Mongabay.co.id

Homaidy, Abdikan Hidup Merawat Hutan Prancak

Homaidy, tengah menanam pohon. Foto: dokumen Homaidy

 

 

 

Kiri-kanan jalan tampak hijau, pohon-pohon besar berdiri tegak. Kicauan burung terdengar dari kejauhan. Di balik bukit tampak rumah-rumah penduduk Desa Prancak, Kecamatan Pasongsongan, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di sebelah kiri jalan, tepat berada di puncak bukit, aku berhenti. Ada satu rumah dilengkapi sebuah langgar, kamar mandi, kandang kambing, dapur, dan beberapa perlengkapan lain. Tidak ada rumah lain.

Sebuah papan kayu bertulis “Langgar Budaya Assalam” bergelantung. Ada juga papan bertulis, “Annuqayah Sahabat Alam.”

Ada tiga orang sedang duduk bersila berhadap-hadapan di langgar itu. Seorang dari mereka menguncir rambutnya. Dialah Kiai Homaidy.

Homaidy, akrab dipanggil Kiai Idi atau Ki Idi, memutuskan tinggal di Assalam sejak 2014. Usaha mebel pun dia tinggalkan demi menjaga alam bukit tetap terjaga.

Sebelum memutuskan menetap di sana, dia dan beberapa orang di Pondok Pesantren Annuqayah, seperti, A. Ainul Yakin, M Zammiel el-Muttaqien, Aak Abdullah Al-Quddus, mengadakan pertemuan membahas berbagai persoalan Annuqayah, salah satu Kebun Konservasi Assalam. Mereka membahas bukit yang terancam karena pepohonan terus tergerus.

 

Hutan nan hijau, yang berupaya terus dijaga. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Enam bulan pasca rapat, setelah menunaikan Sholat Dhuha, dia kepikiran Assalam yang berada di puncak bukit walau tak pernah ke sana. Dia pun menghubungi almarhum M Zammiel el-Muttaqien, Ketua Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, sekaligus kiai muda Annuqayah. Dia ingin melihat Assalam.

Beberapa hari setelah ke sana, dia menghubungi Zammiel dan memutuskan tinggal di sana. Sejak itulah, Idi tinggal di sana. Beberapa fasilitas sederhana tahap demi setahap mulai dibangun dari rumah, sampai pengeboran air.

Tepat di Hari Bumi Sedunia 2014, dia membuat performa teater dengan Teater Tikar, lanjut aksi menanam pohon.

Idi mengangkat konsep konservasi di Assalam. Dia ingin memberikan contoh kepada masyarakat cara menyelamatkan alam. Sebelumnya, warga sering membakar pohon, “Saya bilang kalau ada yang bakar, kasihan makhluk lain, ia juga mau hidup,” katanya, belum lama ini.

Bakar pohon sepertinya hal kecil tetapi ancaman bahaya besar bagi lingkungan. “Saya sering mengatakan, kesalahan kecil itu bisa menimbulkan kesalahan yang besar,” kata Idi.

Idi bilang, pandangan masyarakat sekitar masih instan, ketika menanam pohon, yang dilihat pertama kali adalah berapa nanti uang akan mereka dapatkan, masih kurang memikirkan kelestarian alam.

Terkadang ada orang yang mengusulkan supaya pohon-pohon di sana diganti dengan pohon lebih produktif seperti sengon. Idi tak setuju karena akan mempengaruhi kesuburan tanah dan tanaman-tanaman sekitar.

Saat ini, di sana ada tanaman beragam, seperti akasia, jati, mahoni, dan buah-buahan. Bagi Idi, menjaga bukit dan menanam pohon tak hanya upaya konservasi, tetapi juga aksi menyelamatkan lahan dari penguasaan pemodal terlebih pebisnis ekstraktif.

Idi bilang, tanah di sekitar jadi incaran para pengusaha. “Bukit di selatan itu pernah dikabarkan akan dibuat tambang semen, ada perusahaan semen yang telah melirik bukit karst itu,” katanya, sambil menunjuk ke selatan.

