Mongabay.co.id

Ini Penyebab Pendapatan Nelayan Rajungan Merosot

 

Di penghujung musim hujan, angin berhembus relatif tenang. Perahu-perahu nelayan berukuran sedang itu tampak anteng terparkir di sungai yang tidak jauh dari laut pantai utara (Pantura) pulau Jawa di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Para nelayan datang silih berganti mendaratkan perahu yang warga lokal menyebutnya dengan sebutan perahu jaten. Sudut lain, sejumlah perempuan sedang memisahkan daging rajungan dari kulitnya. Sebelumnya, sekelompok kepiting dari beberapa marga anggota suku Portunidae ini dimasak menggunakan air mendidih.

Sementara itu, Firda Anggara tengah membetulkan bubu, yaitu alat tangkap rajungan yang terbuat dari kerangka besi yang ditutupi oleh jaring polythiline. Atau disebut dengan wuwu. Bentuknya kotak, mempunyai ukuran panjang 50,5 cm, tingginya 19 cm dan lebar 34,5 cm.

“Jaringnya sering rusak karena dimakan ikan buntal, hampir setiap hari ngayomi (menyulam jaring),” ujar Firda, nelayan setempat, Minggu (26/04/2020).

baca : Rajungan di Alam Bebas Terancam Hilang?

 

Kapal nelayan rajungan di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sudah bagian dari resiko nelayan rajungan, katanya, ketika alat tangkapnya mengalami kendala. Bagi dia, sobeknya alat tangkap ini tidak seberapa dibandingkan ketika keseret alat tangkap pukat troll atau payang milik nelayan yang perahunya lebih besar.

Akibatnya wuwu sering hilang. Sedang, satu wuwu bisa mendapatkan 1-2 ekor rajungan. Tidak hanya dia, ada ratusan nelayan tradisional setempat juga merasakan hal yang sama. Menurut laki-laki kelahiran 1988 ini mencari rajungan di laut berbeda dengan dulu.

Kurang Ketat

Dia bercerita, nelayan tradisional setempat biasanya mulai berangkat melaut sekitar jam 01.00 WIB dini hari. Mereka hanya memasang bubu alat tangkap rajungan. Sementara umpannya mereka memasang kepala ikan dan ikan asin kecil-kecil. Setelah itu pulang.

Esoknya, di jam yang sama para nelayan ini kembali melaut untuk melihat hasil tangkapan. Pendapatannya relatif beragam, kisaran 10 hingga 17 kilogram. Sekali berangkat nelayan bisa menghabiskan 10-15 liter solar.

Sementara perahu yang digunakan berukuran antara 9-20 meter, atau di bawah 10 Gross tonnage (GT). Selain jaten warga mengenalnya juga dengan sebutan perahu pincukan. Untuk jarak tempuh pemasangan alat tangkap berbeda-beda, lebih kurang 50 mil.

baca juga : Kunci Selamatkan Stok Rajungan di Alam Hanya dengan Cara Ini

 

Ibu-ibu rumah tangga memisahkan kulit dan daging rajungan di Desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Sutrisno, nelayan lain juga merasakan hal yang sama, jika tangkapan rajungan semakin berkurang. Dia menilai ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan hasil tangkapan. Hal ini karena ulah manusia sendiri yang masih menggunakan alat tangkap yang sudah dilarang oleh pemerintah.

Seperti pukat harimau misalnya. Seharusnya alat itu sudah tidak boleh dioperasikan. Tetapi kenyataan di lapangan sampai saat ini masih banyak nelayan yang menggunakan.

Selain itu, perahu yang lebih besar dari perahu nelayan rajungan seharusnya tidak melintas ke wilayah pinggiran. Karena yang dipinggiran ini banyak nelayan rajungan. Bagi dia, mestinya ada batas wilayah tangkapan antara nelayan kecil dan nelayan besar.

“Dulu sudah pernah dilaporkan, tapi ya begitu. Ditangkap, dilepaskan lagi. Seharusnya bisa lebih diperketat lagi pengawasannya,” katanya.

Pria yang juga pengepul rajungan ini menyebut, hampir setiap tahun hasil tangkapan mengalami penurunan. Dulu, sekitar tahun 1990-an paling tidak bisa mendapatkan 30-50 kg. Sekarang ini dapat 10 kg saja sudah mewah, yang sering itu hanya dapat 4-5 kg.

perlu dibaca : Menjaga Kelestarian Rajungan, Kakap, dan Kerapu

 

Sebelum dikirim ke pabrik, kulit dan daging rajungan terlebih dahulu dipisahkan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Faktor lain yang menyebabkan anjloknya pendapatan yaitu karena jumlah nelayan semakin banyak. Sementara, rajungan semakin berkurang. Hal ini menurut dia, juga berdampak ke pola waktu penangkapan. Dulu, di jam tertentu saat melaut bisa bersama-sama masang alat tangkap rajungan. Sekarang ini sulit.

