Mongabay.co.id

Begini Kondisi Nyata Nelayan NTT di Tengah Pandemi COVID-19

                                                          

Kondisi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Alok kota Maumere kabupaten Sikka, NTT terlihat relative sepi. Kawasan yang biasanya ramai oleh aktifitas bongkar muat hasil perikanan dan aktifitas jual beli ini seakan lesuh.

“Ikan layang dan selar yang biasanya kami jual satu kantong plastik Rp300 ribu sampai Rp350 ribu kini turun drastis. Satu kantong hanya dihargai Rp100 ribu sampai Rp150 ribu,” ujar Nurdin, nelayan lampara saat ditanyai Mongabay Indonesia, Senin (29/4/2020).

Senada, Aminah penjual ikan eceran di TPI Alok mengaku penjualan ikan pelagis maupun demersal menurun drastis. Penjual pun terpaksa banting harga agar ikan bisa terjual.

“Penurunan pembeli mencapai hampir 50 persen. Paling sehari kami hanya untung Rp50 ribu saja dari hari biasanya yang mencapai Rp.100 ribu hingga Rp.200 ribu,” ucapnya.

Untuk menyiasatinya, ikan itu diolahya jadi ikan asin sebagai stok selama pandemic COVID-19 dan dijual ketika harga kembali normal.

“Ikan basah saja sepi pembeli apalagi ikan asin.Ikan karang seperti kerapu dan lainnya pun turun hingga 50 persen dan pembelinya terbatas hanya rumah makan saja dengan jumlah yang tidak banyak,” tuturnya.

baca : Pandemi COVID-19 Menurunkan Pendapatan Nelayan di NTT. Apa Solusinya?

 

Aktifitas jual beli ikan di TPI Alok Maumere Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi dibanding sebelum merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Keuntungan Menjalin Kerjasama

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Ikram M. Sangadji, kepada Mongabay-Indonesia, Minggu (26/4/2020) mengatakan penawaran dan permintaan pasar ikan pelagis berbeda dengan ikan demersal.

Pendapatan nelayan pelagis khususnya cakalang dan tuna yang memiliki plasma tetap pada perusahaan penampungan di kota Kupang masih cukup stabil. Harga ikan sebutnya, masih normal pada kisaran Rp.11 ribu sampai Rp.12 ribu/kg.

Kondisi itu berbeda dengan pasar lokal yang didominasi oleh nelayan hand line. Penangkapan tuna dan cakalang walaupun produksinya normal sebutnya, tetapi mengalami penurunan harga dimana kisaran harga per ekor dalam kondisi normal mencapai Rp.90 ribu sampai Rp.100 ribu/ekor dengan berat 4 kg.

“Walaupun harga cukup tinggi tetapi kualitas ikan berbeda, suplainya terbatas dan tidak kontinyu karena diproduksi oleh nelayan hand line. Kapasitas armada mereka dibawah 3 GT dengan waktu operasi 6 hingga 7 hari melaut,” terangnya.

Perbedaan harga ikan kelompok tuna dan cakalang berbeda antara pasar tetap di perusahaan dan pasar lokal kata Ikram terjadi karena ikatan kerjasama antara pemilik kapal dan perusahaan.

Kerjasama ini ungkapnya, berupa bantuan biaya operasional dan kestabilan harga serta daya tampung atau penyerapan produksi hasil tangkapan oleh perusahaan penampung.

“Nelayan dihadapi tantangan bagaimana mereka harus mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga, memelihara kapal dan alat tangkapnya di saat pendapatan yang terus berkurang dari 30, 40, hingga saat ini telah berada pada persentasi 50 %,” ucapnya.

baca juga : Pentingnya Perlindungan Nelayan NTT Saat Pandemi COVID-19, Kenapa?

 

Penjual ikan eceran di TPI Alok Maumere kabupaten Sikka,NTT yang sedang menanti pembeli yang tampak sepi semenjak merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Beberapa keluhan yang ditangkap dari pernyataan para nelayan hampir serupa. Menurut Ikram,mereka mengeluhkan biaya es dan BBM yang tidak mengalami penurunan harga, bahan pokok mulai naik, penggunaan listrik dan air bersih makin meningkat.