 

Homaidy, memberi pakan kambing untuk dipelihara diambil air susunya. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Sosial dari alam

Ada banyak aktivitas dilakukan Ki Idi untuk kelestarian alam dan sosial kemasyarakatan, tak hanya menjaga dan menanam pohon. Dia makin mendekatkan dan mengajarkan masyarakat tentang betapa penting menjaga alam. Dia juga mengajar membatik dengan tema dan bahan alami. Ada beberapa orang belajar batik kepadanya.

Dia juga memelihara kambing etawa dengan beberapa penduduk sekitar. Mereka memelihara kambing untuk diambil air susunya.. Menurut dia, beternak kambing guna melatih kedisiplinan. Mereka harus merawat, dengan memberi makan dan minum kambing secara teratur.

Dulu, ada 24 kambing, sekarang tinggal enam. Dia bilang, kambing mati karena tak disiplin memberi makan dan minum. Dua bulan pertama, yang memelihara bersemangat, namun kian memudar. Petugas yang memelihara kadang tak mengindahkan masukan Idi, yang dianggap hanya belajar dari YouTube. “Padahal, saya konsultasi dengan majhadi’, dokter hewan di Jember.”

Usaha susu kambing etawa, katanya, cukup menjanjikan. Satu kambing bisa menghasilkan satu sampai dua liter susu dalam sekali perah perhari. Setiap botol susu bisa Rp40000, dalam satu botol berisi 360 mililiter.

Susu dipasarkan ke warga sekitar, ada pula sejumlah cafe yang memesan langsung untuk jadi bahan minuman.

Gelle’ rowa bhuto susu, egebeyeh STMJ (tadi itu butuh susu, mau dibuat STMJ–susu telur madu jahe-red),” katanya, merujuk dua orang yang datang ke sana.

Idi bercita-cita menciptakan pasar sendiri hingga orang yang perlu susu bisa datang ke tempat itu.

Selain membatik dan memelihara kambing etawa, panen jambu monyet atau jambu mede (mete) juga menjanjikan walau hasil tergantung cuaca. Kalau cuaca bagus bisa sampai Rp15 juta sekali panen. “Kalau cuaca tidak mendukung hanya Rp2 juta.” Ada sekitar 300 pohon mete di Assalam.

Kiai juga seniman ini juga memprakarsai pembentukan kelompok— atau kompolan (dalam bahasa Madura),—perempuan bernama, Kompolan Assalamah. Ada dua kelompok perempuan yang dia bikin, antara lain mereka produksi kripik cabai sejak 2017.

Sesekali Idi pernah berpikir berhenti menjaga kebun konservasi seluar 15 hektar itu. Namun, dia urungkan demi kelestarian alam, demi masa depan.

Selama di sana, ada berbagai anggapan orang terhadap Idi. Ada yang memuji, adapula yang bilang dia orang gila. “Sebagai bentuk pengabdian, sama seperti memelihara ayam, kadang-kadang orangnya belum mandi, ayam sudah dimandikan, itu tidak salah,” katanya tertawa.

Sebelumnya, Idi mempunyai usaha mebel di rumahnya, di Desa Karduduk. Demi upaya konservasi di bukit, usaha itu dia serahnya kepada adiknya.

Istri Idi, Mus’idah, mendukung keputusan ini. Baginya pengabdian tak harus menjadi guru, bisa sesuai kecintaan, apalagi memberikan manfaat kepada orang banyak. “Asalkan bisa membagi waktu kapan untuk Assalam dan kapan untuk keluarga,” kata Mus’idah.

Keseharian Mus’idah mengajar di sekolah. Dia dan suami, biasa bertemu hanya malam hari. Sejak pukul 07. 00, suaminya berangkat ke Assalam, dia berangkat ke sekolah, setelah Isya’ baru pulang ke rumah.

“Beliau membatik, saya bantu pemasaran. Kalau liburan puasa, saya full di Assalam. Kalau tidak libur sekolah, saya hanya dua minggu sekali ke Assalam untuk mendampingi Kompolan Assalamah,” katanya.

 

***

Keterangan foto utama: Homaidy, tengah menanam pohon. Foto: dokumen Homaidy

 

 Suasana siang hari Assalam, tempat yang sejuk. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia 

 

Exit mobile version