“Kalau dulu kan berangkatnya tidak ada resiko, rintangannya tidak sebanyak ini. Berangkat bareng jam 13:00 WIB siang, ketika air laut mulai pasang. Sekarang ini lebih variatif, ada yang pagi, siang, malam,” imbuhnya.

 

Konflik Antar Nelayan

Saat ini, tantangan para nelayan rajungan semakin berat. Selain persoalan di laut, kendala lain yang dialami yaitu harga rajungan semakin anjlok. Di masa pandemi COVID-19 ini harga rajungan turun hingga 50 persen.

Penyuluh Perikanan Dinas Perikanan Lamongan, Thoha Muslih, menjelaskan, saat ini harga rajungan di tingkat nelayan sekitar Rp25-35 ribu/kg, padahal normalnya Rp40-60 ribu/kg. Bahkan pernah mencapai harga Rp90 ribu/kg.

“Padahal sebetulnya ini lagi musim enak mencari rajungan, cuaca sudah mulai mendukung. Tapi harganya tidak nutut dengan biaya operasional nelayan,” ujarnya.

Lanjut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan harga rajungan ditingkat nelayan mengalami penurunan. Diantaranya ada sejumlah pabrik yang menghentikan operasi. Ada pula pabrik yang membatasi pembelian.

menarik dibaca : Ini Uniknya Rajungan, Si Kepiting Berenang dari Lautan

 

Firda Anggara membetulkan bubu, yaitu alat tangkap rajungan yang terbuat dari kerangka besi yang ditutupi oleh jaring polythiline. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebelum ada pembatasan pengiriman, dari supplier awalnya bisa ngirim 2-3 kuintal ke pabrik. Sekarang ini hanya 1 kuintal. Untuk pengiriman, biasanya ke pabrik rajungan yang ada di Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Rembang dan Semarang.

Di wilayah Lamongan sendiri dalam satu tahun bisa menghasilkan kurang lebih 1000 ton hasil tangkapan. Sementara saat musim rajungan antara bulan Mei sampai Juli, kemudian bulan November sampai dengan bulan Februari.

Thoha menyebut, kendala lain yang dihadapi para nelayan rajungan ini yaitu permasalahan alat tangkap yang digunakan nelayan berlainan, bahkan permasalahan seperti ini sudah berjalan lama.

Bagi dia, konflik perihal alat tangkap antar nelayan tradisional ini sudah bagian dari realita yang ada di lapangan. Sejauh ini menurutnya permasalahan tersebut bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Lewat ketua Rukun Nelayan (RN) yang masing-masing desa mempunyai kelompok.

“Masing-masing nelayan tradisional ini juga saling menyadari kalau sama-sama mencari makan. Sementara ini belum sampai lewat jalur hukum. Kecuali yang memang berhadapan langsung dengan aparat,” imbuh pria yang sudah 10 tahun melakukan penyuluhan di wilayah tersebut.

Pihaknya sejauh ini sudah mensosialisasikan terkait alat tangkap yang dilarang dan tidak dilarang, begitu juga dengan hasil tangkapan. Misalnya rajungan dengan kondisi bertelur dan berukuran sekian tidak boleh ditangkap.

Hal ini seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp).

 

Perahu jaten, istilah warga nelayan untuk perahu berukurannya antara 9-20 meter, atau di bawah 10 Gross tonnage (GT). Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Lanjut dia, untuk alat penangkapan juga sebetulnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomer 71 Tahun 2016, tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan.

“Namun, realitasnya di lapangan masih sering terjadi, sedangkan sebetulnya secara hukum formal memang ada larangan menggunakan alat tangkap mini trol. Itu haknya Polair (Kepolisian Air), ada pengawas perikanan yang menangani,” kata pria 43 tahun ini.

Dampaknya, hasil tangkapan rajungan menurun. Karena untuk alat tangkap trol ini segala jenis ikan kecil maupun yang masih bertelur itu kenak semua. Begitupun dengan rajungan.

 

Nelayan rajungan memperbaiki perahu sebelum melaut. Nelayan tradisional setempat biasanya mulai berangkat melaut sekitar jam 01.00 WIB dini hari. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version