“Usaha keluarga mereka juga tidak berjalan karena daya beli masyarakat menurun. Pengeluaran yang tidak pernah ada menjadi harus ada seperti masker, obat, vitamin dan segala yang berurusan dengan penanganan COVID-19 sesuai anjuran pemerintah,” tuturnya.

  

Kesulitan Nelayan

Perkumpulan PIKUL sebuah LSM di NTT melakukan survey produksi perikanan dan dampak COVID-19 bagi pelaku usaha kelautan dan perikanan khususnya nelayan tangkap dan penjual ikan sejak tanggal 21 April 2020.

Andry Ratumakin, Program Manager, Right to Food , Perkumpulan Pikul kepada Mongabay Indonesia Kamis (30/4/2020) menjelaskan, survey dilakukan di 10 kabupaten/kota pada 6 pulau yang meliputi pulau Lomblen di kabupaten  Lembata, pulau Flores di kabupaten Flores Timur, Sikka,Ende dan Manggarai Barat.

Juga di pulau Timor meliputi kota Kupang dan  kabupaten Belu, pulau Alor di kabupaten Alor, pulau Sumba di kabupaten Sumba Barat Daya dan pulau Sabu di kabupaten Sarai.

baca juga : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Seorang penjual ikan sedang menanti kapal ikan lampara yang hendak merapat ke dermaga TPI Alok Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sampel dipilih secara bersengaja dengan target 120 responden yang terdiri dari nelayan tradisional (termasuk gleaner/pengumpul kerang, udang, kepiting, dll), nelayan kecil (nelayan dengan kapal mesin dibawah 10 GT), buruh kapal ikan, nelayan pemilik kapal di atas 10 GT, pengepul/ papalele dan penjual ikan/ olahan ikan.

Teknik pengambilan data papar Andry, dilakukan melalui google form sejak tanggal 21 April 2020. Hingga Kamis (30/4/2020) telah diperoleh data dari sekitar 107 orang responden yang terdiri dari 78,5% laki-laki dan 21,5% perempuan.

“Data yang terkumpul merupakan gambaran awal yang mendeskripsikan situasi pelaku usaha kelautan dan perikanan di NTT selama masa pandemi COVID-19,” ungkapnya.

Sekitar 226.526 orang yang terdiri dari 66.525 Rumah Tangga Perikanan di NTT kata Andry, terancam kehilangan sumber pendapatan akibat COVID-19. Bahkan  sebut dia, dapat menyebabkan NTT kehilangan nilai produksi perikanan tangkap sekitar Rp.2 triliun dalam setahun.

Penurunan jumlah tangkapan nelayan dan hasil penjualan ikan hingga 50% sampai  75% sebutnya, membuat para pelaku usaha kelautan dan perikanan yang umumnya tidak memiliki tabungan harus mencari cara baru beradaptasi dan bertahan hidup.

Biasanya pada bulan Maret – Mei dan bulan September – Oktober merupakan masa panen bagi nelayan. Namun kali ini kata Andry, beberapa jenis ikan utama yang menjadi andalan hasil tangkapan mereka, seperti: tongkol, cakalang, kombong, ekor kuning menurun harganya dipasar.

Produksi ikan juga menurun ungkapnya, karena pengurangan waktu melaut akibat ongkos logistik melaut lebih tinggi dari hasil yang diperoleh. Para pengepul dan penjual ikan juga mengaku bahwa terjadi penurunan hasil penjualan hingga 25% – 50 %.

“Turunnya hasil penjualan ini ditengarai oleh turunnya harga ikan, menurunnya pasokan ikan dari nelayan dan pembatasan waktu penjualan di pasar,” jelasnya.

perlu dibaca : Ini Strategi Lindungi Nelayan dan Pembudi daya Ikan dari Dampak Wabah COVID-19

 

Penyerahan bantuan untuk pengendalian COVID-19 bagi nelayan, pembudidaya ikan, penjual ikan dan pelaku wisata di kawasan konservasi perairan nasional Kupang, NTT. Foto : BKKPN Kupang

 

Selama masa pandemi COVID-19, kata Andry, pengeluaran rumah tangga nelayan dan penjual ikan cenderung stabil bahkan lebih tinggi daripada masa biasa.

