- Indonesia sehat tidak hanya bergantung pada satu komoditi, yaitu beras. Sagu memiliki kelebihan sebagai pangan kesehatan karena tanpa gluten dan indeks glikemik yang rendah, sangat baik untuk penderita diabetes, calon penderita diabetes, dan penderita obesitas.
- Indonesia memiliki banyak keragaman sumber karbohidrat yang sehat dan bergizi. Pangan lokal yang sehat dan ramah lingkungan sangat baik dikonsumsi pada saat pandemi virus corona [COVID-19] seperti ini.
- Bambu dengan jenis bambu tabah adalah salah satu jenis bambu yang bisa dijadikan sebagai sumber bahan pangan organik seperti pemanfaatan rebungnya. Rebung termasuk musiman, akan muncul saat musim penghujan.
- Sorgum dikenal sebagai sumber bahan baku multifungsi dan memiliki nutrisi tinggi disertai protein tinggi dan bebas gluten. Juga, adaptif dan memiliki akar budaya yang kuat dengan masyarakat lokal.
Krisis kesehatan yang diakibatkan pandemi virus corona [COVID-19] belum diketahui sampai kapan berakhir. Banyak kelompok masyarakat rentan diterpa masalah ini, yang dikhawatirkan menyebabkan krisis pangan dan juga krisis ekonomi secara luas. Kelompok masyarakat yang rentan tersebut di antaranya adalah petani kecil di desa dan masyarakat pesisir.
Saat virus corona mengancam, suplai logistik terganggu dan keterbatasan daya beli masyarakat menurun, hingga hilangnya pekerjaan. Kondisi ini memicu kekhawatiran, Indonesia akan mengalami krisis pangan. Di tingkat lapangan, pemerintah dan banyak pihak merespon bencana ini dengan menggalang bantuan lewat pemberian sembako kepada warga terdampak. Bantuan tersebut bertumpu pada dua jenis, beras dan mi instan.
Pemberian beras dan mi instan menunjukkan ketergantungan Indonesia pada sumber pangan tertentu. Beberapa pihak menilai, bantuan itu memang membuat kenyang, tapi apakah sehat dan bergizi? Padahal, di masyarakat kita banyak sumber karbohidrat yang sehat dan bergizi. Indonesia memiliki beragam pangan lokal ramah lingkungan.
Isu kedaulatan dan ketahanan pangan di tengah wabah virus corona ini menjadi tema penting dalam berbagai diskusi webinar, dirangkaikan Hari Kartini dan Hari Bumi. Salah satunya, digelar konsorsium Panen Raya Nusantara [Parara] selama dua sesi, Senin dan Rabu, 20-22 April 2020.
Dalam diskusi yang dipandu Jusupta Tarigan, Direktur NTFP EP [Non Timber Forest Product-Exchange Program], hadir para pakar sebagai pembicara. Ada Profesor Mochamad Bintoro [Guru Besar IPB], Profesor Kurniatun Hairiah [Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya], Pande Ketut Diah Kencana [Ketua Penelitian Bambu dari Universitas Udayana], Christina Eghenter [WWF Indonesia], Bibong Widyarti [praktisi pangan lokal], Puji Sumedi Hanggarawati [Manager Program Yayasan KEHATI], Julmansyah [Jaringan Madu Hutan Indonesia], dan Crissy Guerrero [Parara Indonesian Ethical Store].
Baca: Pandemi Corona, Akankah Terjadi Krisis Pangan di Indonesia?
Sagu, sebagai pangan dan agroindustri
“Indonesia sehat tidak hanya bergantung beras,” kata Mochamad Bintoro, menyampaikan judul materinya.
Dia memaparkan, sagu merupakan bahan pangan yang memiliki banyak keunggulan serta sebagai bahan baku agroindustri. “Sagu dapat dijadikan bahan pangan, gula, dan bioethanol.”
Kondisi saat ini, impor beras cenderung meningkat dikarenakan peningkatan jumlah penduduk. Impor gula juga naik, tidak dibarengi peningkatan produksi yang malah menurun. Begitu juga dengan meningkatnya konsumsi minyak bumi yang tidak dapat dihindari.
Peralihan pola konsumsi kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menengah yang begitu cepat ke makanan dari gandum, terutama mi instan dan roti, telah mendorong peningkatan impor gandum.
Padahal, sagu memiliki kelebihan sebagai pangan kesehatan, tanpa gluten dan indeks glikemik yang rendah, sangat baik untuk penderita diabetes, calon penderita diabetes, dan penderita obesitas.
