Mongabay.co.id

Penyelamatan Satwa di Tengah Pandemi Corona

 

 

 

 

Berbagai ancaman terhadap satwa liar langka dan dilindungi terus terjadi, dari habitat tergerus, perburuan, sampai perdagangan dan lain-lain. Kerusakan habitat satwa liar antara lain, ‘rumah’ satwa jadi perkebunan sawit, pertambangan sampai pemukiman, memicu konflik satwa dan manusia di mana-mana, termasuk di Sumatera Utara.

Pada mas pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ini petugas bersama sejumlah lembaga konservasi tetap berusaha melakukan penyelamatan atau evakuasi dari berbagai kejadian yang menimpa satwa. Pada 11 April 2020, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok, mengevakuasi satu macan akar (Prionailurus bengalensis) secara suka rela dari warga.

Usai sosialisasi mengenai perlindungan satwa liar kepada warga, macan akar dibawa ke kandang habituasi untuk pemeriksaan kesehatan. Palber Turnip, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bahorok, BBTNGL, mengatakan, perlu observasi selama 14 hari untuk tahu kondisi kesehatan satwa, terlebih masa pandemi Corona seperti sekarang.

“Kondisi sehat dan masih cukup liar. Mengantisipasi penyebaran zoonosis, akan observasi selama 14 hari, kalau tidak ada membawa virus dan cukup sehat, akan rilis ke alam,” kata Palber.

Petugas BBKSDA Sumut, bersama tim Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU)– Yayasan Orangutan Orangutan Sumatera Lestari, Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) juga menyelamatkan satu orangutan Sumatera (Pongo abelii) pada 5 April 2020. Satwa terancam punah jni terjebak di perkebunan warga Dusun Perdomuan Nauli, Desa Bukit Mas, Kecamatan Besitang, Langkat, Sumut. Orangutan tak bisa kembali ke habitat asli di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Orangutan memiliki 97% DNA manusia. Mencegah terinfeksi Coronavirus, dua dokter hewan turun memeriksa kondisi kesehatan orangutan.

 

 

Elang hasil penyerahan sukarela warga. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Andoko Hidayat, Humas BBKSDA Sumut mengatakan, orangutan Sumatera betina yang terjebak di perladangan warga ini, memiliki berat badan 48 kg dengan usia sekitar 18 tahun. Kondisi sehat dan tak mengalami malfungsi alat gerak.

Setelah pemeriksaan kesehatan, tim medis merekomendasikan salah satu satwa kunci di TNGL ini rilis kembali ke alam.

“Hasil pemeriksaan medis oleh dokter hewan dari Pusat Penyelamatan Satwa Sibolangit, dan dokter hewan OIC, kondisi orangutan cukup sehat dan stabil, hingga rilis,” katanya.

Setelah berkoordinasi dengan BBTNGL, orangutan ini translokasi ke hutan TNGL Besitang, Langkat.

Ada lagi penyerahan dua monyet ekor panjang dari warga Kota Medan ke BBKSDA Sumut. Kedua monyet lalu rilis ke Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan.

Sebelumnya, pada Maret 2020, petugas BBKSDA Sumut bersama Indonesia Sumatran Conservation Program (ISCP), menerima tiga kukang Sumatera hasil dari warga Deli Serdang dan Karo.

Ketiga satwa dilindungi UU itu, kemudian dititipkan petugas BBKSDA Sumut ke pusat rehabilitasi kukang Sumatera kelolaan ISCP, Sibolangit. Mereka akan jalani rehabilitasi dan habituasi sebelum nanti lepas liar.

Ada juga elang brontok yang diserahkan tokoh pemuda di Karo kepada Kepala Seksi Wilayah I Sidikalang, BBKSDA Sumut, Tuahman Raya Tarigan. Elang lalu titip ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Sibolangit, menjalani rehabilitasi dan habituasi sebelum nanti lepas liar.

 

Penyelamatan orangutan yang terjebak di kebun warga di Langkat, Sumut. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Risiko kena penyakit

Banyak warga masih memelihara satwa liar, langka dan dilindungi. Selain mengancam kelangsungan hidup binatang, memelihara satwa liar berisiko terkena penyakit zoonosis. Sugiyono Saputra, Peneliti Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) mengatakan, sekitar 61% infeksi itu penyakit zoonosis, berarti bersumber dari hewan atau satwa liar.

Manusia bisa terinfeksi, katanya, faktor utama karena proses interaksi dipicu perburuan liar, dan mengkonsumsi daging satwa liar. Faktor lain, katanya, terpicu dari berbagai aktivitas, seperti efek pemanasan global menyebabkan patogen-patogen bermutasi.

“Bisa jadi ketika toksin atau zat mutan lain bermutasi, dan ketika kita berinteraksi dengan hewan fatogen, bisa terinfeksi pada manusia. Itu harus diwaspadai sedini mungkin.”

Sugiono mengatakan, sumber penyakit zoonosis dari hewan-hewan bertulang belakang, walaupun ada yang menyalurkan atau mentransmisikan melalui hewan kecil dapat disebut dengan vektor, bisa dari kutu, serangga ataupun di tikus.

Dia bilang, penyakit yang menginfeksi manusia tertular dari vektor atau kontak langsung dari hewan pembawa virus.

Artinya, satwa-satwa sitaan, yang memiliki atau bertulang belakang, dan rentan penularan zoonosis dari hewan ke manusia, seperti penyakit rabies.

Mode transmisi, katanya, kontak langsung terhadap hewan rabies yaitu anjing. Kalau ebola, sumber dari kelelawar, ke monyet lalu menginfeksi ke manusia. Jadi, ebola bisa menginfeksi monyet dan manusia.

Menurut Sugiono, penularan terjadi, pertama, ada interaksi antara hewan dengan manusia. Ada beberapa hewan banyak membawa patogen seperti kelelawar, monyet, tikus dan hewan peternakan.

Kedua, aktivitas manusia mendorong perpindahan patogen dari hewan ke manusia. Dia contohkan, seperti perubahan lahan, penebangan hutan, penambang, agricultur, industri, dan kebiasaan konsumsi satwa liar.

“Menyebabkan terjadi transmisi patogen dari hewan ke manusia. Patogen itu adalah organisme yang dapat menyebabkan penyakit,” katanya.

“Sebagian besar patogen sensitif terhadap iklim dan dipengaruhi kelembaban. serta pengaruh ada tidaknya faktor-faktor lain, yang bisa menjadi driver munculnya penyakit infeksi baru,” ucap Sugiono.

Ada juga penyakit dari parasit, seperti cacing-cacingan, dan protozoa. Contohnya, malaria, dan jamur.

Dari bakteri, kata Sugiono, seperti TBC. Kalau virus seperti HIV, SARS, Mars, lalu terakhir Corona Virus, yang bersumber dari satwa.

“Jangan pelihara, jangan memburu, jangan mengkonsumsi dan jangan merusak habitat satwa liar. Itu kata kuncinya. Banyak contoh kasus penyebaran virus dari satwa, menyebabkan penularan ke manusia dan sebaliknya.”

 

Keterangan foto utama:  Anak orangutan dalam kandang karantina sementara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version