Menurut nelayan, kebutuhan dalam rumah yang berkurang hanyalah ongkos anak ke sekolah. Tetapi kebutuhan makan minum malah bertambah, terutama jajan dan pulsa untuk anak-anak selama tidak ke sekolah.

Mereka cukup kewalahan beber Andry, karena dari keseluruhan responden yang didata, sekitar 73,9% responden tidak memiliki tabungan sama sekali. Hanya 26,1% yang memiliki tabungan entah di bank, koperasi atau lembaga keuangan lain.

“Sebagian besar pemilik tabungan merupakan nelayan pemilik kapal. Sementara itu, kepemilikan tabungan yang ada pun hanya cukup menanggulangi kebutuhan nelayan yang rata-rata sekitar 5 orang setiap rumah tangga dalam tempo maksimal 3 bulan,” jelasnya.

  

Bersiasat dan Cari Solusi

Berbagai upaya kata Andry, dilakukan oleh pelaku usaha kelautan dan perikanan di tengah situasi pandemi. Pertama, pelaku usaha kelautan dan perikanan tetap melaut dan menjual ikan agar tetap bertahan hidup.

Kedua, paparnya, mereka bersiasat dengan mengurangi waktu penangkapan ikan dari yang semula setiap hari melaut menjadi beberapa hari sekali melaut. Strategi ini dilakukan untuk menekan pengeluaran untuk logistik dan BBM yang cenderung lebih tinggi dibandingkan hasil penjualan.

Ketiga, sebagian nelayan di kota Kupang sebut Andry, mengaku bahwa mereka kemudian bergabung dengan nelayan lain untuk mengoperasikan satu kapal saja sehingga dapat menekan biaya produksi ketimbang masing-masing mengoperasikan kapalnya.

“Keempat, nelayan dan penjual ikan mengaku mencari pekerjaan sampingan lain untuk memenuhi kebutuhan harian,” ungkapnya.

baca : Presiden Himbau Masyarakat Makan Ikan di Tengah Pandemi COVID-19. Apakah Tepat?

 

Kapal purse seine berukuran kecil sedang berlabuh dan menjual hasil tangkapan di pelabuhan TPI Alok,Maumere,kabupaten Sikka,NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Kelima, lanjut Andry, mereka masih menunggu bantuan dari pemerintah walaupun hingga saat ini baru 14,9% responden mengatakan telah mendapat bantuan yang bervariasi baik berupa bahan pangan maupun uang berjumlah Rp.150 ribu hingga Rp, 200 ribu sebagaimana pengakuan beberapa nelayan di SBD.

Sementara itu 85,1% responden dari 9 kabupaten/kota lain sebutnya, mengaku belum medapatkan bantuan dari pemeritah.

Perkumpulan Pikul menawarkan beberapa solusi terkait upaya jangka pendek untuk mengatasi persoalan nelayan, termasuk membuka akses distribusi protein laut bagi warga.

Pertama, sebut Andry, perlu pendataan dan pemberian bantuan kepada pelaku usaha kelautan dan perikanan yang kehilangan dan terancam kehilangan pekerjaan karena penurunan pendapatan di atas 50%.

Kedua, pemerintah kata dia, perlu menghubungkan produsen ikan dengan pembeli melalui pertukaran uang atau barang. Ketiga, membuka pembatasan akses pasar dengan protokol jelas dan tegas.

Keempat, sarannya, pemerintah mewajibkan sekitar 104.586 PNS membeli hasil perikanan. Kelima, Kementerian Kelautan dan Perikanan membeli hasil tangkapan nelayan untuk disalurkan ke warga.

“Keenam, perlu melakukan mekanisme pembelian produk warga desa termasuk tangkapan nelayan untuk menjaga perputaran ekonomi desa,” pungkasnya.

 

Exit mobile version