Setidaknya, ada 369 jenis makanan yang berbahan dasar sagu. Selain itu, sagu juga baik sebagai perlindungan lingkungan, karena sagu dapat mencegah penurunan permukaan tanah. Kawasan sagu yang selalu basah atau lembab akan mencegah kebakaran. “Di kawasan sagu juga merupakan sumber tanaman obat dan sumber enzim,” terangnya.
Bintoro menjelaskan, sagu parut dan ampas sagu juga cocok untuk pakan ternak. Sebab impor pakan ternak sangat tinggi, sementara dedak tidak tersedia di semua kawasan. Ia mencontohkan, peternak di Batam memerlukan ampas sagu minimal 50 ton per hari. Sedangkan ampas sagu oleh kilang dibuang ke sungai sehingga mencemari lingkungan.
Banyak daerah di Indonesia sesungguhnya memanfaatkan sagu sebagai penganan utama pengganti beras. Misalkan nelayan di Desa Uwedikan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, saat kesulitan karena dampak virus corona, mereka memanfaatkannya sebagai pangan lokal menggantikan beras. Sagu tersebut diolah sebagai pangan sederhana, dengan nama lokal sinole, onyop, dan jepa.
Baca: Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona
Bambu untuk Pangan dan Konservasi
Bibong Widyarti, praktisi pangan lokal menjelaskan tentang sumber karbohidrat sederhana maupun karbohidrat kompleks berupa biji-bijian, umbi-umbian, kacang-kacangan, buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk olahan.
Dia memberikan tips, sumber pangan terbaik adalah apa yang ada di sekitar kita. Sederhanakan cara pengolahannya, lestarikan menu-menu lokal di daerah dengan bahan baku lokal.
“Beli dan bela produk petani lokal ramah lingkungan. Kenalkan beragam bahan pahan lokal untuk generasi muda,” kata Bibong.
Bagaimana dengan bambu sebagai tanaman pangan? Pande Ketut Diah Kencana, Ketua Penelitian Bambu dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Udayana, mengungkapkan, bambu tabah adalah salah satu jenis yang bisa dijadikan sumber bahan pangan organik seperti pemanfaatan rebungnya. Rebung termasuk musiman, akan muncul saat musim penghujan.
“Tidak semua bambu rebungnya bisa dikonsumsi, tergantung jenis bambunya. Penyebab utamanya adalah kandungan HCN yang cukup tinggi, sehingga rasanya sangat pahit serta tekstur yang sangat keras,” kata Diah.
Jenis produk olahan rebung sabagai bahan pangan, umumnya dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan nama lumpia, gule, urab, oseng-oseng, kare, sate, plecing, tum, dan sebagainya. “Jenis bambu tabah, rebungnya sangat enak, tanpa pengawetan. Segar saat diolah dan disimpan,” terangnya.
Baca: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan
Menurut Diah, pengembangan bambu untuk industri maupun bahan makanan dapat melibatkan ibu-ibu rumah tangga, petani, dan anak muda baik laki-laki maupun perempuan, saat mereka tidak ada kegiatan utama. Dengan begitu, industri pedesaan akan terbentuk dan mengurangi urbanisasi.
Dalam paparannya disebutkan, ada 1.600 jenis bambu di dunia. Sementara di Indonesia terdapat 160 jenis atau sekitar 10 persen. Di Bali sendiri, terdapat 40 jenis bambu. Sebagai tanaman konservasi, bambu mampu menyerap lebih banyak karbon dioksida dari tanaman kayu. Satu hektar tanaman bambu dapat menyerap lebih dari 62 ton Co2 per tahun di udara. Dengan pelestarian hutan bambu berarti kita memiliki mesin sedot karbon dioksida dalam jumlah besar.
“Bambu penyerap Co2 sangat bermanfaat bagi ekosistem global. Bambu dapat membantu program pemurnian air. Berfungsi juga sebagai penghalang angin dan kebisingan,” paparnya.
Menurut Diah, bambu memiliki kelebihan sebagai bank air karena kemampuannya mengikat agregat tanah dan sistem perakaran serabutnya mampu menyerap limpasan air begitu banyak. “Bambu juga memiliki kemampuan mengikat agregat tanah dengan sistem perakarannya, sehingga tanah-tanah kritis yang memiliki kemiringan dapat ditahan, tidak terjadi erosi dan longsor.”
