Mongabay.co.id

Peneliti Indonesia Terima Penghargaan Konservasi Internasional Bergengsi Whitley

 

Peneliti dan konservasionis burung asal Indonesia, Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa (45) menerima penghargaan prestisius Whitley Award atau yang sering disebut sebagai “Oscar Hijau”. Dia memperoleh penghargaa ini, sebagai bentuk apresiasi terkait upayanya untuk melindungi spesies rangkong gading (Rhinoplax vigil) dan spesies rangkong lainnya di Indonesia. Demkian pengumuman resmi yang Mongabay Indonesia dari Whitley Fund for Nature.

Rangkong gading adalah spesies terancam punah dan masuk dalam daftar status Kritis (Critically Endangered) akibat perdagangan satwa liar ilegal. Sebagai spesies rangkong yang paling diburu di dunia, ornamen ukiran rumit dari balung dan paruh rangkong gading kini sangat dicari di pasar gelap internasional.

Tonjolan merah menakjubkan yang berbentuk seperti helm pada paruhnya (balung), membuat spesies ini menjadi target menguntungkan bagi pemburu liar. Ornamen ini dijual kepada para kolektor, -termasuk anggota keluarga raja-raja, selama ratusan tahun.

Berkurangnya populasi rangkong memberikan dampak nyata dan signifikan terhadap kondisi hutan di Asia, karena spesies ini adalah penebar benih yang sangat penting di ekosistem hutan. Ketika mereka hilang, fungsi ekologis ekosistem pun terdegradasi.

 

Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa, peraih penghargaan Whitley 2020. Yoki adalah peneliti dan konservasionis rangkong gading. Dok: Whitley Award

 

Pada tahun 2013, Yoki merilis ada 6.000 rangkong gading yang ditembak dan dipenggal kepalanya di Kalimantan Barat, untuk kemudian diperjualbelikan di pasar gelap.

Laporan investigatif ini sangat mengejutkan, dan turut menghasilkan desakan bagi Pemerintah Indonesia untuk turun mengambil tindakan.

“Paradigma konservasi satwa liar secara global harus diubah untuk mendukung spesies yang tidak populer atau kurang dikenal yang saat ini menghadapi ancaman serius,” jelas Yoki dalam sebuah wawancara dengan Mongabay beberapa waktu lalu.

Baca juga: Pahlawan Konservasi: Wawancara dengan Rangkong Indonesia

Pengidola Sir David Attenborough ini memilih berkarier untuk bidang konservasi. Dia mendedikasikan 20 tahun hidupnya untuk pelestarian rangkong di Indonesia.

Yoki, pemuda kelahiran Bogor, Jawa Barat, sejak muda memilih jalur alam dan lingkungan. Dia mengambil kuliah di jurusan biologi di Universitas Pakuan Bogor sebelum meneruskan masternya dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam di University of Georgia, AS.

Untuk melestarikan rangkong, Yoki bekerjasama bersama masyarakat lokal lewat pemberdayaan ekonomi warga, yaitu mendorong munculnya kegiatan penelitian partisipasif, yaitu pengamatan rangkong dan habitat sarangnya, serta jasa ekowisata pengamatan burung (birdwatching).

Yoki percaya bahwa kegiatan ini akan memungkinkan masyarakat setempat mendapatkan penghasilan dari burung rangkong dengan cara yang manusiawi dan berkelanjutan. Dalam paradigma konservasi berkelanjutan, maka rangkong akan lebih berharga dalam kondisi hidup daripada mati.

Bagi masyarakat Dayak, -masyarakat asli Pulau Kalimantan, rangkong adalah spesies sakral. Dalam alam mitologi Dayak, burung rangkong adalah penjaga kehidupan dan akan menjadi perantara untuk mengantar roh orang yang meninggal kepada Tuhan.

“Pada saat penelitian skripsi saya di Sumatera, saya pertama kali mendengar suara tertawa maniakal rangkong gading saat ia terbang di atas saya. Saat itu saya langsung jatuh cinta,” jelas Yoki menjelaskan awal perkenalannya dengan rangkong.

Sebagai pemenang penghargaan Whitley, Yoki memperoleh dana 40.000 Poundsterling yang akan digunakan untuk melanjutkan proyek konservasi rangkongnya.

Dengan dana ini, dia akan meneruskan upaya pemberdayaan masyarakat di tiga desa di Kalimantan Barat selama 5 tahun kedepan. Dalam inisiatif ini, akan ada sebanyak 100 orang warga lokal, yang dilatih untuk melakukan pengamatan burung. Di akhir program, kapasitas masyarakat lokal diharapkan meningkat, mereka akan berperan sebagai penjaga hutan, pemonitor rangkong dan habitat sarangnya, dalam rangka pencegahan tindak perburuan liar.

 

Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yokyok Hadiprakarsa

 

Untuk meningkatkan diseminasi informasi dan sosialisasi rangkong, Yoki pun menjadikan audio visual sebagai alat kampanye untuk edukasi publik. Tujuannya untuk membangun kesadaran literasi rangkong kepada para pelajar dan mahasiwa, guru, para pegiat lingkungan hingga para pengambil kebijakan.

Pada tahun 2013, Yoki bersama-sama dengan beberapa rekannya, mendirikan Yayasan Rekam Jejak Alam Nusantara (Rekam Nusantara Foundation). Yayasan ini bergerak dalam bidang edukasi publik dalam bidang konservasi lingkungan dan alam. Saat ini yayasan telah memproduksi seri film dokumenter rangkong gading, yang tersedia dalam versi youtube, juga dalam berbagai tautan sosial media.

 

 

 

 

“Pendekatan Yoki telah mendorong publik menghargai suatu spesies dan habitatnya, sambil memungkinkan mereka memperoleh manfaat ekonomi dari warisan ekologi yang kaya. Upaya Yoki menunjukkan bahwa konservasi itu tentang manusia,” jelas Edward Whitley, pendiri Whitley Fund for Nature dalam siaran persnya.

Selain kepada Yoki, Whitley Award 2020 juga memberikan penghargaan kepada lima orang konservasionis lain, yaitu Abdullahi Hussein Ali (Kenya), Gabriela Rezende (Brasil), Jeanne Tarrant (Afrika Selatan), Phuntsho Thinley (Bhutan), dan Rachel Ashebofe Ikemeh (Nigeria). Adapun konservasionis Patrícia Medici dari Brasil, dianugerahi Whitley Gold Award 2020 dan berhak menerima dana bernilai 60.000 Poundsterling.

Total dalam kurun 27 tahun, Whitley Fund for Nature telah memberikan lebih dari 17 juta Poundsterling kepada lebih dari 200 pemimpin konservasi di lebih dari 80 negara.

 

 

 

Exit mobile version