga bahan makanan melonjak, impor berhenti, ekonomi goncang dan rupiah jatuh. Bisa diprediksi, nanti pasca pandemik yang akan terjadi adalah dibukanya lebar-lebar investasi asing atas sektor-sektor berbasis sumber daya termasuk utang luar negeri. Heran? Tidak, karena begitulah disaster capitalism bekerja, krisis adalah kunci dan kesempatan.

baca juga : Belajar dari Wabah Corona yang menjadi Perhatian Global. Bagaimana dengan Perubahan Iklim?

 

Seorang bocah menggunakan masker kain ditengah mewabahnya pandemi Covid-19. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Globalisasi adalah dikompresnya ruang oleh moda komunikasi yangmemungkinkan uang, gagasan, barang, dan manusia mengalir ke seluruh bagian dunia secara lebih cepat. Bank Dunia mendefinisikannya secara general bahwa globalisasi tak sekedar sebagai sirkulasi barang, jasa, dan modal melainkan juga informasi, gagasan dan orang (Perrons 2004).

Seluruh dunia terhubung, tak hanya informasi tetapi seluruh basis ekonomi, sosial, ekologi, dan budaya saling terhubung, sering kali juga berbenturan. Satu hal lain yang harus kita terima sebagai ‘keberhasilan’ globalisasi adalah globalisasi risiko dan globalisasi ketakutan. Risiko dibagi tapi infrastruktur tidak, sumber daya ekonomi tidak, human capital tidak, kesejahteraan basic warga negara: tidak. Pandemik dibagi rata, tapi kapasitas untuk menanganinya tidak, itu urusan negara masing-masing, jika perlu ya harus beli.

Saat ini semua pihak dan semua orang habis energinya untuk menghadapi ancaman pandemik. Selalu begitu, begitu sibuk ketika harus menghadapi masalah di hilir. Sebelum pandemik, elit dan masyarakat penuh dengan denial dan santai, ketika sudah masuk mereka panik. Saat krisis kita minta utang, saat stabilitas politik dan ekonomi menguat, tanah petani dirampas.

Saat pandemi belum hadir, kita sibuk menghancurkan hutan, menciptakan kota-kota baru di desa-desa, ekstraksi sumber daya sebesar-besarnya dan saat pandemi hadir, kita sibuk membangun citra seolah negara hadir untuk rakyat. Hanya sedikit yang berpikir tentang masalah di hulu, sebab-musabab masalahnya secara struktural yakni kerakusan ekonomi kapitalis atas lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Ke depan, ketika tirai gelap pandemik ini usai kita berharap kesalahan-kesalahan di masa lalu ini tak kembali berulang. Kita tak berharap bahwa pasca pandemi ini tidak muncul solusi-solusi jangka pendek seperti yang lalu-lalu. Dibutuhkan solusi yang berjangka panjang secara berdikari dan memastikan bahwa tiap keputusan tidak menambah risiko akibat lebih banyak lagi penghancuran lingkungan dan keanekaragaman hayati.

Investasi-investasi bernilai besar sebaiknya tidak lagi ditujukan untuk mendukung proyek-proyek penghancuran ekologis demi tujuan pasar global seperti perluasan sawit di Papua, perluasan tambang di Sulawesi dan Maluku, pembangkit listrik berbasis batu bara, megaproyek Bali Baru, ataupun Omnibus Law yang tamak sumber daya dan rentan konflik agraria.

Lebih baik justru dialihkan untuk layanan sosial, pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan, reforestasi dan konservasi sumber daya alam hayati, riset kesehatan dan pelayanan medis yang adil, dan proyek-proyek rendah karbon lainnya. Formulasi ini diistilahkan dengan Green Reboot (Dixson-Decleve et al. 2020) yang bisa digunakan sebagai titik balik pertobatan atas dosa-dosa ekologis kita. Inilah saat yang tepat, mungkin tak sepenuhnya kita bisa lari dari jebakan globalisasi apalagi mengisolasi diri namun setidaknya sumber daya alam hayati tidak terkuras kembali demi pertumbuhan ekonomi.

Telah banyak pembelajaran diberikan oleh peradaban modern ini namun sayang seringkali pembuat kebijakan tidak belajar. Sementara itu, pihak yang terus belajar justru terpinggirkan dalam laboratorium-laboratorium sains dan begitu berjarak dengan kebijakan. Seringkali begitu, karena itulah Indonesia tak pernah bisa hebat karena politisi lebih suka dekat dengan agamawan daripada ilmuwan karena yang disebut pertama (seringkali) bermanfaat untuk elektoral.

***

Referensi

Dixson-Decleve, S., Lovins, H., Schellnhuber, H.J. and Raworth, K. 2020. A Green Reboot After the Pandemic. Project Syndicate, 24 March 2020. https://www.project-syndicate.org/commentary/covid19-green-deal-by-sandrine-dixson-decleve-et-al-2020-03

Harari, Yuval Noah. 2020. Dalam masa perang melawan Coronavirus, kemanusiaan tanpa kepemimpinan. https://time.com/5803225/yuval-noah-harari-coronavirus-humanity-leadership/ Diterjemahkan oleh Sukron Hadi.

Kartodiharjo, Hariadi. 2020. Virus Korona dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati. Forest Digest 13 April 2020. https://www.forestdigest.com/detail/567/virus-corona-dan-hilangnya-keanekaragaman-hayati

Nikiforuk, Andrew. 2020. COVID-19, Brought to You by Globalization. The Tyee

Perrons, Diane. 2004. Globalization and Social Change: People and places in a divided world. Routledge: London and New York

Ravando. 2020. Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Opini pada Harian Kompas, 22 Maret 2020.

Stiglitz, Joseph; Sen, Amartya; and Fitoussi, Jean-Paul.2011. Mengukur Kesejahteraan: Mengapa produk domestik bruto bukan tolok ukur yang tepat untuk menilai kemajuan? Marjin Kiri: Jakarta

Wallace, Rob. 2016. Big Farms make Big Flu: Dispatches on Infectious Disease, Agribusiness, and the Nature of Science. Monthly Review Press: New York

***

 

* Yoppie Christian. Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-LPPM) Institut Pertanian Bogor. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis

 

Exit mobile version