Menurutnya, dukungan dan pendampingan pemerintah untuk keberlanjutan pengembangan bambu sangat diharapkan. Karena, usaha ini tidak bisa dikerjakan personal. Diah memberi contoh pengembangan wisata bambu untuk out bound di kawasan hutan lindung, khusus hasil hutan bukan kayu di Desa Pemepek, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini khusus mengembangkan bambu untuk pangan, dan yang dipilih adalah jenis tabah.
“Peresmiannya sudah dilakukan Januari 2019 oleh Gubernur NTB. Selain sebagai destinasi pariwisata, bambunya juga dipakai untuk pusat penelitian bambu kawasan Indonesia Timur,” ungkapnya.
Baca juga: Belajar dari Coronavirus, Siapkah Indonesia Menghadapi Pandemi karena Iklim ?
Sorgum, bergizi di lahan kering
Pangan lainnya yang menjadi perhatian adalah sorgum. Puji Sumedi Hanggarawati, dari Yayasan KEHATI mengatakan, sorgum dikenal sebagai sumber bahan baku multifungsi. Pemanfaatannya mulai dari biji, daun, batang, dan akar, baik untuk pangan, pakan, energi, hingga menyehatkan tanah karena akarnya mampu menyerap logam-logam berat. Bahkan, bermanfaat untuk bekas lahan tambang.
“Sorgum bersifat fitoremediasi pembersih logam berat, misalkan untuk bekas lahan tambang. Adaptasi lingkungannya luas, dapat dikembangkan pula pada lahan kering ekstrim,” katanya.
Sorgum memiliki keragaman genetik dan morfologi tinggi. Umur tanamannya relatif pendek sekitar 3 sampai 5 bulan. Kemampuan regenerasinya tinggi dan limbah batang dapat dimanfaatkan untuk silase, kompos atau fungsi lain seperti pelet energi dan bahan baku tripleks. Sorgum tumbuh di berbagai daerah Indonesia dengan nama lokal berbeda.
“Sorgum memiliki nutrisi tinggi disertai protein dan bebas gluten. Juga adaptif dan memiliki akar budaya kuat dengan masyarakat lokal,” ujar Puji.
Baca juga: Siapa Bilang Tanaman Bambu Tidak Bermanfaat?
Kurniatun Hairiah, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, mengatakan pandemi COVID-19 berkaitan dengan krisis ekologi. Krisis terjadi ketika ada perubahan lingkungan yang mengganggu stabilitas dan kelangsungan hidup dari suatu spesies atau populasi organisme. Dirinya berharap tidak terjadi krisis pangan di Indonesia.
“Untuk itu diperlukan pengawasan ketat agar tidak terjadi penimbunan bahan pokok. Diperlukan pula perlindungan pada rumah tangga pertanian akibat wabah ini serta memotong rantai bisnis tengkulak,” urainya.
Kurniatun menyodorkan empat langkah yang bisa dilakukan di masa mendatang. Pertama, kesadaran dan pemahaman berbasis ilmiah, yaitu penelitian terkait virus corona dan berbagai aspeknya harus dilakukan. Tujuannya, mencegah serangan ulang, berupa penetapan kriteria dan indikator, serta diseminasi untuk meningkatkan pemahaman seluruh lapisan.
Kedua adalah komitmen, kesepakatan bersama dan penuh tanggung jawab pemanfaatan sumber daya alam agar tidak terlalu parah bila ada wabah lagi. Ketiga implementasi kesepakatan bersama untuk menentukan aksi atau kebijakan yang akan diambil sesuai dengan kondisi dan budaya masing-masing wilayah. Keempat adalah monitoring dan evaluasi, yang penting dilaksanakan terhadap suatu keputusan dan tindakan untuk perbaikan langkah berikutnya.
Cristina Eghenter dari WWF Indonesia, menyoroti sistem pangan tingkat lokal yang tidak lepas dari sistem tradisional. Komunitas yang masih mempertahankan sistem pertanian tradisional, biasanya ketahanan dan kedaulatan pangannya lebih terjamin sebagaimana pandemi saat ini.
“Kearifan dan praktik komunitas yang mengenal hutan dan isinya menjadi faktor penting menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan,” ujarnya.
Cristina menegaskan, pangan lokal adalah pangan ramah lingkungan, pola dan proses produksinya terjamin ramah lingkungan. “Kebijakan tingkat lokal sangat penting untuk menjaga sistem pangan lokal, sesuai budaya masyarakatnya, tentunya demi menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan,” pungkasnya.