Mongabay.co.id

Pandemi Corona dan Ekosida

Deforestasi di Jambi, hutan terbuka menjadi sawit maupun kebun tanaman (HTI). Foto: Warsi

 

 

Dunia guncang dengan kemunculan virus yang menyebar cepat, Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Pandemi ini hanya katup dari krisis yang sebenarnya sudah tertanam begitu dalam pada sistem ekonomi politik dunia, termasuk Indonesia. Krisis yang tertanam ini terjadi karena ekspansi, penetrasi dan eksploitasi terhadap sumber-sumber manfaat pada hampir semua sekkor kedidupan, tak terkecuali dalam sistem pelayanan kesehatan.

Keadaan darurat kesehatan dampak Virus Corona ini, menghentak dan membangunkan kekuasaan yang sedang mimpi indah. Lalu benarkah virus ini terhubung dengan kejahatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam? Apakah terhubung dengan krisis iklim yang selalu diteriakkan oleh aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia selama ini?

Semua ini berakar pada pandangan dunia yang mekanistik, materialistik dan konsumtif.

Pandangan antroposentris konservatif tentang manusia terpisah dan lebih unggul dari makhluk lain membuat kekuasaan seenaknya mengendalikan, eksploitasi dan manipulasi terhadap sumber-sumber manfaat kehidupan. Hal ini juga diperkuat model ekonomi berdasarkan ilusi pertumbuhan dan keserakahan tanpa batas yang sistematis melanggar batas relasi dan integritas ekosistem.

Akibatnya, terjadi jurang, ketimpangan, kesenjangan dan ketidakadilan penguasaan akut dalam suatu sistem sosial ekonomi antar kelas masyarakat. Itulah krisis kemanusiaan laten yang tertanam di dalam sistem ekonomi politik negara global saat ini.

Dominasi dan akumulasi modal pada sistem ekonomi politik antar negara di dunia dan antar kelas sosial di dalam masyarakat, sebenarnya merupakan kerentanan dan kerapuhan itu sendiri. Dominasi dan akumulasi modal dalam sistem kekuasaan hanya memperkuat model produksi kapitalistik, merupakan bentuk penghisapan.

Akhirnya, negara tak dapat berfungsi lagi secara maksimal sebagai pelindung rakyat. Sebaliknya, lebih banyak melayani dan memfasilitasi kepentingan korporasi kuat dan elit mereka sendiri. Krisis COVID-19 ini contoh nyata dari ketidaksigapan negara dalam melindungi rakyat.

 

Bumi yang saat ini diselimuti virus corona. Ilustrasi: Miroslava Chrienova/Pixabay/Free for commercial use
No attribution required

 

Ekspansi Corona

Ini bukan hanya masalah kesehatan setiap orang dan kelompok masyarakat, juga masalah amat serius tentang ekonomi. Sejak 2012, Bank Dunia sudah menghitung perkiraan bahwa pandemi influenza parah, misal, dapat menelan biaya ekonomi dunia US$3 triliun, apalagi COVID-19 dengan transmisi begitu cepat bahkan sudah melumpuhkan banyak aktivitas ekonomi hulu-hilir.

Peter Daszak, ahli ekologi penyakit dan Presiden EcoHealth.mengatakan, penting memahami penyebab yang mendasarinya. “Bahwa, setiap penyakit muncul dalam 30 atau 40 tahun terakhir terjadi sebagai akibat dari perambahan ke tanah liar dan perubahan demografi.”

Penyakit menular yang muncul adalah jenis patogen baru atau lama yang telah bermutasi jadi baru, seperti flu yang terjadi setiap tahun. AIDS, misal, masuk ke manusia dari simpanse pada 1920-an ketika pemburu daging-semak di Afrika membunuh dan membantai mereka.

COVID-19 adalah patogen yang bekerja dengan brutal tidak mengenal suku, agama, ras, golongan, usia, kelas sosial, jenis kelamin bahkan negara maju mapun berkembang, kalau lengah pasti akan terpapar.

Untuk melawan virus ini, tak boleh dengan serampangan, harus ditopang dengan tenaga serta fasilitas medik memadai, melalui suatu informasi dan penelitian ilmiah dan tehnologi, sosialisasi dan edukasi yang masif bahkan, dengan suatu rekayasa sosial, disiplin dan kesadaran diri terbaik dari semua pihak.

Penyebaran COVID-19, ke seluruh dunia diyakini bermula dari pasar basah di Wuhan, Tiongkok, yang menjual hewan hidup dan mati. Hanya terhitung beberapa minggu, Corona membuat ekonomi dunia jungkir balik.

Informasi yang tersebar secara massif membuat kita tahu tentang Corona, bahkan banyak artikel ilmiah tentang virus ini tersebar. Di luar sana juga banyak tersebar kabar miring tentang virus ini, walaupun banyak yang tak jelas dari mana asal usulnya, misal dari spesies hewan mana virus ini berasal? Kelelawar, trenggiling, atau hewan liar lain?

Dari mana daerah asal? Dari goa atau hutan di Hubei, Tiongkok atau tempat lain? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi ujung pangkal melihat masalah Corona di luar dari cara pandang virologi dan epidemologi itu terletak, sudut pandangan ekologi politik tentu berbeda.

Transmisi dan penyebaran COVID-19 begitu cepat pada manusia, salah satu karena ekspansi dan ekploitasi begitu brutal terhadap ekosistem dan sumberdaya alam yang terlampau jauh masuk dalam kehidupan liar. Kondisi ini menyebabkan retaknya metabolism alam sekaligus menyebabkan kerentanan kehidupan sosial ekologi antar sesama mahluk hidup.

 

Ekosida

Penyakit-penyakit baru tercipta karena suatu model dominasi produksi pangan dan pertanian yang global, industri jadi alat menyerang habitat ekologis, serta memanipulasi hewan dan tanaman tanpa menghormati kesehatan dan integritas ekosistem alam.

Ekonomi hijau dan uang jasa lingkungan hanya jadi ilusi bumi dan makhluknya untuk tetap tereksploitasi demi keuntungan ‘penguasa raksasa’ bumi, bahkan untuk menciptakan satu dunia yang terhubung dengan penyakit.

Kegagalan menjaga lingkumgan hidup dan memanfaatkan sumberdaya alam, pasti menyebabkan kerusakan sistem ekologi. Hal ini terus menerus kembali menghantui melalui virus baru dengan pengetahuan dan cara yang hanya sedikit kita ketahui. Evolusi virus itu bisa jauh lebih cepat daripada revolusi yang kita rencanakan.

Dari model pengembangan penyakit menular menunjukkan, sebagian besar epidemi seperti AIDS, Ebola, West Nile, SARS, penyakit Lyme dan ratusan lain yang terjadi selama beberapa dekade terakhir tak bisa dikatakan terjadi begitu saja. Virus-virus ini hasil dari kekerasan manusia terhadap alam.

Sebagian besar penyakit ternyata berhubungan dengan masalah lingkungan hidup. Sekitar 60% dari penyakit menular yang muncul yang mempengaruhi manusia adalah zoonosis- berasal dari hewan. Lebih dua pertiga dari mereka dari satwa liar.

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia kini karena krisis yang manusia buat sendiri. Itulah pesan dari para ahli penyakit menular dan kesehatan lingkungan terkemuka.

Sayangnya, sebahagian orang tidak terlalu mempercayai. COVID-19 masih dianggap sebagai pandemi yang berdiri sendiri di luar dari efek perusakan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, terdengar seperti tak berhubungan. Relasi COVID-19, krisis iklim dan kehancuran keragaman hayati itu sangat terkait dan nyata.

Terlebih lagi, perubahan iklim itu karena ulah manusia. Seiring dengan kehilangan habitat, pergeseran zona iklim menyebabkan satwa liar bermigrasi ke tempat-tempat baru, di mana mereka berinteraksi dengan spesies lain yang belum pernah mereka temui sebelumnya. Kondisi ini tentu meningkatkan risiko muncul penyakit baru.

Untuk menempatkan perspektif pandemi COVID-19 dalam kerangka ekosida (ecocide), Corona harus dilihat dalam kerangka tak saja mengarah pada krisis multi dimemnsional juga latar belakangi masalah juga multi dimensional.

Corona berkembang dari satu relasi produksi yang bersifat struktural, di mana dominasi, ekspansi dan akumulasi modal jadi faktor utama kerusakan ekologi. Ia berdampak pada penyimpangan pertumbuhan biologi manusia dan mahluk hidup lai dalam waktu bisa sangat cepat maupun sangat panjang.

Yang bisa kita ketahui dari sejumlah pengetahuan ialah, SARS dan virus Hendra berkembang ketika perubahan penggunaan lahan dan kondisi iklim yang berubah serta habitat hilang. Ia memaksa kelelawar memindahkan virus ke manusia.

Praktik ecocide bahkan menyebabkan keamanan dan kedamaian hidup manusia dan mahluk hidup lain jadi retak. Belum lagi , selain mengakibatkan krisis ekologi, juga akan memproduksi virus dan penyakit menular baru lain yang kemungkinan besar masih kita temui di masa depan.

 

***

Krisis pandemi Corona akan memperburuk semua masalah. Itu berita buruk. Kabar  baiknya, kita dapat menggunakan keadaan darurat ini untuk mulai sungguh-sungguh membenahi dan membangun ekonomi, pangan dan kesehatan lebih ramah lingkungan, inklusif dan berkelanjutan.

Solidaritas sosial dan saling peduli sangat dibutuhkan dalam kondisi krisis saat ini, akan tetapi bukan sandaran utama dari langkah penyelamatan. Negara harus mengembalikan dan memainkan peran utama sebagai penangung jawab untuk melindungi dan menyelamatkan bangsa. Dengan segera memberikan solusi, merancang sedemikian rupa untuk melayani kepentingan publik dalam jangka panjang.

 

Bacaan:

Shiva,Vandana, Ecological Reflections on the Coronavirus

Robbin, Jim, Disease of Ecology

Ridha, M Saleh, Ecocide : Politik Kejahatan Lingkungan Hidup dan Pelanggran Hak Asasi Manusia

 

*Penulis adalah aktivis lingkungan hidup dan HAM. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Hutan hancur, mau disiapkan jadi kebun sawit. Peter Daszak, ahli ekologi penyakit dan Presiden EcoHealth.mengatakan, penting memahami penyebab yang mendasarinya. “Bahwa, setiap penyakit muncul dalam 30 atau 40 tahun terakhir terjadi sebagai akibat dari perambahan ke tanah liar dan perubahan demografi.” Foto: Heriyanto/Warsi

Warga melintas di depan spanduk bertuliskan himbauan ditengah mewabahnya pandemi Covid-19. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version